Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kembali ke diri kakak yang dulu
MENU
About Us  

Ayunan

 

   Suara jangkrik masih terdengar dari luar jendela. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk, menyinari kamar sempit milik Naln. Dengan tubuh masih lelah, ia bangkit perlahan, lalu menatap pantulan dirinya di kaca tua yang menggantung di dinding.

    Mimpi itu...Entah mengapa terasa terlalu nyata. Pandangan Naln tertuju pada keningnya, retakan hitam itu kini bercabang, seperti akar yang tumbuh perlahan, menjalar dari satu titik ke dua arah. Dan di antara rambut hitamnya yang berantakan, sehelai rambut putih terlihat jelas di poni depannya, seperti tanda yang tertinggal dari mimpi tadi.

   "Ada apa ini...?" bisiknya pelan. Naln meraih rambut putih itu, menyentuhnya, berharap mungkin itu hanya permainan cahaya. Tapi tidak. Helai itu nyata. Begitu juga retakan yang bertambah. Warna putih itu sama seperti rambut milik sosok pria dalam mimpi itu. Putih yang pekat.

   Naln bertanya dalam hati, siapa sosok itu? Mengapa ia muncul dalam mimpiku? Apa maksud dari senyumannya yang menyeramkan itu? Apa dia penyebab retakan ini bertambah...? Naln menatap cermin, matanya terpaku pada retakan yang kini bercabang dua. Helai rambut putih di poninya tampak mencolok, tidak mungkin ini kebetulan.

   Mimpi itu... tidak seperti mimpi. Terlalu nyata. Terlalu jelas. Aku bisa merasakan angin di hutan itu. Suara bisikan itu masih terdengar di telingaku. Naln mengusap wajahnya, berharap semua itu hanya efek tidur terlalu lama.

  Tapi tidak. Ini nyata. Semua ini benar-benar terjadi. Atau... akan terjadi?

  Tubuh Naln gemetar. Kepalanya penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam.

  Apa aku sedang berubah...? Apa aku akan menjadi seperti pria itu...?

  Lalu suara Thalen terngiang di kepalanya  “ jangan biarkan retakan itu membawamu ke jalan yang salah, ke hidup yang gelap, penuh kebencian dan dendam.”

  Naln membuka mata. Ia menatap pantulan dirinya dengan lebih tajam, kali ini bukan hanya kebingungan yang tergambar... tapi ketakutan. Ketakutan menjadi sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan.

 

***

 

  Naln memutuskan untuk keluar rumah. Ia membuka pintu perlahan, membiarkan udara pagi menyentuh kulit wajahnya. Pemandangan di hadapannya masih sama seperti biasa, jalan setapak membentang tenang di antara semak dan pohon-pohon kecil. Tak ada yang berubah. Semua tampak biasa saja. Tidak seperti saat ia keluar rumah dalam mimpi. Di depannya sudah terdapat hutan yang biasa ia kunjungi untuk mendapatkan kayu bakar.

   Naln merasa seseorang melangkah mendekat dari belakang. Langkah itu ringan, namun cukup terasa di telinganya yang sedang peka. Tak lama, ia merasakan tarikan kecil di bagian belakang bajunya dengan pelan.

  Naln menoleh perlahan. Senyum tipis terukir di wajahnya saat melihat siapa yang berdiri di sana. Lenard. Bocah itu menatapnya dengan mata polos dan wajah bingung, seperti ingin bertanya namun tak tahu harus memulai dari mana.

  "Kakak...ngapain duduk disini?" tanya Lenard lirih.

  Naln tak langsung menjawab. Ia membelai rambut adiknya yang sedikit berantakan dengan lembut, lalu menatap langit sebentar. "Cuma pingin menghirup udara segar." katanya.

   Wajah Lenard seketika menjadi sedikit cerah. Seperti sedang menemukan kesempatan yang sudah lama ia tunggu-tunggu.

