Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kembali ke diri kakak yang dulu
MENU
About Us  

Juara 1 dan 2 LCC

 

 

  Hari Jumat dan Sabtu telah terlewati. Itu artinya, dua hari perlombaan di sekolah telah resmi berakhir. Kini, yang tersisa hanya satu hal, pengumuman pemenang. Yang akan di umumkan esok lusa, yaitu pada hari senin saat upacara bendera di laksanakan.

  Dan hari itu pun akhirnya tiba.

  Senin pagi. Lapangan sekolah penuh dengan murid-murid yang berdiri berbaris rapi, mengenakan seragam lengkap. Matahari baru naik, tapi hawa penasaran sudah lebih dulu memanas.

  Suara riuh pelan terdengar di antara barisan. Bisik-bisik. Tebak-tebakan. Nama-nama disebut, dibicarakan. Semua ingin tahu siapa yang akan naik panggung dan menggenggam piala hari ini?

  Murid-murid yang sudah tahu dirinya menang, tampak tak sabar. Beberapa bahkan mencuri-curi pandang ke arah meja piala di samping panggung.

  Sedangkan yang belum tahu nasibnya? Wajah mereka penuh tegang. Ada yang gelisah, menggigiti kuku, menunduk, atau komat-kamit entah baca doa atau mantra keberuntungan. Semua berharap namanya disebut, bukan dilupakan.

  Naln berdiri di barisan paling belakang kelasnya, seperti biasa. Tempat paling aman menurutnya. Dari sana, ia bisa melihat semuanya tanpa harus terlalu terlihat.

  Sebenarnya, tubuhnya mulai lelah. Ia sudah tidak betah berdiri lama-lama di antara kerumunan. Punggungnya pegal, matahari mulai naik, dan suara guru pembina yang memberi sambutan mulai terdengar seperti suara latar yang ingin ia lewati saja.

  Tapi, di sisi lain... ada satu alasan mengapa ia tetap berdiri di sana.

  Ia ingin melihat seseorang naik ke atas panggung. Dengan wajah ceria, mungkin juga senyum yang melebar seperti biasanya.  Seketika, senyum tipis muncul di wajah Naln.

  Ia terkekeh pelan. Sadar betapa anehnya kalau ada yang melihat, untungnya tidak ada murid yang memperhatikannya. Semua terlalu sibuk dengan harapan masing-masing.

  Bug. Bug.

  Suara ketukan pada mikrofon terdengar beberapa kali. Itu jadi tanda bahwa acara akan segera dimulai. Beberapa murid yang tadinya masih asyik ngobrol, mulai menoleh ke arah panggung.

  Di sisi kanan dan kiri, beberapa guru terlihat sibuk mengecek sound system dan mikrofon, memastikan semuanya berfungsi dengan lancar. Maklum, kalau sampai macet di tengah acara, bisa bikin suasana jadi canggung.

   Naln menyapu pandangannya ke seluruh murid yang berbaris rapi di barisan masing-masing. Matanya akhirnya menangkap sosok Lenard yang sedang asyik mengobrol dengan tim LCC-nya. Wajah mereka tampak ceria, penuh semangat, dan tak sabar menanti pengumuman.

  Melihat itu, senyuman otomatis terukir di bibir Naln. Ada rasa bangga yang hangat, walau ia tak pernah menunjukkannya secara langsung.

  "Mohon perhatiannya. Kepada seluruh murid, dimohon untuk mengalihkan pandangan kalian ke Bapak yang paling ganteng di sini. Jangan nengok-nengok ke yang lain. Cuma Bapak di sini yang ganteng," ucap suara dari mikrofon dengan nada santai dan penuh percaya diri.

  Dari gaya bicaranya yang khas dan humoris, siapa lagi kalau bukan Pak Keno, Pak kepala sekolah mereka tercinta, sekaligus raja percaya diri nomor satu di sekolah.

  Sontak seluruh murid tertawa. Suasana yang tadinya tegang jadi mencair seketika. Bahkan beberapa guru pun ikut tergelak mendengar lelucon Pak Keno yang seperti biasa, selalu tahu cara mencuri perhatian.

  "Sini lihat Bapak, sini lihat Bapak!" seru Pak Keno sambil melambaikan tangan penuh gaya dari atas panggung.

  Tanpa disuruh dua kali, para murid langsung menoleh ke arah panggung alias ke Pak Keno yang, menurut pengakuannya sendiri, adalah yang paling ganteng di sekolah.

  Barisan mereka pun otomatis jadi lebih rapi, seolah karisma 'kegantengan' Pak Keno mempengaruhi tatanan disiplin.

