“Kenapa kamu tidur di lantai?” Itu suara Ayah. Tapi saat pertama kali kubuka mata, yang kulihat justru seragam sekolah baruku yang Ayah gantung di samping jendela. “Bangun, pemalas!” katanya sambil menggoyang lenganku dalam posisi berjongkok, wajahnya tampak lelah namun tetap tegas dan lembut.
Aku hanya berguling ke samping, malas membuka mata. Tunggu, “Kenapa dingin sekali di sini?” seruku sambil meraba tempat tidurku, keningku berkerut kebingungan.
“Kamu jatuh dari tempat tidur?” tanya Ayah, kini berdiri sambil mengamati sekeliling kamar, ekspresinya mencampur rasa khawatir dan heran.
Kali ini aku membuka mataku lebar-lebar. Sial. Ternyata semalam aku bermimpi buruk lagi. Untung saja hanya mimpi.
“Tidak...” jawabku pelan, mencoba mengingat kejadian semalam. “Tidak tahu juga,” koreksiku, sambil mengusap wajahku yang masih terasa berat.
“Tidak sakit tidur pakai itu?” maksud Ayah adalah benda yang masih menempel di telingaku—Hearing Aid, sejenis earphone. Tatapannya menyipit curiga, bibirnya sedikit menekan ke samping.
“Tidak juga,” jawabku singkat sambil naik ke tempat tidur, malas berdebat, mataku kembali setengah terpejam.
“Eh, mau tidur lagi?” serunya sambil menarik selimut dari tanganku. “Lihat jam. Ayah mau siapkan sarapan. Kamu jangan lupa ibadah dan cepat mandi.” Suaranya naik setingkat, nada suaranya campuran antara kesal dan cemas.
“Yah, ngantuk. Ini masih jam empat,” keluhku dengan nada manja, menenggelamkan wajahku ke bantal, mencoba menghindari kenyataan.
“Nanti rezekimu dipatok ayam, loh. Cepat, kita bisa ditinggal bus,” ujarnya sambil berjalan ke arah pintu, separuh bercanda, separuh serius.
“Sekolahnya jauh nggak? Kalau dekat, biar Tiara jalan kaki saja,” saranku malas-malasan sambil menguap, mencoba mencari celah untuk tetap di rumah.
“Cepat!” perintahnya tajam, lalu keluar dari kamarku tanpa menoleh lagi.
Setelah itu, kudengar suara ribut dari dapur. Ayah memang suka memasak, bahkan lebih mahir dari Ibu. Baginya, pekerjaan rumah itu tanggung jawab bersama. Ia tidak pernah mewajibkan Ibu memasak, meski kebanyakan orang berpikir itu tugas perempuan. Ia tampak begitu bersemangat di dapur, seperti sedang bersaing dengan waktu.
Aku baru sadar kembali saat Ayah mengetuk pintu kamar mandi. Sudah hampir setengah jam aku di dalam, hanya duduk di toilet sambil berselimut handuk dan menggigit sikat gigi tanpa pasta, termenung.
“Tidur lagi, ya?” seru Ayah dengan nada menyelidik, terdengar cemas dan geli.
Aku langsung terbangun seperti tersengat listrik, buru-buru menyalakan keran wastafel. “Lagi sikat gigi,” jawabku gugup sambil berusaha terdengar sibuk.
“Jangan lama-lama!” katanya, kemudian langkah kakinya menjauh dari pintu, terdengar makin kecil.
Selesai mandi dan ibadah pagi, aku ke meja makan. Di sana sudah ada nasi goreng dan telur buatan Ayah. Dia membaca buku di depanku, piring makannya sudah kosong. Dia makan duluan, kini fokus pada buku. Sesekali ia membalik halaman dengan tenang, dahi sedikit mengernyit.
Setelah makan, dia menyodorkan bekal makan siang. Ayah tahu perutku sensitif, jadi lebih baik mencegah daripada harus ke rumah sakit karena jajan sebarangan.
“Mau cuci piring sekarang atau pulang sekolah?” tanyanya sambil merapikan kursinya, ekspresinya santai tapi matanya memperhatikan reaksiku.
Aku mengerjap-ngerjap, masih ngantuk. “Nanti saja ya, pulang sekolah.” Dia mengangguk lalu mencari sepatunya, bergerak cepat agar tidak terlambat.
