“Gimana bimbelnya? Bagus?”
Akhirnya pertanyaan tersebut dilontarkan juga. Malam itu, sepulang dari pertemuan pertama ekskul, Soya tetap berusaha mengerjakan beberapa soal latihan. Ia merasa bersalah walau orang tuanya menelan bulat-bulat kebohongannya, padahal uang yang Yasmin titipkan untuk pendaftaran bimbel masih tersimpan rapi di rekening.
Gara-gara itu Yasmin dan Soni berpuas diri. Mengira putri sulung mereka bersungguh-sungguh membayar ‘kesalahan’ karena tak bisa memenuhi janji peringkat dua dengan belajar siang malam.
“Bagus, Ma.” Soya menelan ludah. Ia masih membelakangi ibunya hingga terdengar langkah kaki mendekat. Sepintas kemudian, Yasmin menepuk-nepuk pundaknya.
“Udah malam, berhenti dulu belajarnya, ya? Kan kamu udah belajar di tempat bimbelnya. Itu, di meja makan masih ada sisa melon. Dihabiskan.”
Soya menggigit dinding dalam mulutnya. “Iya, habis ini.”
“Akhir pekan depan liburan, yuk. Mau ke pantai? Tadi Mama arisan di waterpark yang baru buka itu. Nino seneng banget, ada kolam ombak dan pasir pantai. Papa usul kita liburan ke pantai sekalian.”
Soya memberenggut. Adiknya sudah mengunjungi banyak tempat liburan gara-gara destinasi arisan Yasmin yang lebih mirip jalan-jalan bersama geng ibu-ibu. Sementara Soya?
“Boleh.”
Yasmin mengusap rambutnya. “Mama senang kamu nurut, Soya. Sebenarnya, kalau kamu nurut dari awal untuk masuk IPA, nggak akan kayak gini. Mau kamu dapat peringkat delapan atau tujuh, nggak masalah, selama kamu masuk jurusan itu. Tapi sekarang kamu udah nurut, jadi belajar yang rajin. Waktu liburanmu panjang. Satu bulan. Nggak masalah, kan, belajar tiga jam sehari di bimbel?”
Genggaman Soya di tangannya mengerat.
“Soya?”
“Iya, Ma.”
Yasmin menepuk-nepuk kepalanya dengan pelan. “Jangan lupa dihabiskan melonnya.”
Ketika sang ibu beranjak dan menutup pintu, Soya terpikir untuk tidak makan melon sama sekali. Biarlah membusuk. Namun, ia ingat, tidak ada yang bakal mencuci mangkuk buah jika bukan dirinya.
Dengan malas-malasan, Soya beranjak.
**
“Kita kuasai satu sekolah!”
Adalah hal pertama yang didengar kelima murid Teater Latar Surya pada pertemuan kedua. Selasa kedua pada minggu liburan, mereka tidak lagi berkumpul di ruang serbaguna yang terimpit di belakang auditorium, melainkan berdiri di bawah terik matahari pukul sepuluh.
“Pertama, lampu ruangannya belum diganti pihak sekolah.” Sastra berkacak pinggang, akhirnya menjelaskan kenapa mereka menggunakan lilin-lilin di ruangan itu tempo hari. “Kedua ....”
Bersamaan dengan senyum semringah yang terbit di bibirnya, Sastra mengacungkan serenceng kunci yang didapatnya dari pos satpam.
“Saya udah dapat izin untuk pakai satu sekolah, dong.”
Kala Juni mengeluarkan pekikan girang, Sastra mengangguk puas. “Tapi waktu kita cuma tersisa tiga minggu buat pakai satu area sekolah. Sembilan pertemuan—kecuali kalian pengin lebih.”
Soya memberenggut. Siapa yang mau datang ke sekolah tiap hari saat liburan? Mending dia ke pantai.
Seolah mengerti isi pikiran Soya, Sastra sempat mengerling ke arahnya dengan senyum geli. “Pokoknya, kita manfaatkan sebaik-baiknya kesempatan ini, anak-anak. Berhubung kita punya dua anggota baru, jadi menu utama kita adalah bonding sambil mikir mau membawakan drama apa untuk lomba.”
“Emang perlu bonding?” Nova menyahut. “Toh aku udah sekelas dengan Soya dan Daru.”
“Itu kan kamu, Nov.” Kaspian memutar bola mata. “Baru kali ini aku kenal Alam.”
“Daru aja.”