   "Kakak berarti nganggur, kan?" tanyanya antusias. Naln mengangkat sebelah alis, setengah bingung, setengah curiga.

   "Iya, memangnya kenapa?" Seketika senyum Lenard melebar, semringah seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah.

  "Temani aku naik ayunan!" serunya, hampir melonjak karena gembira. Naln menghela napas pendek, pura-pura berat hati. Tapi sudut bibirnya tak bisa berbohong—ia tersenyum kecil.

  "Baiklah, tuan kecil. Tapi kalau akau dorong kamu nanti gantian ya." Lenard tertawa kecil.

  “Siap, kakak!”

 

***

 

   Karna Lenard sudah mendapatkan persetujuan dari Naln. Mereka berdua mulai melangkah meninggalkan rumah, berjalan berdampingan menyusuri jalan setapak kecil menuju sekolah TK yang tak terlalu jauh dari rumah mereka. Tempat bermain yang ada di sekolah itu memang terbuka untuk umum, khususnya anak-anak desa yang ingin bermain di luar jam sekolah. Biasanya, anak-anak datang ke sana saat libur atau ketika para murid di sekolah itu sudah pulang.

   Udara pagi yang masih sejuk menambah semangat langkah Lenard yang sesekali melompat kecil di samping Naln. Di sisi lain, Naln membiarkan dirinya terbawa suasana, mencoba menyingkirkan pikiran berat yang tadi sempat mengganggunya.

   Naln tak menyadari sejak kapan, tapi dari sudut matanya, ia merasa ada yang memperhatikannya. Saat ia menoleh, benar saja, Lenard sedang menatapnya, bergantian antara wajah Naln dan jalan di depannya. Begitu tatapan mereka bertemu, Lenard sedikit terkejut. Ia memalingkan wajahnya cepat-cepat, seolah tertangkap basah.

  "Kenapa, Lenard?" tanya Naln, nada suaranya tenang, tapi dalam hatinya muncul rasa heran. Lenard menggigit bibir bawahnya sebentar, ragu. Namun akhirnya ia tetap bertanya dengan polos.

   "Umm... Rambut kakak kok ada putih-putihnya, ya? Terus... kok retakannya kayak... makin menjalar gitu?" Naln langsung terdiam. Tenggorokannya terasa kering, ia menelan ludah pelan-pelan. Baru saja ia ingin melupakan semuanya. Mimpi itu, suara-suara itu, sosok pria dengan retakan hitam. Tapi sekarang... Lenard mengingatkannya kembali.

   Naln bingung ingin menjawab apa pada adiknya yang polos ini. Mulutnya terbuka, namun tak ada kata yang keluar. Hanya suara napas yang terdengar.

   "Ini... k-kakak g-gatau," jawabakhirnya, suaranya goyah dan pelan. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang mendadak terasa panas. Gugup. Gelisah.

   Langkah mereka terhenti di tengah jalan setapak. Angin pagi menerpa pelan rambut mereka, tapi suasananya justru terasa hening dan berat.

   “Massa?" tanya Lenard, wajahnya masih penuh keheranan. Nada suaranya polos, tapi justru karena kepolosan itulah pertanyaan itu terasa seperti hantaman. Naln menggigit bibir bawahnya, tatapannya kosong. Kepalanya terasa penuh.

   Aku harus jawab apa...? pikir Naln, panik diam-diam. Ia ingin melindungi Lenard dari apa pun yang mungkin sedang terjadi padanya. Tapi bagaimana jika bahkan dirinya sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi?

  Naln menghela napas Panjang "Iya, bener. Otomatis ini," gumamnya, setengah pasrah.

  Lenard masih menatap helaian rambut putih itu dengan rasa penasaran yang polos. "Kakak marah-marah mulu ya? Jadi cepet ubanan," katanya sambil nyengir kecil, seperti baru saja menemukan rahasia besar.

