"Memangnya bisa hidup seperti itu?"
Rasa-rasanya di ruang seni ini Sakha sedang berbicara seorang diri. Ia memoles cat ke palet lalu meraih kuas sembari menghadap kanvas berukuran sedang. Sedangkan Nick? Jangan tanya, jika tidak baca komik, tentu saja membawa laptop dan menonton beberapa anime.
Ya, harusnya tidak masalah. Hanya saja, Sakha bingung akan apa yang terjadi pada dirinya. Melihat Reina yang cenderung bersikap tidak peduli, bahkan untuk hari ini gadis itu benar-benar mengabaikan kelas, sungguh membuat kekesalan Sakha sedikit naik.
Seperti satu titik hitam, meskipun awalnya tidak berarti apa-apa, tetapi tetap menjadi masalah apabila tidak diletak pada tempatnya.
"Semua orang juga punya luka masing-masing kali, Kha. Kebetulan aja, waktu pagi tadi lo lewat UKS, kedengeran dianya nangis," jawab Nick, tidak ambil pusing. Ia duduk di sudut ruangan, bersandar sembari mengunyah sebungkus bakso goreng di tangan.
"Saya bukan cuma lewat, Nick. Saya masuk ke dalamnya untuk ambil name tag yang ketinggalan. Ketika saya masuk, suara itu mereda, tetapi tertahan. Jadi saya pikir, lebih baik keluar secepatnya. Saya lihat sepatunya, benar punya Reina."
Sakha berdecak. "Cokelat ternyata tidak ampuh buat dia bahagia. Sebenarnya siapa yang nyakitin dia? Apa hal yang membuat dia sakit? Kenapa tidak meminta bantuan orang lain? Saya siap menampung semua masalah dia, tapi kalau seperti ini ... susah."
"Lo kecintaan bener kayaknya, Kha." Nick tertawa pelan, sembari menggeleng kepala. "Di antara banyak manusia yang lo temui, lo malah pilih Reina. Kalau lo tau dia orangnya gimana, lo harus siap menanggung konsekuensinya."
Dengan ekspresi jengahnya, Sakha kembali memoleskan cat pada kanvas. "Saya mau mendekatinya, ingin tau lebih banyak hal tentangnya, menemaninya."
"Ya, silahkan." Nick ogah-ogahan menjawabnya. "Lagian apa sih yang lo suka dari dia?"
"Dia hebat, dari segi apa pun," gumam Sakha, mengoleskan cat berwarna cokelat nyaris kehitaman, lalu membuat lengkungan tipis layaknya rambut. "Meskipun banyak orang yang tidak menyukainya, tapi menurut saya itu cara tulus dia menyelamatkan orang-orang."
Merasa dirinya mulai tenang, perlahan Sakha tersenyum tipis, memperhatikan lukisan bertema potret diri dengan objek seorang wanita dengan kepangan satu pada ranbutnya.
"Dia ... butuh pelindung, Nick."
***
Tidak! Mungkin Sakha sepertinya sudah gila atau mungkin bisa saja berhalusinasi akan bayangan Reina. Gadis yang feminim, rapuh, dan butuh perlindungan? Yang benar saja!
"Gue nggak ikutan, gue keluar dulu."
Beberapa hari kemudian, bel istirahat sekolah berdering. Awalnya yang hanya tersisa tiga orang di kelas, kini hanya menjadi berdua ketika Nick mengangkat tangan, memilih keluar ruangan.
Reina berdecak, giginya merapat, pandangan tajam tak dapat beralih dari sorot matanya sembari memperhatikan si pemilik mata bulat Sakha. "Cokelat, permen, makanan lainnya. Apa maksud lo letak di meja gue, hah? Nunjukkin bahwa lo mampu? Bahwa gue bisa dibeli pakai uang gitu?"
Sakha menelan ludah, menggeleng pelan. Sungguh, Reina yang keras kepala hanya meyakini apa yang ingin ia yakini saja. "Maaf kalau kamu tersinggung, tapi saya tidak ada bermaksud ke sana sama sekali, Rein. Saya mau lihat kamu bahagia. Saya nggak tau apa yang harus saya lakukan, hanya ini yang bisa saya perbuat."
Reina membuang wajah mendengkus. "Jujur aja, Kha. Apa yang mau lo minta sebenarnya, hm? Contekkan? Gue harus menyerah dan beri predikat juara satu gue ke lo? Atau ada masalah yang nggak gue tau dan lo coba jebak gue?"
"Astaga, Rein." Sakha menepuk dahi sendiri, lalu mengusap wajah dengan kasar. "Saya sama sekali nggak ada kepikiran ke sana. Saya memberi ke kamu, karena murni ingin memberi. Apa harus saya bilang kalau saya ingin menjadi teman kamu, lebih dekat dengan kamu?"
Reina mengangkat sebelah alis. "Untuk apa, hm? Sanggup dengar suara gue tiap hari? Gue bukan orang baik yang mau bersusah payah kayak lo. Kebahagiaan gue, milik gue. Kebahagiaan lo, milik lo."
"I know that." Sakha memejamkan mata sejenak, lalu mengangguk pelan. "Apa berteman dengan kamu sesulit itu? Apa yang harus saya lakukan untuk meyakinkan kamu? Bangun candi dalam semalam?" canda Sakha.
Entah bagaimana bisa, Reina tertawa pelan. "Boleh juga. Lumayan, jadi tempat tenang untuk pulang."
"Sepertinya tidak akan ada bagian ayam berkokok sebelum waktunya," ucap Sakha, mengusap belakang leher yang tidak gatal. "Katakan saja apa yang membuat kamu tidak nyaman, saya akan berusaha menyesuaikan."
Reina mengangkat sebelah alis, tersenyum sinis. "Ke depannya kamu akan menghadapi banyak masalah, Sakha."
"Saya cukup kuat menampung masalah itu, Rein."
Reina menyodorkan sebelah tangan, mengancungkan kelingkingnya. "Mau coba lihat bagaimana ke depannya?"
Dengan senang hati, Sakha mengaitkan jarinya ke kelingking kecil itu. "Akan saya buktikan kalau saya tidak akan menyerah menghadapi kamu, Rein."