01 April 2030.
Cluster Harapan Indah. B7.
"Ayah, bangun."
Sebuah tangan kecil dari anak berusia empat tahun itu tidak hentinya mengguncang lengan yang jauh lebih besar dari miliknya yang sedang terkulai di sofa. Kelopak mata ayahnya masih saja tertutup rapat, padahal sudah susah payah ia membangunkan.
Mulai dari menghidupkan serial kartun di televisi, menyibakkan gorden di ruang tengah, hingga mematikan pendingin ruangan. Nihil, usahanya sia-sia.
Tidak ingin membuang waktu, kaki kecil itu melangkah menuju dapur. Ia menggeser kursi ke lemari penyimpanan lalu meraih kotak serealnya. Berhasil. Ia tersenyum sumringah sembari meraih mangkuk kaca.
"Oke, sekarang kita tuang pelan-pelan." Anak laki-laki berponi pendek di dahi itu menuangkan serealnya hati-hati berharap tidak menimbulkan suara kerincingan. Ayah semalam menyuruhnya untuk membangunkan, tapi kalau Ayah tidak kunjung bangun ia yang anak kecil ini memangnya bisa apa?
Lagipula kalau Ayah bangun, pasti langsung terburu berangkat kerja, membawanya ke daycare, dan bertemu dengan teman yang sama. Jujur, ia ingin di rumah ini, bermain bersama Ayah. Cukup itu.
Bibir bawah kecil itu terangkat, duduk berhadapan dengan televisi sembari memakan sereal keringnya. Mungkin matanya tertuju pada kartun kuning berbentuk kotak dengan temannya yang berbentuk bintang, tapi tidak dengan pikirannya.
Ada rasa tidak nyaman, ia tidak bisa fokus dengan film yang ditampilkan. Lagipula, seperti ada sesuatu yang berat mengganjal dadanya hingga membuatnya sulit bernapas.
Detik, menit, jarum jam panjang di dinding terus berputar arah. Jam beker milik Ayah yang selalu otomatis berdering di kamar terdengar. Tidak cukup itu, suara alarm dari ponsel di meja ruang tengah juga terus bergetar, memenuhi setiap sudut rumah.
"Ayah?" panggilnya kali ini dengan gemetar, tangannya yang dipenuhi bekas remahan sereal sekali lagi mengguncang tubuh ayahnya dengan kuat, memukulnya berulang kali. Nihil, tidak ada jawaban atau lenguhan.
"Bunda ...." Ray menggigit bibir bawahnya dengan erat, berpegangan erat pada lengan ayahnya. Bola matanya yang memancarkan kecemasan perlahan mengeluarkan cairan bening di sana. "Ray harus gimana?"
Tidak ada sosok bunda yang menghampiri, hanya ada foto wanita yang tampak lebih muda dengan senyuman cerah dan matanya yang menyipit senang. Ray tau, itu bundanya. Bunda yang melahirkannya, tapi tidak pernah sedikit pun ia bertemu langsung bahkan menyentuhnya.
"Bantu Ray, Bunda. Tolongin Ayah."
***
Beberapa tahun yang lalu ....
UKS. SMA Budhi Bhakti.
"Anak ini lagi! Nggak ada orang lain apa?" Reina berdecak pinggang, melepaskan slayer putih dengan logo PMR yang tercetak. Habis sudah kesabarannya, kalau tau menjadi PMR melelahkan seperti ini lebih baik ia upacara saja setiap senin. Biarkan saja panas, apalagi kaki harus menahan pegal saat mendengar nasehat dan petuah dari pembina upacara yang selalu totalitas. Setidaknya, ia tidak perlu berlari bolak-balik memanggul tandu dan jangan lupa pula membuat teh manis hangat berulang kali.
"Sabar, Rein. Gue tau lo udah capek, tapi sebenarnya orang-orang juga pada nggak mau sakit. Nanti kita cari anggota lagi, ya?" Sisil menepuk bahu Rein dengan pelan, cewek berkepang dua itu masuk kembali ke ruangan berbau obat sembari memperhatikan beberapa siswa yang menjadi korban dihantam terik matahari.
Rein memejamkan mata sejenak, mengembus napas panjang berulang kali. Setelah merasa tenang, barulah ia masuk ke dalam ruangan, menghampiri salah satu siswa yang masih memejamkan mata di tempat tidur sana.
"Gimana, Lim?" tanya Rein, membuka tutup minyak kayu putih, mengoleskannya pada tengkuk sendiri. Cowok berkacamata yang juga anggota PMR itu menyibakkan tirai sejenak lalu mengangguk pelan. "Aman, Kak. Kakak istirahat dulu aja, wajah Kakak sendiri udah pucat."
Rein berbalik arah, memperhatikan rona wajahnya di cermin lemari ruangan lalu berdecak. Malu-maluin banget!
Upacara telah usai disambut dengan suara riuh tepuk terdengar dari lapangan begitu pula disusul dengan derap langkah kaki para siswa yang secepat mungkin menuju tempat teduh, barangkali ke kelas atau mungkin ... kantin?
Tidak hanya siswa di lapangan, beberapa siswa yang ada di ruangan kesehatan juga perlahan mulai beranjak setelah berhasil memulihkan kondisinya. Hanya tersisa tiga para petugas dan seorang siswa terakhir yang ditangani.