  Naln tidak bisa menahan tawa kecilnya. Senyuman perlahan muncul di wajahnya, menghapus sedikit kegelisahan yang tadi menyelimutinya. Meskipun pikirannya masih dipenuhi tanda tanya tentang apa yang sedang terjadi padanya, tapi candaan polos Lenard berhasil mencairkan suasana.

  Naln mengacak rambut adiknya dengan lembut. "Dasar bocah. Kakak tuh nggak sering marah, kamu aja yang sering bikin ulah.” Lenard terkekeh, lalu kembali melangkah ringan ke arah taman bermain. Dan untuk sesaat, langkah Naln terasa lebih ringan.

   Taman bermain TK itu cukup ramai meski hari sudah agak siang. Beberapa anak kecil tampak berlarian, tertawa sambil memegangi balon atau sekadar mengejar bayangan sendiri.

   Di pojok dekat bangku panjang, sekelompok ibu-ibu duduk mengelilingi keranjang bekal dan botol minum anak-anak mereka. Mereka berbincang pelan sambil sesekali tertawa kecil, mata mereka sesekali melirik ke arah anak-anak… dan tak lama kemudian, ke arah Naln.

   Naln baru saja membantu Lenard naik ke ayunan. Angin menerpa pelan, membuat poni Naln sedikit tersibak. Salah satu ibu langsung berbisik, cukup pelan namun masih bisa terdengar samar-samar oleh Naln.

  "Itu si Naln ya?" bisik seorang ibu sambil sedikit mencondongkan badan ke ibu sebelahnya.

  "Iya, yang katanya punya retakan itu, lho."

  "Kasihan anaknya, masih kecil tapi dibilang aneh sama orang-orang," sahut yang lain dengan suara setengah berbisik.

   Naln mengatupkan rahangnya. Jelas-jelas ia mendengar semua itu, walau pura-pura sibuk menahan ayunan Lenard. Kepalanya tertunduk sedikit. Dingin. Bukan karena angin, tapi karena bisikan-bisikan itu. Emosi perlahan menjalar ke tubuhnya.

   Lenard menoleh, "Kakak kenapa diam aja?" Naln memaksakan senyum.

   "Nggak apa-apa. Main aja, aku jagain dari sini." Namun dalam hatinya, bisikan ibu-ibu itu menancap tajam. Lagi-lagi orang bicara tanpa tahu apa-apa tentang dirinya. Naln mengepalkan tangannya di balik saku. Tapi ia hanya menatap Lenard, setidaknya, adiknya masih tertawa, tanpa beban, tanpa retakan, tanpa label.

    Naln berdiri diam, tangannya masih focus mendorong punggung Naln agar ia terayun. Namun dadanya naik turun cepat menahan gejolak. Retakan di keningnya terasa berdenyut pelan, seperti hidup. Suara-suara bisik itu menggema semakin jelas di telinganya, terlalu jelas, terlalu tajam.

   "Anaknya makin aneh, kayaknya makin parah, ya."

   "Retakannya tambah lebar, serem banget..."

   "Kok gak malu, masih berani keluar rumah..."

   Mereka berbisik. Tapi buat Naln, suara mereka seakan langsung dibisikkan ke telinganya. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tapi suara itu malah semakin keras. Seolah ada yang memperbesar bisikan itu di dalam kepalanya.

  Naln membuka matanya. Matanya menatap lurus ke arah ibu-ibu itu. Sorot tajam, dingin, dan penuh tekanan. Salah satu dari mereka  yang  tak sengaja matanya bertemu dengan mata Naln. Ia menunduk cepat, wajahnya berubah tegang.

   "Dia dengar kita... dia tahu." bisiknya ke ibu lain, panik. Naln tidak bergerak. Tapi hawa di sekitarnya terasa berubah. Udara seperti sedikit berat, angin mendadak berhenti, dan sekeliling menjadi hening sesaat.