“See? Kalian butuh bonding,” kata Sastra. “Sekarang, lari keliling semua lorong di lantai dasar, dan teriak ‘aku mau liburan’ yang keras! Yang datang paling telat akan kena hukuman, dan pemenangnya tentu yang sampai duluan.”
Soya membeliak. Tiba-tiba lari? Keliling sekolah?
“Apa maksudnya—“
“Satu, dua ....”
Kala Nova, Kaspian, dan Juni mendadak mengambil posisi kuda-kuda, Soya panik. Daru, yang juga belum mengerti apa pun, refleks membungkuk.
“Tiga!”
Anak-anak itu melesat secepat kilat, seolah-olah hukuman entah apa itu sangat mengerikan, meski Daru lebih cenderung terpacu langkah ketiga murid yang lain.
Ah, jika ketiga murid asuhan Sastra itu berlari bak kesetanan, maka semestinya Soya memercayai histeria mereka kala berlari melintasi lorong, dan berteriak keras-keras:
“AKU MAU LIBURAAAAN!”
Benar. Sudah gagal liburan, masih harus datang ke sekolah pula! Soya tak mau menambah penderitaannya dengan terkena hukuman! Untuk membuktikan nilai mata pelajaran penjaskes yang tak pernah kurang dari sembilan puluh, Soya pun memecut dirinya berlari lebih kencang, nyaris terasa melayang.
Nova menggerung. “Dih, Soya! Curang! Mana suaramu?!”
Di sela napasnya yang tersengal-sengal, Soya berseru sekuat-kuatnya, “A-akuuu mauuu libuurannn!”
Walau, yang terdengar cenderung seperti lengkingan kelinci yang digigit macan. Gara-gara itu, tawa Juni meledak, dan gadis itu kepeleset saat berbelok ke tikungan.
“Juni!”
Keempat remaja yang lain spontan berbalik badan, tetapi mereka mendesah lega saat melihat Juni justru berguling-guling menahan tawa. Telunjuknya terarah kepada Soya.
“Apaan!” serunya cekikikan. “Suaranya kayak tikus kejepit!”
Soya merenggut. Mukanya memerah antara malu dan adrenalin yang terpacu. Meski begitu ia cukup lega, karena itu berarti Juni tidak marah lagi padanya. Ia mengulurkan tangan kepada gadis itu.
Namun, saat Juni berdiri kembali, kakinya yang jenjang spontan melesat.
“Eh, curang!” Kaspian berseru, dan keempat murid lainnya bergegas menyusul.
Juni tertawa-tawa di depan mereka. Rambutnya yang dikuncir kuda berayun-ayun saat ia merentangkan tangan dan berteriak, “Aku mau liburannn! Ke Bali! Ke Singapura! Bukan di sekolahhh!”
Area SMA Surya Cendekia yang semula senyap kini riuh oleh sahut-sahutan kelima murid yang menikmati frustrasi mereka. Lantai tegel kelabu memantulkan derap tak sinkron, tawa dan teriakan terpantul di sekujur lorong-lorong senyap. Daru dan Nova nyaris terpeleset di depan toilet, tetapi mereka berhasil memacu langkah, dengan wajah memerah padam dan napas menderu. Ada euforia aneh kendati tenggorokan mereka kering.
Sastra di depan mata, menunggu di teras ruang guru dengan seringai puas. Soya yang terdepan. Atau, begitu yang ia pikirkan, ketika Kaspian tahu-tahu menyalip, wajahnya benar-benar semerah tomat. Deru napasnya keras.
Sementara Nova dan Juni masih saling meneriakkan rencana liburan mereka yang tak terwujud.
“AKU MAU LIBURAN KE PARISSS!”
“KE MARS!”
Sastra tertawa. Ia bertepuk tangan saat Daru sampai duluan, dengan separu berdecit dan ia akhirnya terpeleset di lantai teras. Soya menyusul, hampir tertabrak oleh Daru yang berguling untuk merebahkan punggung. Kaspian nomor tiga, dan Juni yang terakhir.
“Ih, aku telat lagi!”
“Curang, sih.” Nova mengejek. “Makanya kualat.”
Juni menjulurkan lidah. Sementara yang lain refleks telentang di lantai teras yang dingin, dengan napas yang saling sahut-menyahut, ia bersandar pada tembok. Keringat bercucuran di pelipisnya.
“Hukumannya ... hukumannya apa, Pak?”
“Istirahat dulu.” Sastra melemparkan botol minum kepada Juni.
Kaspian dan Nova, yang refleks mengulurkan tangan tetapi tidak tersambut, protes. “Cuma Juni, Pak?”
