"Entar, gue sisir rambut dulu."
Reina melepaskan ikatan satu pada rambutnya, lalu menyisir helaian itu dengan sela-sela jari. Tidak ada cermin di ruang seni lukis. Kata Sakha, cermin itu pecah karena tersenggol saat ia hendak menuju meja guru. Ya, Sakha dengan kecerobohannya dan Reina sudah memakluminya.
Sakha yang menyetel kamera di genggaman, tersenyum, diam-diam memotret gadis itu. Nihil, cahaya dari kamera terpantul, membuat gadis yang sedang menyusun poni depan itu membulatkan mata.
"Ampun." Sakha tertawa pelan. Bersiap-siap begitu Reina sudah duduk di bangku paling tengah dengan latar belakang beberapa kanvas dan jendela yang terbuka menampilkan langit birunya yang cerah. "Mulai?"
Reina mengangguk.
"Oke. Action."
"Di project kali ini, sepertinya aku ingin menceritakan beberapa kebingungan yang ada di pikiran. Gimana? Boleh?" tanya Reina lembut, ekspresi wajah yang ditunjukkan sungguh terbalik dengan apa yang biasa orang-orang lihat di luar sana.
Sakha yang memegang kamera, mengangguk.
"Bertemu denganmu sepertinya membuatku mengerti bahwa aku harus semakin berhati-hati. Banyak hal buruk yang aku ucapkan padamu, tapi pada nyatanya kata-kata itu sebenarnya untukku. Tidak adil," umpat Reina, memandangi lensa kamera dengan pandangan kosong. "Bahkan di kehidupan seseorang yang baik pun aku terlihat jahat, tapi bukankah lebih baik seperti itu? Karena ketika aku terlihat baik di kehidupan seseorang, mungkin itu sinyal bahaya bahwa kehidupanku tidak baik-baik saja."
Sakha diam saja, membiarkan gadis itu berbicara dengan bola matanya yang perlahan berair. "Aku membenci hidupku, aku tidak ingin hidup seperti ini. Bodohnya, ada seseorang yang menarikku. Aku tidak tau ini dinamakan apa, tapi aku dengan senang hati terlibat di dalam kehidupannya. Ia membuatku merasa bahwa aku berperan penting dalam hidupnya."
"Sial," umpat Reina sekali lagi. Mengabaikan aturan jaim yang ingin terlihat anggun dan baik. "Padahal aku sudah berusaha untuk tidak ingin memainkan peran penting dalam kehidupan siapa pun, Sakha!"
***
"Nick, ini sesuai janji saya."
Beberapa komik yang masih di sampul plastik diletakkan di meja ruang tengah. Libur sekolah memang hari yang paling ditunggu oleh siapa pun. Tidak hanya dapat beristirahat, tetapi juga bisa bermain sepuasnya. Tentu saja, siapa lagi tempat yang bisa ia kunjungi selain di rumah Nick?
"Wih! Mantap ini!" Dengan mata berbinar, Nick duduk di sofa, mengeluarkan komik-komik itu dari kantong dengan antusias. "Banyak ini, woi! Udah! Jangan beli-beli lagi, segini udah cukup! Oh ya, ngomong-ngomong nyokap lo tau?"
Sakha tertawa pelan, menggeleng. "Kalau tau, bisa-bisa saya yang kena gorok, Nick."
Nick mendelik, mengusap belakang lehernya yang merinding. "Bukan cuma lo, mungkin gue juga dimaki amun. Apalagi kelihatan bener manfaatin lo di dalam kesempitan."
Sakha berdecih, membuang wajah. Lagipula bukankah ia yang menawarkan penawaran ini? Harusnya tidak masalah, lagipula ia juga sering merepotkan sahabatnya itu. Mulai di mana Nick harus mengantar dan menjaga saat tubuhnya drop, selain itu ia juga sering menumpang makan dan beristirahat ketika rumah rasanya terlalu hening saat sendirian.
Rumah yang sederhana, di sini juga Sakha menemukan bakatnya dalam membuat lukisan. Lihat saja. Meskipun Nick bukan seniman, tetapi salah satu anggota keluarganya ada yang mendalami seni. Pria paruh baya dengan rambut gondorngnya itu sering kali mengajak Sakha untuk melihat proses berbagai lukisan yang terpanjang di dinding ini.
"Ayah kamu mana, Nick?"
"Sudah diduga, lo pasti tanya itu." Nick menunjuk salah satu pintu kamar yang tertutup dengan ujung dagu. "Ada di kamar, gara-gara besoknya libur tuh orang tua begadang nyelesaiin lukisannya. Kalau aja dia tau lo datang hari ini, pasti nambah lukisan baru dah!"