  Lenard yang sebelumnya tertawa terpingkal-pingkal, kini berdiri tegak sambil berusaha menahan senyum. Naln pun ikut merapikan posisi, meski di dalam hati masih geli dengan tingkah kepala sekolah mereka itu.

   “Kalian penasaran kan siapa yang menang?” ucap Pak Keno sambil menyipitkan mata dramatis dan menunjuk seluruh murid dengan jari telunjuk kanannya, seolah sedang menuduh satu-satu.

  “IYAAAA!” jawab semua murid serempak dengan semangat membara, sampai ada yang nyaris loncat.

  Kecuali Naln, tentu saja. Ia hanya mengangkat alis tipis, tak ada seruan, tak ada tepukan. Diam-diam ia tersenyum kecil, karena tahu betul siapa yang ia tunggu untuk naik ke panggung hari ini.

  "OKE KALAU BEGITU..." Suara Pak Keno terdengar berat, tapi tetap nyaring dan penuh gaya.

  “Bapak akan memberikan mic ini kepada MC lomba kemarin. Kepada MC, bapak persilakan naik ke panggung.” Suara Pak Keno menegecil.

  Seketika wajah-wajah antusias murid berubah, mereka pasang muka kecewa, sebagian mendecak pelan, sebagian lain menghela napas, tapi... tetap sambil tertawa kecil.

  Mereka kira Pak Keno sendiri yang akan mengumumkan pemenangnya. Ternyata eh ternyata, Pak Keno cuma lewat. Hanya objek pencari perhatian yang sukses bikin semua orang senewen, tapi senyum juga.

  MC naik ke panggung dengan langkah mantap. Salah satu dari mereka menerima mikrofon langsung dari tangan Pak Keno, yang tentu saja memberikan mic itu dengan gaya dramatis seperti sedang menyerahkan tangannya ala-ala pangeran kepada sang putri.

  Setelahnya, Pak Keno turun dari panggung… dengan gaya yang, yah…konyol. Lengannya melambai seperti selebriti, kakinya melangkah dengan sedikit joget kecil yang entah gaya apa. Tapi justru itulah yang membuat semua murid tertawa lagi, bahkan beberapa guru ikut tersenyum geli.

  Suasana pun jadi lebih hidup dan hangat, tepat seperti yang diharapkan dari momen pengumuman pemenang lomba.

  "Baik, langsung saja kita masuk ke sesi yang paling ditunggu-tunggu..." ujar MC sambil sedikit menaikkan nada suaranya, membuat suasana kembali tegang namun penuh semangat.

  "Yaitu… pengumuman pemenang lomba!"

  MC mulai membacakan nama-nama pemenang dari setiap jenis lomba, satu per satu, dengan jeda dan penekanan dramatis yang membuat seluruh lapangan seakan menahan napas. Saat nama-nama itu disebut, reaksi para murid pun beragam.

  Murid yang sejak awal sudah tahu dirinya menang, karena memang dari kemarin hasilnya sudah diumumkan atau nilainya paling mencolok, melangkah ke panggung dengan santai, ekspresi mereka lebih ke bangga dan cool. Beberapa bahkan sempat dadah-dadah ke teman sekelasnya.

  Tapi… berbeda dengan murid yang tidak menyangka akan menang. Mereka meloncat-loncat di tempat, wajahnya langsung merah karena terlalu senang. Teman-teman mereka spontan ikut bersorak, beberapa berlari menyusul dari barisan sambil tertawa-tawa, memukul pelan pundak temannya karena kaget sekaligus bangga.

   Saat pengumuman pemenang lomba LCC dimulai, suasana lapangan langsung sunyi.

  “Lomba LCC, juara ketiga… diraih oleh…” MC sengaja menggantung kalimatnya. Beberapa murid yang belum tahu hasilnya mulai berdegup kencang, menanti dengan cemas.

  “Kelompok Lenard dari kelas empat!” Tepuk tangan langsung membahana. Lenard dan dua temannya berlari ke depan dengan ekspresi bahagia. Senyum mereka mengembang, bahkan salah satu dari mereka sampai melompat kegirangan. Lenard sendiri tak henti-hentinya menoleh ke arah barisan Naln, seperti ingin memastikan kakaknya melihat ini semua.

  Naln tersenyum kecil. Ada rasa hangat menyelinap di dadanya.

  “Juara kedua… diraih oleh…” Murid-murid kembali menahan napas.

  “Kelompok Vero dari kelas enam!” tangan kembali terdengar, meski tidak sepecah tadi. Beberapa murid berbisik-bisik di barisan mereka. Kelompok Vero berjalan menuju panggung, bukan dengan senyuman, tapi dengan langkah berat. Ekspresi mereka seperti orang yang baru saja kehilangan sesuatu yang penting. Naln menyadari sesuatu. Ada yang aneh pada ekspresi Vero.