“Yah...” panggilku ragu, suaraku pelan nyaris tak terdengar.
Dia berbalik, menaikkan kacamatanya yang melorot. “Kenapa?” Wajahnya tampak lembut, sedikit tersenyum.
“Terima kasih... bajunya... agak kebesaran... satu senti, bukan lima senti?” ejekku sambil menyengir jahil, mataku menyipit geli.
“Ayah hanya menerka-nerka. Lagipula, anak perempuan tidak boleh pakai baju ketat atau pendek,” jawabnya santai, nada suaranya mengandung candaan ringan, lalu pergi mengenakan sepatu boot.
Sembari menunggu bis jemputan tiba, kami berdua saling diam. Ayah duduk di depan pintu, melamun menatap jendela kecil. Aku berbaring di sofa, memperhatikan bayangan pohon yang bergerak pelan karena cahaya matahari yang naik perlahan.
Bus akhirnya tiba. Isinya bisa dipastikan tidak ada penumpang perempuan. Dari ujung ke ujung hanya terlihat pria-pria berusia tiga puluh hingga lima puluh tahunan, sebagian besar tampak seperti pekerja tambang. Ayah langsung duduk di kursi paling belakang yang memanjang, membiarkanku duduk di samping jendela—mungkin agar aku bisa mengamati lingkungan baruku.
Jalan yang kulalui penuh tanjakan. Pemandangan yang mendominasi hanyalah kebun-kebun warga dan pohon-pohon tinggi. Ayah bilang hanya ada dua sawah di pulau ini, dan untuk menemukannya harus masuk jauh ke dalam hutan. Jalan setapak, semak-semak, bahkan jalur berbatu masih jadi pemandangan umum. Meski minim fasilitas, keheningan dan kerimbunan tempat ini memberi rasa damai yang aneh.
Sampai di gerbang sekolah, Ayah memberiku secarik kertas berisi nomor telpon paman yang menjemputku di pelabuhan, dia juga yang akan menjemputku pulang sekolah nantinya. “Kalau ada apa-apa, telepon ya,” katanya sambil mengusap ujung rambutku dengan singkat. Lalu ia pergi bersama rombongan di bus.
Sekolah masih sepi. Aku duduk sendiri di depan ruang kepala sekolah. Bekal buatan Ayah kugenggam erat. Karena bosan dan ingin membunuh waktu, aku menyantap sarapan keduaku di sana, dengan tatapan kosong mengarah ke halaman tengah yang belum ramai.
Jam 6.55, satu per satu murid mulai berdatangan. Tapi tidak ada sapaan. Mereka lewat begitu saja, matanya menerawang ke depan seolah aku tidak ada. Aku menarik napas panjang. Wajar. Aku orang asing bahkan tampangnya pun tak menarik satu nyamukpun untuk mendekat.
Ketika bel berbunyi, kepala sekolah menuntunku ke kelas dan menyerahkanku ke seorang guru. Wali kelasku sempat memandang sinis karena rambutku tidak diikat, tapi isyarat dari kepala sekolah membuatnya membiarkanku.
Di dalam kelas, aku duduk di bangku kedua dari belakang. Duduk berdampingan dengan seorang laki-laki yang terlihat tenang dan tidak banyak bicara. Aku ingin tempatnya yang lebih jauh dari jendela, tapi dia juga tidak ingin berpindah bahkan menolehku yang meminta ijin untuk bertukar tempat.
“Eh, eh,” bisik seorang siswi dari belakang. Aku menoleh pelan.
“Dia ketua kelas kita,” katanya sambil menunjuk ke laki-laki di sebelahku.
“Oh,” gumamku singkat.
“Kenapa kamu tidak mengikat rambut?” tanya laki-laki itu, kini menoleh ke arahku dengan wajah datar.
“Aku sudah dapat izin dari kepala sekolah,” jawabku tanpa ekspresi.
“Namaku John,” ucap suara lain dari belakangku. Aku menoleh dan mengangguk.
“Aku Nube,” sambung gadis yang mulai mengajak bicaraku barusan. “Mau duduk sini? Aku pengen duduk dekat jendela, tapi dia pelit banget,” katanya sambil menunjuk ke arah laki-laki tadi.
“Boleh,” jawabku setengah tersenyum.
“Nanti pas pergantian pelajaran kita tukeran ya.” aku mengangguk menyetujui.
