Live yang menjadi trending topic nomor satu penuh hujatan. Notifikasi 1000 pelaporan terkait akun SKS Mobile yang meresahkan. Lagi-lagi memperoleh validasi pengurangan skor kredit sosial sebesar 100 poin. Itu menjadi semacam karma usai berani melawan manajer sendiri.
Namun, tidak. Aku tidak melawan Natasha. Aku hanya berusaha mengingatkannya bahwa dia sama sekali belum memikirkan tindak lanjut atas masalah ini. Bahwa kenyataannya memang benar dia lebih sibuk untuk menyelamatkan kontrak kerja samanya dibanding menyelamatkanku yang sudah telanjur berdiri di pinggir jurang.
Aku menjedotkan dahi beberapa kali ke atas meja makan. Ponsel masih di tangan. Jika ini adalah perang, aku tidak sanggup. Aku akan mengibarkan bendera putih. Memohon dengan sangat agar orang-orang berhenti menyerangku—lebih tepatnya, menyerang skor kredit sosialku. Komentar-komentar pedas yang berseliweran di akun SKS Mobile mungkin tidak seberapa bagiku. Namun, ketika sudah menyerang sampai ke pengurangan poin demi poin skor kredit sosial, aku pasti tersiksa. Skor kredit sosial adalah hidupku. Mati-matian aku menaikkan dan menjaganya. Tanpa skor kredit sosial yang tinggi, hidupku sudah dijamin akan sulit. Mungkin orang-orang akan mencemooh betapa berlebihan dan betapa lemahnya aku, tapi percayalah, skor kredit sosial memang seberpengaruh itu pada hidupmu.
Mana Julie yang selalu muncul sempurna di layar ponsel? Mana Julie yang selalu tampil dengan senyuman, dengan pembawaan tenang dan ceria? Mana Julie yang suka memberikan caption-caption inspiratif dan terkadang menyisipkan motivasi dalam kontennya untuk para followers-nya?
Dan mana mereka semua yang sejak awal mendukungnya? Seketika hilang entah ke mana dan seketika beralih peran menjadi penyerang.
Dahiku terangkat dari meja. Bermodalkan sisa-sisa tenaga, kembali memandangi ponsel dengan satu sisi pipi direbahkan pada meja.
Ini sudah malam. Pukul 11 malam dimana nyaris berganti hari, tapi hebatnya, sekian banyak orang terpantau masih menyebut-nyebut namaku melalui hashtag.
#Julienne
#JulienneMabuk
#VideoJulieMabuk
#VideoJulienneViral
#LiveJulienne
Bodohnya, meski aku tahu apa yang kulihat akan terasa menyakitkan, aku terus saja menggulirkan layar ponsel untuk melihat satu per satu komentar yang ada. Paling tidak sampai mataku menangkap keberadaan hashtag baru yang entah kenapa ikut muncul di tengah kumpulan hashtag berisikan namaku.
#AlphaCorp
Tidak terlalu banyak yang menggunakan hashtag tersebut. Sepanjang yang kulihat, tidak ada juga kata-kata yang kelewat negatif ditujukan untuk perusahaan manajemen talenta milik Natasha itu. Bukan menghujat, mereka lebih memilih mempertanyakan bagaimana cara perusahaan manajemen tersebut memilih, mendidik, dan menjaga para talent-nya, sampai-sampai kejadian seperti ini bisa muncul. Jujur itu merupakan komentar terbijak dari sekian banyak komentar yang kutemukan seharian ini.
Ada bunyi ping ketika aku beralih untuk mengecek skor kredit sosial terbaruku. Rupanya chat dari Tiffany. Aku membukanya. Tiffany memang belum diketahui lagi kabarnya sejak menghilang usai membelaku saat live pagi tadi.
Julie, lo okay?
Andai menghela napas panjang bisa menyumbangkan satu poin saja, sudah pasti aku rela melakukannya sesering mungkin untuk mengganti semua poin yang hilang. Aku menarik tubuhku dari meja, kemudian kusandarkan punggung pada sandaran kursi. Jariku mulai bermain di layar ponsel.
Gue ok.
Btw makasi banyak udah bela gue di live tadi.
Aku mendongak. Meletakkan belakang kepalaku dengan pelan pada bagian atas sandaran kursi. Pemandanganku berganti menjadi hamparan plafon dapur dengan lampu temaram. Dua hari lalu, aku masih bisa makan malam dengan lahap di meja makan ini, tapi sekarang, mengingat untuk minum segelas air saja aku sudah bersyukur.
Bunyi ping terdengar lagi. Tiffany membalas.
Oh, lo belum tidur?
Apa bisa gue telepon?
Atau apa perlu gue ke rumah lo?
Bagaimana aku bisa tidur di tengah situasi seperti ini? Aku belum siap ketika bangun tidur esok hari, langsung mendapatkan skor kredit sosial yang sudah turun entah seberapa jauh. Sekarang saja sudah menyedihkan. Ada jeda panjang sebelum aku membalas chat Tiffany, karena aku mendadak mematung memandangi skor kredit sosial terbaru: 662. Level Good. Hanya Good.
Ingin menangis, membenamkan wajah pada kedua lutut yang tertekuk di atas kursi, tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku sungguh ingin mengubahnya ke keadaan semula. Hanya saja, bagaimana caranya? Di saat Natasha merajuk dan klarifikasi sudah tidak berguna, aku harus melakukan apa?
Ngga perlu, lagi pula udah malam juga
Jariku bergantung di udara sekian detik. Menimbang-nimbang apa aku terlalu jahat kalau aku berkata pada Tiffany jika aku sedang malas berbasa-basi maupun bicara serius dengan siapa pun. Beberapa jam lalu mungkin aku memang butuh seseorang untuk diajak bicara, tapi sekarang sebaliknya. Melamun memandangi ponsel adalah satu-satunya hal yang ingin aku lakukan saat ini.
Mungkin nanti kita bisa ketemu. Nanti gue kasih kabar lagi. Bye.
Hanya itu—kalau saja aku tidak ingat apa yang sejak tadi terlupakan.
Tiff, apa Jamie sempat hubungin lo?
Kukirim kembali chat tersebut. Masalah yang datang secara serentak ini sungguh mampu membuatku melupakan Jamie. Aku yang sehari-harinya selalu ada waktu untuk bertemu dan berbincang dengannya, tapi hari ini waktuku terbuang hanya untuk meladeni suatu persoalan yang memuakkan.
Aku mencoba meneleponnya lagi hingga sekian panggilan berlalu.
“Dia pasti udah tidur,” kataku sesaat setelah sadar sudah pukul berapa ini.
Di saat aku kembali merasa sendiri, aku berterima kasih Tiffany rupanya masih bersedia membalas chat-ku.
Cuma chat aja sih. Dia bilang lo ngga angkat teleponnya.
Dan gue bilang, mungkin lo masih syok dan perlu waktu sendiri.
Apa gue salah?
“Dia benar,” gumamku dan pada detik itu aku mulai merasa mataku lelah, jadi aku memijit pelan bagian atas tulang alis mata hingga ke pangkal hidung.
Kalau bisa, aku tidak mau bertemu siapa pun selama beberapa hari ke depan. Seperti yang aku katakan pada Natasha pagi tadi, aku akan mengurung diri di rumah sampai masalah ini hilang dengan sendirinya. Kalau boleh, aku juga akan berdoa agar muncul masalah baru yang jauh lebih parah dilakukan oleh talent lain hingga akhirnya mampu mengubur masalahku.
Di tengah-tengah kelelahanku memantau pergerakan penghuni SKS Mobile, aku beralih melihat video-video dan foto-foto di dalam profilku sendiri. Bagaimana bisa semua usahaku selama ini dalam membangun personal branding yang oke hancur begitu saja akibat satu buah video yang entah dari mana asal usulnya?
Masa bodoh dengan pesan Natasha yang selalu diucapkan kepada para talent-nya, yaitu berlakulah baik dan berkatalah baik, sebaliknya kini aku sudah memaki, mengerang, menggeram, dan melempar apa pun yang bisa kulempar tanpa menimbulkan kegaduhan karena ini sudah tengah malam—walau begitu aku masih tahu diri, aku tetap tidak mau memperoleh pengurangan poin lagi karena melanggar aturan malam cluster dan dilaporkan oleh para penghuni cluster yang lain.
Untuk yang terakhir, aku meninju lagi bantal sofa yang menjadi sasaran pelampiasanku, membekap wajahku di sana, lalu berteriak kencang. Menimbulkan sedikit kemerahan pada buku jari, tapi rasa sakitnya tetap tak seberapa.
***
Panik yang kedua kalinya adalah ketika tubuhku tahu-tahu jatuh ke atas lantai, di saat yang terakhir kali kuingat adalah bahwa aku masih terjaga di atas sofa dengan kedua tangan sibuk mengecek komentar-komentar berdasarkan hashtag dan berulang kali mengecek skor kredit sosial terbaru.
Hanya saja untuk kali ini, sepertinya aku memang tidak sengaja tertidur. Terlalu lelah. Tubuhku tidak bisa dipaksakan untuk terjaga lebih lama lagi.
Terhuyung aku mencoba bangun dari posisi telentang ke posisi duduk. Mata ikut memicing di kala cahaya matahari perlahan masuk melalui gorden yang terbuka secara otomatis. Aku mencari-cari di mana penyebabnya dan ketika aku bangun, rupanya aku telah menduduki remot gorden berukuran tipis. Beruntung bokong ini tidak menambah masalah baru lagi yang mengharuskan aku memperbaiki remotnya.
Aku berdiri dan pantulan diriku pada standing mirror menarik perhatianku.
Coba lihat itu. Kantung mata menghitam. Penampakan kantung mata yang sangat bahaya untuk beauty & fashion influencer sepertiku—setidaknya berlaku beberapa hari lalu. Rambut kusut dengan model kunciran yang tak jelas. Mulai muncul bakal jerawat di area wajah karena terlalu buru-buru membersihkan riasan dan tidak melakukan perawatan sebelum tidur. Bibir kering karena lupa diolesi pelembab. Pakaian rumahan seadanya. Satu-satunya yang masih tampak baik pagi ini hanyalah aroma tubuhku, akibat masih terdapat sisa-sisa parfum yang menempel. Akan tetapi, mengingat aku sempat pergi ke bar dan dikelilingi oleh sekumpulan lelaki asing, membuat hidungku yang sensitif ini juga sedikit mencium campuran aroma parfum lelaki.
Ya ampun. Membayangkan apa yang mereka lakukan, lagi-lagi berhasil menggidikkan bulu romaku. Masalahnya adalah aku tidak tahu apa lagi yang mereka lakukan padaku selain yang terlihat dalam rekaman video. Mungkinkah mereka bertindak macam-macam lebih dari itu? Di saat aku tidak sadar? Bohong jika aku tidak berpikir jauh ke sana. Bagaimana ini? Ini masih pagi hari, tapi aku sudah kembali tertekan oleh pikiranku sendiri, belum dari orang lain.
Aku tersentak di tempat sewaktu alarm tiba-tiba berbunyi. Kuambil ponsel dan kulihat alarm apa yang berbunyi di pukul delapan pagi: Berangkat ke Alpha Corp. Tampil menarik!
“Betul juga. Pagi ini tanda tangan kontrak,” gumamku menarik dan menghela napas panjang saat teringat agenda penting pagi ini. Agenda tanda tangan kontrak dengan brand kosmetik ternama yang sebenarnya sangat aku tunggu. Dan sayangnya, itu tidak akan terjadi. Aku jadi bertanya-tanya siapa talent yang ditunjuk Natasha untuk menggantikanku menandatangani kontrak tersebut.
Bicara masalah rekan kerja, sebagai sesama talent, seingatku tidak ada satu pun di antara mereka yang menghubungiku terkait masalah ini. Aku sebisa mungkin memang sedang menghindari kontak dengan siapa pun, tapi tidak dipungkiri juga kalau aku butuh diperhatikan. Di saat hatiku sudah hampir seratus persen terisi dengan kesal, marah, benci, dan emosi negatif lainnya, masih ada sisa sekian persen hatiku merasa butuh diperhatikan. Lihat betapa leganya aku ketika tahu Jamie sempat menghubungiku meskipun tak sempat terangkat. Lihat betapa berterima kasihnya aku ketika Tiffany masih bersedia membalas chat-ku meskipun aku lebih memilih untuk menyudahi percakapan lebih dulu. Itulah yang aku butuh, bukan hujatan, makian, bersikap masa bodoh, serta paksaan untuk menjelaskan yang padahal sudah kujelaskan apa adanya tapi tetap berujung tak dipercaya.
Semakin buruk pikiranku ketika aku melanjutkan kemungkinan … apa mungkin Natasha berpesan pada talent-talent di bawahnya untuk tidak sedikit pun menghubungiku?
“Yang benar aja,” desahku jelas terdengar kecewa apabila hal tersebut benar terjadi.
Selagi kaki melangkah menuju dapur, aku lagi-lagi mengecek ponsel. Sebelah tangan membuka pintu kulkas dimana sensasi dinginnya langsung bergerak menggerayangi sekujur tubuh. Mengambil botol minuman dingin, kemudian berniat meneguknya kalau saja apa yang kulihat di layar ponsel kini tidak membuatku menyemburkan kembali air yang sudah masuk ke dalam mulut.
“Apa-apaan—” kataku tertahan oleh batuk akibat tersedak, sambil terus menepuk-nepuk dada. Terlebih dahulu membersihkan bulir-bulir air yang bertebaran di sekitar mulut sebelum melihat lebih jauh berita yang baru saja beredar.
Aku tidak mengerti. Sejak kapan aku dan Jamie putus?
Akulah yang memiliki hubungan dengannya, lalu bagaimana bisa ada kabar yang beredar tentang kami di saat aku sendiri tidak merasa kalau hubungan kami berakhir seperti yang dikatakan berita itu?
Di dalam berita tersebut tertulis bahwa sepasang kekasih yang merupakan seorang influencer terkenal—aku, dan seorang aktor muda ternama—Jamie, dinyatakan resmi putus usai bersama selama satu tahun lamanya. Hal tersebut juga telah dikonfirmasi oleh manajer Jamie sendiri, meskipun tanpa penjelasan lebih detail terkait alasan utama dari putusnya hubungan keduanya. Ada kemungkinan dikarenakan video mabuk yang viral—mengingat jarak pemberitaan antara keduanya yang terlampau dekat—dan pihak Jamie tentunya tidak ingin aktor kebanggaannya itu ikut terseret.
Aku tertawa singkat. Lebih kepada menertawakan kebodohan dalam menyebarkan berita. Terpaksa menayangkan berita palsu hanya untuk menarik popularitas. Lantas ada kah yang percaya berita semacam itu?
Bukan sekadar percaya lagi. Orang-orang justru mendukung.
Tawaku pun berubah muram. Aku mencoba menelan ludah yang mendadak berubah menjadi cairan pekat. Seakan mengulang hari kemarin, mataku terus tertuju pada sekian banyak komentar yang lebih terkesan memojokkanku.
Jujur gue senang banget sama berita ini.
Sejak awal mereka memang ngga cocok.
Haha inilah definisi senang di atas penderitaan orang lain.
Kamu bisa dapat perempuan yang jauh lebih baik, Jamie.
Jamie, perempuan pemabuk ngga cocok buatmu.
Kami mendukung lo putus dengan perempuan murahan itu!
Gigiku beradu membaca satu komentar terakhir yang paling berhasil menusuk telak dadaku.
“Komentar dan foto profil lo yang murahan!” geramku langsung melakukan panggilan cepat pada Jamie.
Anehnya sampai detik ini, Jamie makin sulit dihubungi. Bahkan teleponku kali ini justru tersambung ke kotak suara. Di mana dia? Sedang apa lelaki itu? Apa dia tidak berniat menjelaskan berita aneh yang dibenarkan oleh manajernya ini? Apa mungkin semalam dia meneleponku karena hal ini? Dan tidak cukupkah membuatku kewalahan melalui satu masalah? Sampai harus dihadapkan lagi dengan masalah baru?
Ini tidak bisa didiamkan. Tidak bisa juga dibicarakan hanya melalui dunia maya. Aku harus bertemu Jamie secara langsung.