  Vero berdiri tak jauh dari kelompok Lenard, tepat di sisi kanan. Wajah kelompok mereka terlihat lesu, terutama Vero, yang berdiri di antara dua temannya dengan kepala sedikit tertunduk. Matanya menatap kosong ke arah panggung, seolah tak benar-benar mendengar riuh tepuk tangan di sekitarnya.

  Naln mengerutkan kening. Ada apa dengan mereka?

  “Juara ke satu!” suara MC kembali menggema.

  “Diraih oleh…”

  Deg.

  “…Kelompok David dari kelas Enam!”

  Sorak-sorai langsung pecah. Teman-teman sekelas David berteriak histeris, terutama para penggemar perempuannya. Teriakan seperti,

  “DAVID KEREN!” 

  “GANTENGNYA BIKIN NAIK DARAH!”

  David melangkah ke panggung bersama kelompoknya. Senyum percaya dirinya begitu kentara, cukup untuk membuat beberapa teman murid Perempuan, bahkan dari adik kelas, berbisik-bisik sambil menahan rasa kagum.

  “Astaga, itu senyumnya bikin meleleh…”

  “Dia senyum dikit aja kayak oppa Korea.”

  Naln yang berdiri di barisan belakang hanya bisa menghela napas, lalu terkekeh pelan. Geli sendiri.

  Ia sempat melirik Vero lagi dan ya… ekspresinya masih sama. Datarnya bukan karena kekalahan biasa, tapi seperti seseorang yang tidak terima dengan hasilnya.

 

***

 

  Setelah upacara dan pengumuman selesai, seluruh murid langsung berpencar menuju kelas masing-masing, untuk beristirahat sejenak sebelum bel pelajaran pertama berdentang.

  Naln berdiri agak lama di tempatnya. Matanya menatap ke arah Lenard yang tengah berjalan bersama teman-teman kelompoknya. Mereka tampak begitu antusias, sibuk melihat-lihat piala dan membandingkan sertifikat masing-masing. Lenard bahkan menghitung jumlah bintang yang terukir di bagian bawah piala sambil terkekeh kecil.

  Lalu, mata mereka bertemu.

  Lenard langsung menyadari tatapan sang kakak. Ia sontak tersenyum lebar. Tanpa pikir panjang, ia menyerahkan piala yang tengah ia pegang pada salah satu temannya, lalu berlari kecil menuju Naln. Di tangannya, ia menggenggam sertifikatnya erat-erat, siap untuk dipamerkan. Wajahnya ceria. Matanya berbinar.

  Naln hanya berdiri diam, tapi senyum kecil mulai membentuk di wajahnya.

  "KAKAAAK!" seru Lenard, setengah berteriak, setengah menahan napas karena lari kecilnya barusan.

  Naln menunggu, tenang, dengan mata yang sedikit menyipit menahan geli.
Dan saat Lenard sampai di depannya, ia langsung mengangkat sertifikat itu ke wajah kakaknya.

  “Lihat! Aku dapat ini!” katanya bangga

  “Nama aku dicetak tebal! Lihat dong, Kak!” Naln tertawa pelan.

  “Iya, aku lihat.” Ia menatap sertifikat itu sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke adiknya yang tampak lebih bersinar dari kertas mana pun.

  “Kamu hebat Lenard, kakak aja kalah sama kamu.” Puji Naln seraya tersenyum hangat.

  Lenard tersipu, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

  Naln mengangkat tangannya, lalu mengacak-acak rambut Lenard yang memang sudah agak berantakan sejak tadi. Lenard terkikik, tapi tak menghindar.

  "Kakak," katanya pelan, masih tersenyum,

  "nanti kita latihan lagi, ya? Sepulang sekolah?" Naln terdiam sejenak. Tangannya yang tadi mengacak rambut adiknya perlahan diturunkan. Ia menatap mata Lenard sebentar sebelum menjawab,

  "Iya. Sepertinya sekalian nyari kayu bakar juga buat Ibu." Lenard langsung mengacungkan tangan kanannya, membentuk pose ‘oke’ dengan penuh semangat.

  "Oke, siap, Kak!"Naln hanya tersenyum.

  "Udah sana, balik ke teman-temanmu. Nungguin tuh," katanya, menoleh ke arah kelompok Lenard yang kini sudah duduk di bawah pohon sambil memainkan piala mereka. Lenard mengangguk cepat.