"Lukisan ayah kamu bagus, Nick." Sakha bangkit, memperhatikan beberapa bingkai lukisan yang terpajang di ruang tengah. Tampak salah satu canvas bernuansa muram, dengan punggung laki-laki yang duduk di salah satu tuangan berhadapkan cahaya bulan. "Selain buat hidup keluarga, saya yakin dia pasti ingin menabung buat membeli waktu di mana ia bisa melukis sepuasnya."
"Ya, begitulah." Nick mengangkat kedua bahu, lalu mengeluarkan joystick PSP. "Bakat seninya benar-benar nggak nurun ke gue. Jangan-jangan kita anak yang tertukar, Kha. Lo sebenarnya anak bokap gue dan gue ... nggak! Amit-amit gue nggak kebayang hidup diatur segitunya sama nyokap lo. Bisa gila!"
Sakha tertawa saja menanggapi Nick, ia mengambil joystick yang disodorkan, lalu melipatkan kedua kaki. Baru saja ingin memulai permainan, Sakha tersentak, secepat mungkin bangkit dan meronggoh ranselnya di sofa.
"Kenapa dah!" kesal Nick.
Sakha mengurut dada, mengembus napas lega, kembali dalam permainannya. "Cek buku perpustakaan kota, kemarin saya ada pinjam, hari ini batas pengembaliannya."
"Hari ini ...," Permainan dimulai, dua motor di arena balap mulai mendengungkan suara. Nick yang lihai memainkan, kini sambil berpikir, menghitung rentang waktu. "Kalau hari ini batas pengembaliannya, berarti minggu kemarin lo ke perpustakaan kota? Bukannya waktu ada janji sama Reina, lo bilang kelupaan datang?"
"Saya datang, saya menepati janjinya. Bahkan sampai dia pulang malam." Sakha berbicara dengan tenang, fokus pada permainan. "Hanya saja waktu itu saya tidak bisa menemuinya."
***
Sakha terlambat? Tidak, sepertinya gadis bernama Reina itulah yang terlambat beberapa menit dari jam yang ditentukan. Sakha yang sedari tadi mengelilingi beberapa rak buku di perpustakaan kota, kini mengintip salah satu kursi melalui celah rak.
Reina. Gadis itu datang terburu-buru dengan laptop dan beberapa buku pelajaran yang berada di dekapannya. Tidak lupa pula sebungkus tisu besar diletakkan di meja, lalu ia melihat jam tangan, memperhatikan sekelilingnya.
"Untung dia belum datang." Reina mengembus napas lega, tapi dari kejauhan pula Sakha bisa melihat betapa sembapnya wajah itu. Meskipun berusaha Reina menutupnya dengan bedak, tapi nihil, terlihat jelas.
"Gimana bisa ketemu Sakha dalam kondisi seperti ini, Rein?" gumamnya pelan, tetapi Sakha bisa dari pergerakan bibirnya. Kamera ponsel yang ia gunakan untuk berkaca kini dimatikan, Reina berusaha fokus untuk membaca teks pelajaran, tetapi nihil jari yang menyentuh sudut buku itu bergetar.
Sakha tidak tahu kenapa, tapi yang pasti gadis itu sedang terlihat tidak baik-baik saja. Lihatlah, lagi-lagi bola mata yang menyorotkan pandangan tajam itu perlahan berair, cairan bening yang berusaha ditahan kini pada akhirnya luluh dan mengalir ke permukaan pipi.
Kedua alis yang selalu menukik tajam kini terangkat, begitu juga dengan kerutan yang kini selalu dipijat oleh pemiliknya dengan harapan dapat melonggarkan rasa sakit yang menghantam di kepalanya. Sesuai dugaan Sakha, bagaimanapun juga, sekeras apa pun Reina yang dilihat orang-orang, gadis itu juga manusia biasa.
Ada sisi rapuhnya, tetapi enggan untuk menunjukkan. Gengsi dan ego yang besar, atau mungkin sebenarnya gadis itu tidak ingin merepotkan orang sekelilingnya saja? Menangis tanpa adanya suara seperti itu bukankah menyakitkan? Meskipun postur itu terlihat membaca, tapi bukankah organ di dalam tubuh sana jauh lebih fokus pada rasa sakitnya?
Ingin rasanya Sakha menghampiri, tetapi sepertinya tidak mungkin bila berada di situasi seperti ini. Reina yang selalu menjaga harga diri, pasti gadis itu akan malu dan merasa tidak nyaman bila bertemu seseorang di dalam situasi seperti ini.
Ya, meskipun dari dalam dirinya Sakha juga penasaran. Apa yang dialami gadis itu sebenarnya?