"Mau teh, Rein? Sama roti jagung? Lo nggak jadi sarapan tadi, kan?" Suara dentingan sendok teh dan gelas kaca beradu. Setelah dirasa gula sudah larut barulah ia meletakkannya ke meja bersama setoples roti jagung. Sisil menggeleng pelan. "Udah, stok obat-obatan entar biar gue yang hitung. Lo duduk dulu dah mending, diam bentar gitu."
"Sebentar, nanggung." Rein menghitung beberapa strip obat di lemari, mencatat di salah satu buku, dan menempelkan beberapa kertas notes. "Lim, Sil, ini notes hijau di lemari tentang hitungan stok obat yang habis. Notes kuning jumlah berapa seprai, sarung bantal, sama pakaian yang gue antar ke laundry. Pulang sekolah nanti ada yang bisa tolong ambilin?"
"Saya aja, Kak." Lim, cowok berambut kribo itu memperhatikan notes yang tertempel di lemari. "Ada yang perlu saya bantu lagi?"
"Untuk susunannya udah gue rapikan. Gue beri beberapa warna penanda supaya mudah letaknya. Khusus pakaian di mana, slayer di mana. Letak obat-obatan juga nggak bisa sembarangan, yang sering kita gunakan letak di rak bagian depan, tapi yang di rak belakang jangan lupa tolong perhatikan masa kadaluarsanya. Kalian berdua kerjain aja sebisanya, entar biar gue yang urus sisanya "
"Iya, iya. Makan dulu lo, Rein." Sisil yang berada di kursi mencelupkan setengah potong roti ke cangkir, lalu melahapnya. "Lim, mending lo temanin gue duduk sini. Ikutan Rein bisa-bisa makin kurus badan lo."
Lim menyengir, mengusap belakang lehernya sungkan. Masih saja tidak beranjak berdiri di samping Rein. "Kak, abang yang tadi terakhir masuk udah saya tangani. Waktu saya bangunkan juga, dia udah sadar. Cuma karena katanya masih pusing, jadi saya minta dia istirahat dulu, nggak apa?"
Rein mengangguk singkat.
Sisil yang memperhatikan, tertawa pelan. "Senyum kali, Rein. Cuma Lim yang bisa kita andalkan di sini, anak-anak PMR pada kabur karena lo tau nggak?"
Rein menghentakkan pena di buku genggamannya, membalikkan badan. "Bukan karena gue. Kita butuh orang yang kuat, bisa laksanakan tugas. Gue nggak masalah mereka ngeluh capek, tapi masalah buat gue kalau pada malas-malasan. Masuk PMR supaya nggak ikut upacara? Setelah ditugasin di bagian lapangan eh mencak-mencak nggak terima. Yang benar aja!"
Sisil mengangkat kedua tangan pasrah, enggan membalas kembali. Begitu juga Lim yang mengulum senyum. "Saya izin ke kelas dulu, ya, Kak."
"Gue juga, mau cari es bentar di kantin sebelum bel bunyi. Lo ada mau nitip?" tanya Sisil, menekan tutup toples, lalu bangkit.
"Kantin paling ujung, Sil. Tolong bilang mbaknya, entar istirahat kedua gue pesan nasi, sayur asem, sama lele. Pesanannya gue bayar dulu, biar entah nggak perlu desakan sama yang lain." Rein mengeluarkan berapa lembar rupiah, menyodorkannya ke Sisil. "Makasih, Sil."
"Yap." Sisil mengambil, secepat mungkin cewek berkepang dua itu mengikat tali sepatu bergegas.
Hening, sepi. Secepat mungkin, Rein meletakkan buku ke meja, langkahnya yang mulai limbung mau tidak mau membuatnya harus berpegangan pada perabotan di setiap sisi jalan menuju sofa sesekali mendesis menopang dahi dengan sebelah tangan.
"Pelan-pelan, Rein. Lo harus bisa," ucapnya menyemangati, mendaratkan tubuh dengan perlahan ke sisi sofa, sembari meneguk secangkir teh yang tidak lagi hangat.
"Oke, udah. Sekarang istirahat sebentar, lima menit juga nggak apa." Rein menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan sembari memejamkan mata, duduk dengan tenang, bersandar di sisi sofa.
Srekk! Srekk!
Ah, Rein baru ingat, bahwa ia sebenarnya tidak sendirian di ruangan ini. Bukankah di balik tirai yang senantiasa bergerak itu terdapat seseorang yang seharusnya sedang beristirahat?
Hilang kesabaran, Rein membuka mata, menatap tajam pada laki-laki yang susah payah menjulurkan tangan untuk mengibaskan tirai biru muda yang mengelilingi brangkarnya.
"Itu ... kamu nggak apa-apa?" tanyanya pelan, hanya kepala yang terlihat di balik tirai itu sembari menatap cemas pada Rein yang berjarak beberapa langkah darinya. "Saya takut kamu drop."
Sakha Abimana Widjaya. Sebelum sekelas dengannya, sebenarnya Rein sudah tau lebih dahulu nama cowok itu. Bagaimana tidak? Seringkali menjadi pelanggan ruangan ini di setiap senin. Entah itu terpaksa dibopong menggunakan tandu atau cowok itu sendiri yang tiba-tiba saja berjalan tertatih dengan wajah ala zombie. Ingin heran, tapi melihat kedatangannya begitu sering membuat Rein tidak penasaran lagi.
"Urus diri lo sendiri," jawab Rein ketus, melipatkan kedua tangan di dada, kembali memejamkan mata. Bagaimana bisa orang yang membutuhkan pertolongan malah menawarkan bantuan kepada orang lain?
Dasar aneh, pikirnya.