"Kak Rein? Bangun, Kak. Ini Adek udah selesai kerjakan tugasnya."
Gadis dengan jaket hitam yang membaluti tubuhnya itu tersentak seketika. Mata yang tadinya terpejam, terbuka sesaat, lalu memperhatikan jam yang tertera di layar ponselnya. Hari libur, di mana hari orang beristirahat tetapi tidak untuknya. Lebih tepatnya, Reina sendiri yang memilih untuk tidak melakukannya.
Tangan mungil dari gadis kecil berusia delapan tahun itu berhenti mengguncang tubuh Reina, lalu menyodorkan buku tulis berisi tugas yang berhasil ia kerjakan. "Ini, Kak. PR matematikanya udah selesai."
Masih sepuluh pagi. Reina menyapu wajah dengan telapak tangan, lalu tersenyum, meraih buku tugas yang diserahkan kepadanya. "Untuk nilai pembatasnya sudah dicari?"
"Yang ini, Kak." Sebuah angka dilingkarkan dengan pensil. Reina yang mengoreksi pekerjaan rumah milik gadis itu mengangguk pelan, lalu mendaratkan tangan pada puncak kepala kecilnya.
"Oke. Berarti apa yang Kakak jelaskan udah paham, ya. Kamu ada tugas lagi?"
"Ada. Menggambar." Langkah kaki kecil itu berlari sejenak menuju kamar, Reina yang masih setengah dikuasai kantuknya memutuskan untuk meneguk segelas air mineral sembari meraih semangkuk puding cokelat di hadapan.
Sungguh, Reina tidak menyangka bahwa ia memutuskan untuk mengajar les bagi anak beberapa tingkat di bawahnya. Tidak hanya itu, ada juga beberapa orang meminta bantuannya untuk mengerjakan tugas dan tentu saja dengan bayaran yang setimpal.
"Tinggal dua tugas lagi," gumam Reina, memberikan tanda centang pada aplikasi catatan di ponselnya, sekali lagi memperhatikan jam di kiri atas layar. "Perpustakaan masih buka kali, ya."
"Ini, Kak Rein. Tugasnya disuruh buat pamflet gitu. Jadi, Adek gambar ini. Gimana menurut Kakak?"
Reina memperhatikan gambar, untuk sketsa kasar sudah jadi, warna yang baru diselesaikan seperempat harus dituntaskan lagi dan diberi detail serta garis tepi untuk mempertegas gambar. Reina tersenyum tipis, setengah heran dengan konsep pamflet yang diusung oleh gadis ini.
"Menghentikan waktu?" tanya Reina, tidak mengerti. "Memangnya ada yang jual jasa seperti itu?"
"Ada." Buku gambar diletakkan di meja, mengeluarkan krayon dengan berbagai macam warna. Lengkap, bahkan mulai dari beberapa tingkatan warna yang bisa menjadi gradasi. "Ketika seseorang melakukan kegiatan yang ia suka, ia bisa menghentikan waktu. Contohnya nonton teater ini."
"Keajaiban Bunga Nusantara." Reina membaca tulisan yang terletak di bawah gambar. Bunga Rafflesia Arnoldi terlihat mekar begitu indah dengan konsep tangan bunga dan jam pasir sebagai ikon dari pamflet yang dibuat.
"Kakak ada kegiatan yang disukai?" tanya gadis itu mengerjapkan mata dengan polos, tangan kecilnya meraih krayon lalu dengan lihai bergerak di atas kertas gambarnya.
"Mungkin ada," gumam Reina, menerawang jauh. Tidak ingin kalut dalam pikirannya, sekali lagi ia tersenyum lembut. "Mau Kakak bantu?"
Tentu saja gadis kecil itu mengangguk dan hingga menghabiskan dua jam yang ada barulah Reina dapat keluar dari rumah berhalaman luas itu. Taman yang terlihat indah, begitu pula rumah yang sederhana seperti banyak menyimpangan ketenangan di sana.
Sungguh, ia menginginkannya.
***
"Jadi aman, Mbak? Nggak terlewat, kan, tanggalnya?"