  “Dadah kak!”  Ia pun berlari kembali, tak lupa melambaikan tangan sambil tetap menoleh ke belakang.

  Naln menatap punggung adiknya yang menjauh. Angin pagi berembus pelan, menyapu sisa riak senyuman di wajahnya. Hari itu terasa hangat, bukan karena matahari, tapi karena rasa bangga yang tak bisa diucapkan dengan kata.

 

***

 

  Koridor yang dilalui Naln tampak sepi. Biasanya, tempat itu dipenuhi suara murid-murid yang mengobrol sambil bersandar di tembok, menatap ke arah lapangan dengan tawa riang. Tapi kali ini, hanya langkah Naln yang terdengar menggema, menyusuri lantai koridor yang panjang.

  Murid-murid lain tengah beristirahat di kelas masing-masing, lelah setelah berdiri lama di bawah terik matahari saat upacara. Waktu hening ini, semestinya memberi ruang bagi Naln untuk sekadar tenang.

  Namun, langkahnya mendadak terhenti.

  Dari sudut mata, ia melihat dua sosok berjalan di kejauhan, arahnya menuju belakang sekolah. Vero? David?

  Naln menyipitkan mata. Ya, itu mereka.

  Ada sesuatu yang aneh. Cara mereka berjalan terlalu cepat, terlalu kaku. Tak ada obrolan. Hanya diam, dengan wajah yang sulit terbaca dari kejauhan.

  Perasaan tak enak langsung menjalar perlahan dari dada Naln. Ada firasat buruk. Naln mulai melangkah lagi. Tapi kali ini, berbeda arah.

  Naln terus melangkah pelan, berusaha agar langkah kakinya tak terdengar. Sesekali ia bersembunyi di balik tembok.

  "Emang mau ngapain ke belakang sekolah?" Naln mendengar suara David yang bertanya. Sepertinya Vero mengajaknya ke belakang sekolah tanpa memberi tahu alasannya.

  "Ikut saja, David." Jawaban Vero membuat David semakin kebingungan dan menambah kecurigaan Naln terhadap Vero.

  Naln terus mengikuti mereka. Sampai akhirnya mereka tiba di belakang sekolah. Ia mengintip dari balik tembok, tubuhnya menempel ke dinding.

  Vero menghentikan langkah, David otomatis ikut berhenti di belakangnya. Perlahan, Vero berbalik menghadap David. Sebuah senyuman muncul di wajahnya.

  Tapi Naln bisa membaca gelagat. Itu bukan senyum tulus, itu senyum yang menyimpan sesuatu.

  "Selamat atas kemenanganmu," ucap Vero, nada suaranya datar namun terdengar menekan. David mengernyit, terdiam sejenak.

  "Oke...?" balasnya ragu, matanya menatap Vero dengan bingung. Naln menyipitkan mata, firasat buruk itu semakin kuat.

  "Aku tak menyangka justru kau yang akan mendapat juara satu LCC." Vero terkekeh pelan, namun senyumnya berubah perlahan, lebih mirip seringai daripada ekspresi bangga.

  "Kuakui, kau hebat bisa mengambil posisiku... atau itu cuma kebetulan?" David mengangkat sebelah alis, jelas bingung.

  "Maksudmu?"

  Tatapan Vero menajam, dan di balik sorot matanya, tersimpan emosi yang sulit dijelaskan, amarah, mungkin juga kekecewaan.

  "Jangan pura-pura tak tahu," desisnya. Vero menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar. Suaranya terdengar seperti sedang menahan diri.

  "Kau tahu siapa yang selalu mendapatkan juara satu di lomba LCC, kan?" David menatap mata Vero, diam sejenak, lalu perlahan mengangguk.

  "Siapa? Sebutkan namanya." Nada suara Vero terdengar menekan. David menelan ludah.

  "V-Vero?” Vero tertawa. Tapi tawanya tidak seperti biasa, tawa itu terdengar getir.

  "Itu artinya kau tahu! kau telah mengambil posisiku!" Bentakan itu membuat David terkejut. Ia refleks melangkah mundur, wajahnya menunjukkan keterkejutan dan ketakutan.

  Senyuman Vero kini benar-benar mengerikan, penuh dengan kemarahan yang meledak setelah lama dipendam.

  “Karena kau sudah mengambil posisiku,” ucap Vero pelan, namun nada suaranya dingin seperti angin yang tiba-tiba menusuk di belakang leher.Ia menunduk sebentar, lalu kembali  menatap David dengan senyum yang aneh,senyum yang bukan lagi sekadar kesal.