   Retakan di keningnya seperti memanas. Tapi Naln tetap diam, tidak mendekat, tidak bicara. Hanya menatap. Tatapan yang cukup untuk membuat satu per satu ibu-ibu itu mulai merasa tidak nyaman dan berdiri, pura-pura mengalihkan perhatian ke anak-anak mereka.

  Lenard masih bermain, tak menyadari ketegangan itu. Naln menunduk, menarik napas panjang. Tapi dalam hatinya, amarah itu tidak padam.

  Sekali lagi, Naln menatap lurus ke arah salah satu ibu-ibu yang paling vokal menggunjing. Sorot matanya penuh tekanan, seolah-olah tatapan itu berbicara lebih keras dari suara apapun. Saat mata mereka bertemu…detik itu juga, sesuatu yang aneh terjadi.

  Tubuh si ibu mendadak membeku. Tubuhnya kaku, seperti kehilangan kendali. Matanya membelalak, membulat sempurna seperti melihat sesuatu yang mengerikan. Mulutnya sedikit terbuka, seperti hendak berteriak... tapi tak ada suara yang keluar. Seakan semua energi dalam dirinya seketika terhisap keluar hanya oleh tatapan Naln.

  Naln terdiam, alisnya terangkat, keningnya berkerut.

  “Apa-apaan ini…?” pikirnya. Ia tidak bermaksud apa-apa… hanya menatap.

  Beberapa detik hening. Lalu ibu itu tiba-tiba menjatuhkan benda yang sedang dipegangnya, tas kecil berwarna ungu, dan langsung terduduk di bangku, wajahnya pucat pasi. Teman-temannya panik, mengerubunginya, bertanya-tanya.

   Lenard yang sedang asyik berayun di udara. tiba-tiba ia merasa dorongan di punggungnya hilang. Ia reflek menoleh ke belakang, ke arah kakaknya, Naln, yang sedari tadi mendorong pelan agar ia berayun di udara. Namun, kini Naln berdiri mematung, satu langkah lebih jauh dari posisi semula.

   Lenard menoleh lagi pada Naln. "Kak, Kakak, kamu kenapa?" tanyanya pelan, cemas.

   Naln tak menjawab. Ia kehabisan kata-kata. Lenard diam menatap kakaknya yang terpaku, namun tak memberi penjelasan apa pun.

   Suara gaduh terdengar dari arah kerumunan ibu-ibu. Lenard melirik, matanya menyipit, mencoba melihat apa yang terjadi. Tapi dari sudut tempatnya berdiri, ia tak bisa melihat jelas ibu yang tadi membeku.

   Rasa penasaran membuat langkah Lenard tergerak. Ia bangkit dari ayunan, hendak mendekat ke kerumunan itu. Tapi tiba-tiba, sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya, erat.

   Lenard menoleh. Naln. Tetapi Lenard menelan ludah. Mata kakaknya… samar berubah menjadi merah. Tatapannya dingin dan gelap. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat bulu kuduk Lenard berdiri. Namun anehnya, senyum tipis justru mengembang di bibir Naln saat ia menatap wajah adiknya.

   Walau tersenyum, Naln menyembunyikan ketakutan dan kebingungan yang bergemuruh dalam dadanya.

   “Jangan ke sana, Lenard,” katanya pelan.

   “Kita pulang aja, yuk.”

    Lenard terdiam sejenak. Matanya terpaku pada mata kakaknya yang berubah merah samar. Lalu ia menoleh ke arah kerumunan yang semakin ramai. Dari sana, terdengar suara tangisan dari seorang anak, putra dari ibu yang membeku, menangis kencang. Beberapa anak lain menghampirinya, mencoba menenangkan.

   Penduduk sekitar mulai berdatangan, meski tak berada di area TK. Kerumunan bertambah padat. Beberapa anak bertanya dengan polos pada orangtua mereka:

   “Kenapa ibu itu dikerumuni?”