Pelajaran berlangsung hening. Aku mencuri-curi pandang ke sekitar, mencoba mengenali wajah-wajah asing di sekelilingku.
Saat pelajaran selesai, Nube dan aku bertukar tempat. John menyambutku dengan ramah dan membantuku mengenali beberapa teman sekelas.
Tapi suasana langsung berubah saat seorang siswi dengan wajah masam—dengan papan nama di dadanya, bernama Mura—menghampiriku.
“Dari tadi aku lihat, kamu nggak ikat rambut. Kenapa?” tanyanya tajam.
Sebelum aku sempat menjawab, dia menarik tasku dan membukanya tanpa izin.
“Mura! Kembali ke tempatmu!” bentak ketua kelas—Kenan—dengan nada tegas tanpa menoleh.
“Jadi kamu biarkan dia sesuka hati cuma karena dia anak baru?” sahut Mura, wajahnya memerah. Dia menghamburkan isi tasku ke atas meja.
Aku menarik napas panjang, mencoba menahan diri.
“Dia pasti bawa HP, bedak, sisir, atau bahkan obat terlarang! Anak baru biasanya suka seenaknya.” teriaknya, disambut tawa beberapa anak lain.
“Sudah Mura, jangan buat masalah,” ujar John mencoba menenangkan.
“Tuh kan, kamu udah jatuh cinta ya?” ledek Santi dari belakang.
Nube yang kesal langsung berdiri dan menarik barangku dari tangan Mura. “Kamu selalu ikut campur!”
“Cukup!” Kenan berdiri, nadanya dingin dan tajam. Tapi Mura masih melawan.
“Terserah! Tapi dia harus ikat rambutnya!” tiba-tiba Santi menarik rambutku dan mengikatnya kasar dengan karet yang entah di dapatnya dari mana.
Seketika suasana kelas membeku.
“Oh, jadi ini alasannya?” Mura berbisik penuh kemenangan, lalu menunjuk Hearing Aid yang melilit di telinga, di balik rambutku.
Anak-anak berseru. Kenan terlihat bingung. John juga terpaku.
Mura mencabut earphone itu dari telingaku. Perih! Suara mendenging menyelimuti kepalaku.
Aku berdiri, tubuhku gemetar, dan berusaha merebut kembali Hearing Aid-ku. Tapi mereka malah melempar-lemparkannya seperti permainan.
“Kau mau ini?” goda Mura, menggoyang-goyangkannya di depan wajahku.
“Aku tidak main-main!” desisku.
“Ups!” katanya sambil menjatuhkan Hearing Aid-ku ke lantai.
Aku membungkuk ingin mengambilnya, tapi—
KRAK! Dia menginjaknya.
Seketika mataku merah. Tanganku mencengkeram kerah seragamnya dan mendorong tubuhnya hingga menabrak loker.
“Apa maumu sebenarnya?” desisku.
Semua membeku. Beberapa anak berseru ngeri. Mura memukul-mukul tanganku agar kulepaskan.
Tiba-tiba seseorang menarikku kuat dari belakang. Aku melawan dan mendorongnya dengan sebelah tanganku. Tapi kemudian dia memelukku erat dari belakang agar aku tidak memberontak dan berusaha mengejar Mura yang sudak sangat ketakutan dengan perubahanku.
“Kau ingin jadi pembunuh?” bentaknya meencoba menahannku sekuat tenaga. Suaranya terdengar jelas di telingaku yang masih berdengung.
“Lepaskan!” teriakku, mencoba mendorong tubuhnya.
“Sadarlah!” katanya lagi, kini lebih tenang.
Aku terdiam. Kakiku goyah. Mataku menatap wajahnya dengan bingung.
“Kau bicara denganku?” bisikku. Seketika badanku ngilu, bulu kudukku naik, merinding.
“Kalau bukan kamu, siapa lagi?” sahutnya sambil menahan tubuhku yang nyaris ambruk.
“Kau manusia?” tanyaku, masih linglung.
Dia mengangkat alis, tampak kesal. “Kau pikir aku alien?”
Aku menatapnya lekat-lekat, dadaku sesak.
Anak laki-laki itu... wajahnya...
Boom?
Anak yang jatuh di dermaga itu tepat di depanku.
Aku menarik napas panjang. Tubuhku gemetar. Sementara di depan kelas, guru berdiri dengan tangan di pinggang.
“Sedang apa kalian?”