  “Aku akan memberimu hadiah… sebagai bentuk penghargaan dari rasa banggaku.” Nadanya terdengar seperti ejekan. Bukan ucapan selamat, melainkan peringatan yang disamarkan dalam kata-kata manis.

  Intonasi suara Vero kembali normal, tenang, tapi justru terasa lebih mengancam.

  Tiba-tiba, dua orang murid laki-laki muncul dari balik koridor seberang. Naln mengenali mereka. Itu dua rekan kelompok LCC Vero.

  Wajah David mulai panik. Langkahnya mundur perlahan, matanya bergantian menatap mereka bertiga.

  Sekarang ia mengerti. Maksud dari “hadiah” yang Vero ucapkan tadi… bukan hadiah dalam bentuk barang.

  “Teman-temanku ini,” ucap Vero sambil mengangkat dagunya,

  “mereka juga bangga dengan pencapaianmu, David.” Senyumnya mengembang lagi, senyum yang sama seperti sebelumnya.

  “Dan mereka juga… ingin memberikan hadiah.” Naln mengerutkan kening dari balik tembok, tubuhnya tegang.

  “Berikan hadiahnya padanya,” perintah Vero santai. Dua murid itu melangkah maju mendekati David.

  David melihat tangan mereka dikebelakangkan, seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
Jantungnya berdegup makin cepat. Langkah kakinya tetap mundur, seolah tubuhnya bersiap melarikan diri kapan saja.

  Langkah David terhenti. Di belakangnya tembok. Ia menoleh kiri dan kanan, mencari celah untuk kabur. Tapi saat menengok ke kiri… tatapannya bertemu dengan sosok tersembunyi di balik tembok.

  Naln.

  Wajah David penuh kepanikan. Keringat menetes di pelipisnya. Tatapan matanya pada Naln seolah berkata, Tolong aku.

  Splash!

  Naln menahan suatu benda yang akan meluncur ke arah David. Tapi tak mengenainya. Naln berhasil menahan benda itu dengan kedua tanganya. Di detik itu, semuanya membisu.

  Mata Vero dan kedua rekannya membelalak. Terkejut bukan hanya karena benda itu gagal mengenai sasaran, tapi karena—Naln? Kapan dia datang?

  Seolah muncul dari udara, Naln berdiri di antara dua rekan Vero dan David.

  “B-bagaimana kau bisa tiba-tiba muncul di sini... dalam sekejap mata?...” Vero masih tak menyangka dengan kehadiran Naln yang tiba-tiba.

  “Lari, David!” bentak Naln tajam.

  “T-tapi kau-”

  “Cepat!” Mata Naln membelalak, menatap David dengan intens.

  Sesaat, mata Naln berubah menjadi merah menyala. Hanya satu detik, lalu kembali normal. Tapi cukup untuk membuat David merinding. Ia tak berani bertanya lebih jauh.

  Tanpa pikir panjang, David langsung berbalik dan berlari sekencangnya.

  Vero menyipitkan mata, menatap Naln yang kini berdiri menahan benda di tangan kedua rekannya.

  “Oh… jadi kau juga ingin hadiah karena sudah menyelamatkan David, ya?” Senyuman menyeringai muncul di wajah Vero, kali ini lebih gelap. Naln tetap diam. Tatapannya datar.

  “Diam, ya? Berarti setuju,” ujar Vero pelan.

  “Beri dia hadiah juga!” Kedua rekan Vero menoleh ke arah Naln, hendak bergerak… namun langkah mereka membeku.

  Mata mereka tertumbuk pada retakan hitam yang tampak jelas di kening Naln.

  Retakan itu...

  Zen.

  Mereka langsung teringat dengan kejadian Zen hampir di serang oleh Naln dengan mata merahnya.

  “Cepat!” bentak Vero lagi, kali ini nadanya lebih frustrasi.

  “B-baiklah...” jawab mereka ragu. Keduanya menelan ludah, dan…

  Splash!

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Survive in another city
212      170     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Lovebolisme
219      185     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Penerang Dalam Duka
1445      737     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
Unframed
1263      744     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
3816      1285     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
304      245     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Aku Ibu Bipolar
55      48     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
RUANGKASA
50      46     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Hideaway Space
169      133     0     
Fantasy
Seumur hidup, Evelyn selalu mengikuti kemauan ayah ibunya. Entah soal sekolah, atau kemampuan khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, kedua orang tuanya sangat bertentangan hingga bercerai. evelyn yang ingin kabur, sengaja memesan penginapan lebih lama dari yang dia laporkan. Tanpa mengetahui jika penginapan bernama Hideaway Space benar-benar diluar harapannya. Tempat dimana dia tidak bisa bersan...
Wilted Flower
411      313     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...