   “Kok matanya melotot?”

   “Kenapa ibu itu gak bergerak?”

   Lenard mendengar semuanya. Semakin lama, rasa penasarannya tumbuh. Tapi bukan hanya dia. Naln juga mendengar semuanya, dengan pendengaran yang entah kenapa terasa semakin tajam. Namun hawa di tempat itu membuatnya gelisah, semakin tak nyaman.

   Naln takut. Takut jika ada yang melihat saat ia menatap mata ibu itu. Ia takut dituduh sebagai penyebabnya. Padahal… Naln sendiri tak tahu kenapa wanita itu bisa membeku seperti itu.  Lalu, dari balik kerumunan yang bising, samar-samar terdengar sebuah suara.

  “Naln…” Itu suara seseorang. Mulai menyebut nama ‘Naln’. Naln yang mendengarnya semakin merasa, tempat ini tidak aman, ia harus segera pergi.

  “Lenard… ayo pulang,” ucapnya dengan suara bergetar. Kemarahan yang sempat menjalar di tubuhnya kini telah berubah menjadi kekhawatiran.

  Lenard memandang kakaknya, wajah yang biasanya tenang, kini jelas terguncang. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi melihat Naln yang begitu cemas, ia tahu... ini bukan saatnya untuk bertanya. Ia mengangguk pelan.

  Begitu melihat anggukan itu, Naln langsung menarik tangan adiknya. Mereka berlari. Lenard tak mengerti apa yang sebenarnya sedang mereka hadapi. Tapi ia tahu satu hal, kakaknya butuh dia ikut. Maka ia berlari, mengikuti langkah Naln tanpa bertanya apa-apa.

   Di tengah perjalanan pulang, saat mereka masih berlari, Lenard menoleh ke belakang. Nafasnya belum teratur, tapi rasa penasaran membuatnya tak tahan untuk melihat.

  Matanya membelalak…ibu itu, yang sebelumnya membeku, kini tengah diangkat oleh beberapa warga. Entah akan dibawa ke mana. Tapi pemandangan itu tetap membuat dadanya berdegup lebih cepat.

  Tatapannya bergantian. Ia menoleh ke arah kerumunan yang perlahan menjauh di belakang, lalu kembali menatap punggung kakaknya yang terus menariknya tanpa henti. Wajah Naln serius. Fokus. Tapi juga penuh kecemasan.

   Lenard menggigit bibirnya. Dalam hatinya, muncul pertanyaan yang tak berani ia ucapkan.

   "Apa ini… ada kaitannya sama retakan Kakak?"

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
459      354     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
Wilted Flower
288      216     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Hideaway Space
70      56     0     
Fantasy
Seumur hidup, Evelyn selalu mengikuti kemauan ayah ibunya. Entah soal sekolah, atau kemampuan khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, kedua orang tuanya sangat bertentangan hingga bercerai. evelyn yang ingin kabur, sengaja memesan penginapan lebih lama dari yang dia laporkan. Tanpa mengetahui jika penginapan bernama Hideaway Space benar-benar diluar harapannya. Tempat dimana dia tidak bisa bersan...
Diary of Rana
184      156     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Andai Kita Bicara
574      458     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Sweet Punishment
170      105     9     
Mystery
Aku tak menyangka wanita yang ku cintai ternyata seorang wanita yang menganggap ku hanya pria yang di dapatkannya dari taruhan kecil bersama dengan kelima teman wanitanya. Setelah selesai mempermainkan ku, dia minta putus padaku terlebih dahulu. Aku sebenarnya juga sudah muak dengannya, apalagi Selama berpacaran dengan ku ternyata dia masih berhubungan dengan mantannya yaitu Jackson Wilder seo...
Metanoia
46      39     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Sebelah Hati
860      596     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Let Me be a Star for You During the Day
968      501     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Mimpi & Co.
947      611     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?