Sakha mencondongkan tubuh, berhadapan dengan meja sirkulasi petugas perpustakaan. Aroma dan dinginnya suhu ruangan membuat Sakha sesekali mengusap lengannya dan ingin pergi secepatnya dari tempat ini.
Ya, tapi niat hanyalah niat. Kita tidak akan pernah tau apa yang terjadi ke depannya dan kejadian apa yang berhasil mematahkan niat seseorang. Pintu kaca perpustakaan didorong oleh seseorang, awalnya Sakha mengabaikan sampai ia mendengar suara seseorang yang berbicara di balik masker dan topi hitamnya.
"Reina?"
Sakha tidak tau kehadirannya diharapkan atau tidak, tetapi yang pasti tampak gadis itu membuka topi begitu juga masker drngan sekali gerakan, menatap Sakha dengan kesal.
"Sepertinya nggak ada orang lain di kota ini selain lo." Reina memasukkan tas ke dalam lemari penyimpanan, tidak lupa pula ia mengambil beberapa lembar hvs, pena, tablet, dan juga ponsel. "Bukannya tugas kita udah selesai? Presentasi kita kemarin juga udah bagus."
Sakha tidak tau harus menjawab apa, sebagai gantinya ia hanya mengekori Reina dari belakang, lalu menggeser tempat duduk, memberikan ruang untuk Reina begitu juga dirinya. Saling berhadapan. "Kamu sendiri ngapain?"
"Gue ada kerjaan. Nggak usah ikut campur," tukas Reina galak. Menekan ujung pena, mencoret kertas hvs-nya dengan cepat. Sakha diam saja, ia tidak ingin mengganggu, tapi terus memperhatikan gadis itu. Wajah yang selalu fokus akan sesuatu dan senantiasa terlihat sibuk, tidakkah melelahkan?
Lihatlah, sesekali kelopak mata itu terpejam lama, mencoba mencuri sela tidur di setiap kesempatan, tetapi untuk beberapa menit setelahnya suara tekanan pena terdengar lagi, melanjutkan coretannya. "Perlu saya bantu?"
"Nggak, udah hampir selesai," ucap Reina cepat, masih fokus dengan hitungan di hadapan, lalu setelah garis dua dicoret di akhir kertas, barulah ponsel diangkat, menekan tombol foto yang mengarah pada jawaban tugas.
"Kamu joki tugas?" tanya Sakha hati-hati.
Reina mengembus napas gusar, mengangkat sebelah alis dengan pandangan menekankan. "Nggak usah ikut campur bisa?"
Tidak ingin menambah keributan, Sakha mengangguk pelan, kembali menegakkan komik di tangannya. Hingga setengah jam yang begitu hening, diam-diam Sakha mengerling memperhatikan Reina yang menopang kepala dengan sebelah tangan, sembari menggoreskan warna pada aplikasi di tablet dengan pena khusus di tangannya.
Rambut gadis itu sudah acak-acakan, beberapa anak rambutnya mencuat ke atas seperti anak ayam. Buru-buru Sakha menutup mulut rapat-rapat, kembali pada bacaan begitu gadis itu mengangkat kepala. "Gue tau lo ketawakan gue. Komik yang lo baca nggak ada genre komedinya sama sekali."
"Ketahuan ternyata, maaf." Sakha mengangkat sebelah tangan mengibaskan rambutnya sendiri memberi isyarat. "Itu, rambut kamu agak--"
"Nggak apa, biarkan saja." Reina tidak peduli. Ia memanjangkan lengan jaketnya kembali. "Bicara tentang joki tugas, tolong rahasiakan sama teman lainnya. Ada yang mau gue lakukan dan satu-satunya cara harus dapat penghasilan tambahan."
"Orang tua kamu tau?" tanya Sakha hati-hati.
"Entahlah." Reina mengedikkan kedua bahu, tersenyum sinis. "Mereka nggak terlalu peduli sama proses, yang penting hasil. Hasil anak orang lain misalnya."
"Tapi, bukannya kamu juga pin--"
"Berisik, Kha. Lo terlalu banyak tanya."
Untuk kesekian kali Sakha membungkam dan untuk kesekian kalinya pula Reina berhasil menghentikan pembicaraan.