“Itu dia. Stok minumnya habis.” Sastra menyeringai. “Setelah ini kita beli minum di pujasera dekat sekolah, ya. Kebetulan masuk jam makan siang juga. Pemenangnya saya traktir makan!”
Ketika yang lain mengacungkan tinju dengan senang, Juni melontarkan tawa panik. Sepertinya ia sudah tahu hukumannya apa—hukuman yang membuat para anggota lama teater Layar Surya sempat berlari kesetanan di awal tadi.
Pujasera di depan SMA Surya Cendekia bersisian dengan kafe yang pernah Soya kunjungi bersama orang tuanya. Karena kafe itu tidak menjual makanan berat, maka pujasera tetap penuh di jam-jam bersantap. Kini, menjelang pukul dua belas, meja-meja kayu panjang telah disesaki para karyawan dari ruko-ruko terdekat, rombongan keluarga yang tampaknya baru kembali dari liburan, dan pengunjung acak.
Sastra dan kelima muridnya duduk di pojok, di meja yang tersisa. Mejanya tidak besar. Mereka harus duduk berimpitan di bangku panjang yang tidak lebar. Gelas-gelas berisi es jeruk dan es teh bergerombol di meja, bersanding dengan sepiring lumpia goreng, serta semangkuk mi pangsit milik Daru. Juni sibuk menggulir layar ponsel dengan bibir manyun.
“Ramai, ya. Tumben.” Nova menegakkan punggung, berusaha melihat sesaknya pujasera yang disesaki obrolan dan teriakan menyebut nomor meja. Seringainya lebih keji daripada Sastra beberapa saat lalu. “Tumben banget, loh, Jun! Padahal lagi musim libur!”
“Shut up,” tukas Juni. “Karyawan kan emang nggak ikut liburan sekolah!”
Soya dan Daru bertukar pandang. Sejak tadi mereka tak mengerti apa hukumannya. Namun, tak ada yang mau menjelaskan, selain menyuruh mereka untuk menunggu dan menyaksikan.
“Gimana? Udah nemu, Jun?”
Juni menyodorkan ponselnya kepada Sastra, yang dibalas dengan anggukan. Gadis itu mengembuskan napas sebal. “Di sini, Pak? Langsung?”
“Mau di depan juga boleh.”
Juni menggerutu. Dengan satu tarikan napas dalam-dalam, ia berdiri di bangkunya, menggunakan pundak Kaspian sebagai tumpuan. Sementara Daru mengangkat ponselnya sendiri, menjalankan tugas sebagai sesi dokumentasi baru.
Soya mengangkat alis. Untuk apa Juni berdiri di sana? Jangan-jangan ....
Juni tahu-tahu menepuk tangan tiga kali. Orang-orang di meja sekitar mengangkat kepala, kendati keriuhan belum reda sepenuhnya. Dengan wajah semburat merah, Juni pun berseru:
“”Taman Dunia”, oleh Amir Hamzah!”
Soya melongo.
Apa hukuman Juni ... membaca puisi di tempat umum?!
Juni mengangkat tangan. Gerakan jarinya gemulai saat ia kembali bersuara, nadanya kini mendayu dan lantang. “Kau masukkan aku kedalam taman dunia, kekasihku!”
Kasak-kusuk orang di meja-meja sekitar mulai melenyap. Mereka mengangkat pandangan dari menu makan siang ke pemilik suara yang keras itu. Tertambatlah pada cewek berambut kuncir kuda di ujung ruang, sementara kawan-kawannya menahan kikik geli.
Juni mengatupkan bibir sejenak, menahan jengkel dan malu karena tawa yang lain. Hanya Sastra yang tak tertawa, menikmati pentas mini Juni dengan penuh apresiasi.
“Kaupimpin jariku, kautunjukkan bunga tertawa; kun—diem, ih!” Juni menghardik kawan-kawannya yang kikikannya makin kencang, terutama Nova. Ia berdeham malu. “Kuntum tersenyum!”
Beberapa orang mengacungkan ponsel, sementara sebagian senyum-senyum. Semua tahu cewek itu pasti sedang dihukum entah karena apa.
Bagi keempat kawannya, hukuman Juni terasa sangat sebentar. Baginya, tentu lama sekali. Ketika ia akhirnya selesai membacakan puisi itu dan membungkuk, ia buru-buru turun sampai nyaris terpeleset lagi, tetapi Kaspian sigap membantunya.
Nova menepuk-nepuk pundak Juni dan memijat-mijatnya. “Bagus, bagus! Next time kalah lagi, ya!”
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas