Loading...
Logo TinLit
Read Story - Layar Surya
MENU
About Us  

Mendengar Kaspian mengucapkan kata dipaksa dan menangis di kalimat yang sama, apalagi mengenai dirinya sendiri, justru tak masuk akal bagi Soya.

Sungguhan?

“Trus ... trus, gimana kamu bisa jadi pede banget?”

Alis tebal Kaspian bertaut, mencoba mengingat kenangan lama. Selama sesaat, cowok itu hanya menyesap minuman, dengan tangan lain tersimpan di saku celana jins. Soya menunggu dengan penasaran di sisinya.

“Prosesnya panjang, sih,” gumamnya. “Kebanyakan memang karena terpaksa di awal; dipaksa orang tua, lalu terpaksa menjalankan karena terlanjur nyebur. I mean, kepalang tanggung udah basah, walau dijalankan sambil nangis.”

Kaspian mengangkat bahu. “Maklum, pertama kali aku masuk dunia akting itu sekitar umur delapan tahun. Jadi, kalau aku banyak nangis, udah pasti dimaklumi aja. Apalagi aku selalu dijanjikan cokelat atau es krim tiap beres syuting. Lama-lama, ya ... terbiasa.”

“Terbiasa karena udah kenal orang-orangnya?”

“Ya, dan ternyata nggak semengerikan itu.” Kaspian tertawa. “Tahu, nggak? Aku dipaksa orang tuaku masuk dunia akting karena awalnya tuh aku bocah yang sangat pemalu. Orang tuaku ambil jalan ekstrem untuk membuatku percaya diri dengan cepat. Yang kutakutkan bukan kamera, tapi orang-orang asing. Menurutku, kamera itu benda mati. Orang asing nggak.”

Soya mengangguk pelan. “Dan ... karena lambat laun kamu mengenal orang-orang asing di set, kamu nggak lagi nangis.”

“Yup. Mereka semua baik. Semuanya sabar. Hal yang sering mereka bilang kepadaku adalah, ‘Semua orang punya caranya sendiri untuk beradaptasi’, dan ... itu tugas bagi yang senior untuk membimbing.”

Soya terenyuh mendengarnya. Tampaknya menyenangkan berada di situasi Kaspian waktu itu. Tentu Soya akan bereaksi serupa dengan si cowok jika dilempar ke kondisi tersebut. Banyak menangis. Namun, jika sekelilingnya bersikap sesabar itu, mungkin Soya takkan begitu tertekan.

Sayangnya, dunia Soya tidak semulus itu.

Kenapa Nova dan yang lain tak mau memakluminya seperti Kaspian? Apa karena mereka tak memiliki pengalaman yang menakutkan? Apa mereka tak pernah merasa bersalah dan takut tiap kali ada kekeliruan terjadi?

Kaspian, tentu menyadari ekspresi Soya yang muram, mengulurkan tangan. Jari-jarinya mengacak rambut cewek itu dengan lembut.

“Jangan khawatir,” ujarnya menenangkan. “Bisa dicoba pelan-pelan. Kalau kamu malu untuk tampil di depan orang-orang, bisa dicoba di depan kaca dulu. Baru setelah itu dicoba akting di depan satu orang. Siapa aja. Aku juga boleh. Janji, deh, nggak ketawa.”

Soya tak tahu mesti merespons apa, selain merasakan pipinya memanas.

“A-aku coba dulu depan cermin ....”

Good! Dan, kalau masih malu, coba pakai topeng!”

**

Hari masih siang, tetapi tumben-tumbennya Yasmin sudah ada di rumah. Biasanya sang ibu baru tampak menjelang sore, ketika waktu arisan telah usai dan ada Nino yang mesti diawasi, baik itu sesi bermain atau belajarnya. Sejak kasus Soya dahulu, Yasmin tak pernah membantu anak-anaknya belajar.

Tidak lagi.

“Udah pulang, Soya?” sapa Yasmin saat putrinya sedang melepas sandal di teras. “Kok lesu gitu? Materi hari ini susah, ya?”

Soya menghela napas. “Ya, Ma, susah banget.”

“Soal apa, sih?”

Cewek itu terdiam sejenak. “Fisika.”

Yasmin menggeleng. “Padahal, dahulu Mama paling pintar Fisika. Kok nggak bisa nurun ke anak-anaknya, ya? Nino juga udah nunjukin kekurangannya memahami matematika.”

Sang ibu tahu-tahu mengulurkan tangan. “Coba, Mama lihat ....” Namun, ucapan beliau pun terhenti seolah menyadari sesuatu. Yasmin menarik tangannya lagi. “Kamu pasti capek, ya? Udah, belajarnya bisa lusa lagi. Mama beli siomay, tuh.”

Soya memandang tangan Yasmin yang terulur tadi dengan kecut.

“Papa mana, Ma?”

“Biasa, ketemuan dengan klien.”

Benar. Selalu itu alasannya. Dan, saat Soni ada di rumah, Yasmin biasa berada di luar dengan alasan arisan, karena kelompok arisannya yang tak terhitung. Bukan tanpa alasan pula ibunya terlibat begitu banyak kegiatan.

Ini semua gara-gara Soya.

“Mama tumben udah pulang,” kata Soya, mencoba mencari bahan obrolan lagi. “Tempat arisannya nggak jauh?”

“Nggak gitu! Aslinya tuh hari ini jadwal arisan dengan teman-teman SMA Mama dulu, tempatnya di kebun teh. Ada taman bermain buat Nino dan teman-temannya juga. Tapi, Mama capek tiap hari keluar terus. Apalagi hari ini Papa sibuk. Sesekali Mama mau di rumah aja. Mau jagain rumah.”

Rumah sejatinya tak perlu dijaga karena takkan lari ke mana-mana. Rumah mereka toh dibekali sistem pengaman yang bagus. Namun, Soya tahu mengapa Yasmin bilang begitu.

Ia juga tidak iri kalau Nino selalu yang kejatuhan rezeki menikmati fasilitas dari lokasi-lokasi wisata yang jadi target arisan Mama. Menurutnya Nino memang pantas mendapatkannya.

Sebab, kelahiran Ninolah yang memperbaiki semua kesalahan Soya.

“Akhir pekan nanti ... jadi pergi ke pantai, kan, Ma?”

Yasmin mengembuskan napas. “Semoga jadi, ya! Semalam, Papa tiba-tiba bilang kalau klien barunya cuma bisa rapat di akhir minggu. Tapi, Mama coba bujuk Papa lagi, deh ... udah lama banget sejak terakhir kali kita liburan bareng, kan?”

Soya sempat jantungan di awal, tetapi mendengar penjelasan Yasmin, ia merasa lebih baik. Ia mencoba memasang senyum terbaik.

“Semoga, ya, Ma.”

Soya bergegas ke kamar untuk berganti pakaian, lantas kembali ke ruang makan untuk menyantap seporsi siomay yang dibelikan Mama sebelumnya. Di ruang sebelah, Nino bercerita panjang lebar tentang geng kecilnya yang berencana membuat robot bersama-sama di ekskul robotika pada semester mendatang. Yasmin meresponsnya dengan baik, berjanji akan mendukung dan sejenisnya asalkan Nino menepati janji untuk bersungguh-sungguh.

Dada Soya berdebar. Semoga Nino benar-benar bisa melakukannya. Bagaimana jika Nino tak bisa menepati janji sepertinya? Apakah Nino bakal dibelokkan mengikuti olimpiade saja alih-alih ekskul robotika?

Tidak, tidak ... bagaimana jika lebih buruk dari itu?

Bagaimana jika ... Nino gagal, dan ... dan Soni dan Yasmin  terancam bakal cerai lagi?

**

Dulu, Soya seperti Nino. Banyak cerita dan banyak janji. Banyak harapan. Banyak dukungan dari Yasmin.

Kira-kira hingga tujuh tahun yang lalu, saat Soya kelas empat SD, ia rajin menyabet peringkat dua atau tiga di kelas. Namun, seiring semakin sulitnya pelajaran, dan keputusan pihak sekolah untuk memasukkan Soya ke kelas unggulan membuat cewek itu mulai kelabakan.

Ia tidak lagi peringkat dua atau tiga. Alasannya sederhana. Ia mesti bersaing dengan delapan anak lainnya yang juga langganan peringkat satu, dua, dan tiga dari kelas tiga dahulu. Soya menangkring di peringkat enam.

“Gimana sih, Soya!” Yasmin, yang masih setia membantu putrinya belajar di kala itu, mengacak rambut. “Mama udah jelasin seratus kali masih nggak paham aja!”

Soya gemetar. Ia mengusap air matanya yang bercucuran. Tiap sentakan Yasmin membuatnya semakin sulit berpikir. Ia capek menemui rumus dan soal yang sama terus-menerus. Malah rasanya ia ingin muntah. Amarah Yasmin, serta Soni yang mengawasi dengan tangan terlipat di depan mereka, tidak membantu.

“Apa sih, sulitnya?” Soni mendesis.

Dengan gugup, Soya bilang, “Aku ... aku nggak paham caranya Mama .... Mama marah-marah terus ....”

Segera, perdebatan itu tidak lagi tentang Soya dan ketidakmampuannya memahami aturan past tense dan past perfect tense dalam Bahasa Inggris.

Soya tak ingat pasti, tetapi cara Soni menuding-nudingkan telunjuk pada Yasmin, dan air mata yang berganti mengucur dari kedua mata ibunya, membuatnya ketakutan setengah mati.

“Kamu nggak becus ngedidik anak kita!” seruan Soni itulah yang sering Soya dengar. “Kamu seorang ibu atau bukan?!”

Dan Yasmin akan selalu membalas dengan, “Kamu jadi seorang suami nggak pernah bantuin saya! Kalau kamu nggak becus jadi suami, nggak usah nuduh saya!”

Perdebatan itu pun pada akhirnya berujung pada kata-kata seputar cerai atau berpisah. Soya tak mengerti arti cerai kala itu, tetapi ia paham arti kata pisah.

Ia juga pernah mencoba melerai. “Papa ... Mama ... jangan pisah!”

“Makanya!” seru Soni dan Yasmin bersamaan.

“Gara-gara kamu, Papa dan Mama mau cerai!”

“Yang salah itu bukan cara Mama ngajarin, kamu aja yang nggak paham-paham! Kalau kamu nggak bisa ngomong yang bener, mending diam aja! Papa jadi salah sangka!” tambah Yasmin. “Mama tuh capek! Kerjaan Mama nggak cuma bantu kamu belajar! Sekarang Mama malah dikira nggak becus jadi ibu! Hanya gara-gara kamu bilang begitu!”

 

Sejak saat itu, Yasmin tak pernah membantu Soya belajar sama sekali. Soya juga tidak berani. Toh, Soni pun akhirnya mendaftarkan Soya ke bimbingan belajar khusus anak SD, yang memiliki program untuk anak kelas empat. Begitu pula saat SMP. Kebetulan saja saat memasuki SMA Surya Cendekia, Soya tidak segera didaftarkan bimbel, sebab Yasmin dan Soni sibuk mengurus Nino. Apalagi Soya berhasil mencapai peringkat tiga lagi di kelas sepuluh ... hingga badai peringkat turun ternyata kembali.

Kehadiran Nino juga pertanda bahwa Soni dan Yasmin sebenarnya berhasil menemukan titik tengah dari permasalahan itu. Sayangnya, Soya tak pernah tahu bagaimana orang tuanya berdamai.

Yang Soya tahu, semestinya ia tak pernah berjanji lagi.

Tak perlu berbicara lagi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • zetamol

    Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---

    Comment on chapter Prolog: Ambang Batas
  • zetamol

    Anxiety-mu itu loh, Soya 😭

    Comment on chapter Bab 1: Soya Mayanura
Similar Tags
With or without you
2071      806     4     
Romance
Love and Pain
598      366     0     
Short Story
Ketika hanya sebuah perasaan percaya diri yang terlalu berlebih, Kirana hampir saja membuat dirinya tersakiti. Namun nasib baik masih berpihak padanya ketika dirinya masih dapat menahan dirinya untuk tidak berharap lebih.
Melepaskan
455      312     1     
Romance
Ajarkan aku membenci tawamu, melupakan candamu. Sebab kala aku merindu, aku tak bisa lagi melihatmu..
Hujan Paling Jujur di Matamu
8207      1924     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...
Ameteur
55      50     1     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
Farewell Melody
264      182     2     
Romance
Kisah Ini bukan tentang menemukan ataupun ditemukan. Melainkan tentang kehilangan dan perpisahan paling menyakitkan. Berjalan di ambang kehancuran, tanpa sandaran dan juga panutan. Untuk yang tidak sanggup mengalami kepatahan yang menyedihkan, maka aku sarankan untuk pergi dan tinggalkan. Tapi bagi para pemilik hati yang penuh persiapan untuk bertahan, maka selamat datang di roller coaster kehidu...
Train to Heaven
803      567     2     
Fantasy
Bagaimana jika kereta yang kamu naiki mengalami kecelakaan dan kamu terlempar di kereta misterius yang berbeda dari sebelumnya? Kasih pulang ke daerah asalnya setelah lulus menjadi Sarjana di Bandung. Di perjalanan, ternyata kereta yang dia naiki mengalami kecelakaan dan dia di gerbong 1 mengalami dampak yang parah. Saat bangun, ia mendapati dirinya berpindah tempat di kereta yang tidak ia ken...
Returned Flawed
270      219     0     
Romance
Discover a world in the perspective of a brokenhearted girl, whose world turned gray and took a turn for the worst, as she battles her heart and her will to end things. Will life prevails, or death wins the match.
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
6015      1189     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
It Takes Two to Tango
461      338     1     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...