KEMBANG API.
Mimpi.
Harapan.
Tidak ada bedanya.
Meski langit cerah, pada akhirnya mereka hanya meninggalkan kekecewaan. Kembang api—seperti mimpi—meluncur tinggi, mekar sekejap, memikat pandangan, lalu menghilang dalam gelap, terlupakan. Ia datang begitu singkat, tapi disukai banyak orang.
Terkadang aku bertanya-tanya, apa yang orang cari dari keindahan sesaat? Kenapa orang-orang suka berharap, suka bermimpi?
Kata seseorang, harapan diciptakan agar kita punya arah hidup. Mimpi dikejar agar bisa menjadi kenyataan. Tapi orang lupa, kita juga punya ribuan mimpi buruk. Dan untuk satu mimpi indah, kita harus melawan semuanya. Apa itu adil?
Semakin besar mimpi, semakin besar risikonya. Seperti kembang api. Semakin ingin tampak indah, semakin besar pula biaya, bahaya, dan tekanan untuk menciptakannya. Dan orang-orang di luar sana? Mereka hanya menonton. Menikmati hasilnya. Tidak tahu bagaimana rasanya menjadi "api" yang dibakar demi tampilan satu menit di langit malam.
Pernahkah mereka bertanya, bagaimana sulitnya menciptakan keindahan itu? Bagaimana sesuatu yang dibakar dan hampir meledak bisa menjadi sesuatu yang memukau? Tidak. Hampir tidak ada yang peduli soal proses. Mereka hanya ingin hasil. Mereka ingin sesuatu yang bisa dikenang, dipuji, dan dikagumi, walau hanya sedetik saja.
Baiklah, mungkin tidak semua orang begitu. Tapi aku berkata berdasarkan apa yang aku alami.
Aku dan kembang api malam ini. Tidak ada bedanya.
Mungkin, kembang api itu justru lebih beruntung dariku. Ia berhasil meledak di waktu yang tepat, meninggalkan kesan indah, walau hanya sementara. Sementara aku? Aku adalah kembang api yang gagal. Meledak sebelum waktunya. Membahayakan orang di sekitarku. Dan kini menjadi produk gagal yang tak lagi punya mimpi, harapan, atau sekadar keinginan menciptakan keindahan.
Yang lebih menyakitkan dari kehilangan harapan adalah… hangus sebelum sempat bermimpi. Bersama mimpi-mimpiku, aku terbakar. Bahkan tak ada luka yang tersisa untuk sekadar mengingatkan aku bahwa rasa sakit itu nyata. Aku hangus. Habis. Tak ada bekas.
Sekarang, aku masih hidup. Tapi rasanya… aku terjebak. Terjebak dalam waktu yang mengerikan. Seandainya aku sudah mati, mungkin lebih mudah dijelaskan. Tapi kenyataannya aku masih di sini. Hidup, tapi tak utuh. Mungkin aku ini hanya puing-puing yang tertinggal. Bagian dari kembang api yang gagal. Layak dibuang. Atau diabadikan sebagai artefak kegagalan.
Ini mungkin menjadi malam terakhirku melihat kembang api meledak di udara. Melihat langit malam dari beranda kamar ini, aku tidak tahu apakah aku masih bisa merasakan hal yang sama di hari-hari mendatang. Dalam beberapa jam, semuanya akan berubah.
Aku telah mengurung diri di kamar seharian. Tangis ini belum berhenti sejak beberapa hari terakhir. Aku lelah. Bahkan terlalu takut untuk tidur. Takut ketika aku bangun, semuanya sudah berbeda. Takut saat membuka mata, aku sudah dipindahkan ke tempat asing.
Kotak-kotak itu masih terbuka. Aku sengaja tidak menutupnya. Tidak dengan perekat. Tidak dengan tali. Aku membiarkannya terbuka. Seolah berharap aku bisa membatalkan semua ini. Mencabut semua keputusan mereka.
“Tiara...” Suara ibu. Lembut, berbeda dari biasanya. Sejak kemarin, ia mencoba membujukku agar bersiap. Tapi aku menolak. Bahkan ayah sampai membatalkan penerbangan dua hari lalu karena aku menangis seperti anak kecil.
Padahal… sebentar lagi aku berusia delapan belas. Sebentar lagi seharusnya aku menjadi dewasa.
“Ibu tahu pasti berat kan, meninggalkan rumah, kota, dan teman-temanmu?” katanya lagi, sambil menutup satu per satu kotak dengan lakban.
Aku tidak menjawab. Mataku masih menatap langit timur, tempat kembang api bermekaran. Entah ada perayaan apa di sana, tapi bagiku mereka seolah sedang merayakan kepergianku.
“Jangan lupa jam tiga kita harus ke bandara!” seru ayah dari lantai bawah.
“Tidurlah, Ibu akan bangunkan kamu jam setengah dua nanti, ya? Biar Ibu yang siapkan semuanya.”
Perkataannya membuat dadaku panas. Aku berbalik menatapnya. “Ibu… tidak mengerti perasaanku?” tanyaku, menahan emosi.
Ibu menatapku, mengangguk pelan. “Ibu mengerti.”
“Lalu kenapa aku harus pergi? Kenapa aku harus sendiri juga di sana? Aku sebentar lagi lulus, kenapa aku tidak boleh menyelesaikan sekolahku di sini?”
Ibu menarik napas. “Ibu akan menyusul setelah surat kepindahan Ibu keluar.”
“Ibu…”
Ia hanya tersenyum. Tak menjawab. Tangannya terus bekerja, merapikan barang-barangku.
“Bu…”
Aku tahu percuma. Ia sudah memutuskan. Aku bangkit dari dudukku, meraih tempat tidur, lalu bersembunyi di bawah selimut. Menangis. Tak ada yang bisa kulakukan lagi.
Sakit. Semuanya terasa menyakitkan.
Aku merasa seperti kertas tipis yang dicetak dengan takdir, lalu dicoret sesuka hati orang tuaku. Aku tidak bisa melakukan apapun yang aku inginkan. Bahkan untuk memikirkan masa depanku pun aku tak diizinkan. Ayah dan Ibu sudah menuliskan semuanya—jurusan kuliah, tempat tinggal, bahkan cara berpikirku.
Aku tidak pernah punya mimpi lagi, sejak… kejadian itu.
Kalau kau tahu apa yang terjadi sebelum hari ini, mungkin kau akan mengerti kenapa aku tak ingin hidup seperti ini. Mungkin kau akan mengerti kenapa aku berharap aku mati saja saat itu.
Tapi aku masih hidup.
Sayangnya.
Aku tidak ingin mengenal diriku sendiri. Tidak ingin ada yang mengenalku. Tidak butuh siapa pun.
Ibu bahkan tidak tahu… bahwa aku tidak punya teman lagi, sejak kejadian itu.
Kalau kau tahu seperti apa hidupku sebenarnya… kau tidak akan pernah mau menjadi aku.
Aku, gadis delapan belas tahun yang kehilangan arah, kehilangan suara, dan kehilangan seluruh bagian dari dirinya.
Menyedihkan, bukan?
Sungguh, malang sekali diriku.