Loading...
Logo TinLit
Read Story - Layar Surya
MENU
About Us  

“Ooh, gitu? Ayo aja, sih.”

Soya mendelik. Tak menduga Daru akan menjawab semudah itu. Rasanya perjalanan Soya jadi antiklimaks.

Oke, pertama-tama, mari mundur dulu satu jam ... eh, dua hari yang lalu. Hari di mana Sastra memberi Soya penawaran tidak lazim. Selama dua hari cewek itu memikirkannya, dan semakin dipikir-pikir, rasanya ....

“Aneh, nggak, sih?” Ia masih mau mendebatnya. “Berasa kayak curang! Kayak dikasih sontekan langsung sama guru sebelum ujian!”

Soya mengabaikan penerimaan Daru begitu saja. Sudah jauh-jauh ia datang kemari, ke rumah neneknya yang berada di kabupaten. Ia berharap, setidaknya, Daru mau meladeni kegundahan berhari-harinya itu. Sebab, Soya belum juga mendaftar ke bimbel hingga detik ini, karena latihan teater itu juga dilaksanakan di waktu yang sama!

Daru mengangkat alis. “Kalau menurutku, sih, tiap guru punya cara mengajarnya sendiri-sendiri, Ya. Kalau beberapa guru aja masih sering manipulasi nilai kita demi mencapai standar KKM dan mempertahankan citra sekolah ... aku rasa tawaran Pak Sastra nggak seburuk itu.”

Soya tak habis pikir.

“Kalau aku, sih, mau.” Daru mengulum senyum. “Lumayan, aku bisa belajar dengan cara lain.”

Cowok berpotongan cepak itu kembali menekuni jajaran pot jeruk limau di hadapannya. Ia menyiram sambil menggumamkan nada, mirip dengan lagu lawas yang diputar berulang-ulang dari radio buntut di teras. Ia lantas mengarahkan selang ke serangkaian taman dan pohon yang tersebar di halaman, luasnya mungkin tiga kali rumah nenek Daru yang kuno dan beraroma minyak gosok.

Mungkin itu mengapa Daru punya sudut pandang yang luas. Seluas halaman rumah neneknya. Begitu kira-kira isi benak Soya saat mencoba memahami cara berpikir teman sebangkunya.

“Jadi ... kamu mau?”

“Yep. Sabtu, kan? Jam berapa?”

Daru berkata seolah-olah Soya akan mengiyakan ajakan Sastra. “Waktu itu, sih, aku ketemu Pak Sastra jam sepuluhan.”

“Kalau gitu aku datang sekitar jam sembilan. Sekalian abis naruh donat Mbah di kafe-kafe.”

“Kamu sungguhan mau, Daru? Padahal kamu peringkat dua .... Atau karena kamu peringkat dua, jadi kamu nggak khawatir perlu belajar?”

Cowok itu terkekeh. “Dih, curigaan! Aku cuma manfaatin waktu seefektif mungkin aja, Ya. Kamu tahu aku mesti ngurusin dagangan mbahku tiap subuh sama magrib. Sebenernya, aku capek kalau belajar terus. Jadi, kalau ada kesempatan buat refreshing, dan dapat nilai juga, ya ... kenapa nggak?”

Masuk akal, tapi Soya masih mengernyit.

“Emang kenapa kamu nggak mau?” tanya Daru balik. “Gara-gara diketawain Pak Sastra? Jangan dimasukin hati.”

“Kamu nggak ngerti rasanya dipermalukan kayak gitu, Dar,” tukas Soya sebal. “Dua kali, pula. Bisa-bisanya Pak Sastra jadi guru.”

Daru tersenyum tipis. “Dipermalukan emang nyebelin ... tapi, itu aja alasannya?”

“Aku nggak bisa akting!” tukas Soya. Jawaban itu sudah jelas, kenapa masih ditanyakan? “Baca naskah di depan kelas aja aku nggak sanggup. Ini malah disuruh akting!”

“Justru itu!” Daru buru-buru membungkuk untuk mematikan nyala air kran. “Kamu bisa berlatih ‘ngomong’ di sini, Ya.”

Soya menggeleng. “Nggak mau. Malu! Nanti ditonton banyak orang, sama aja kayak di kelas.”

“Kalau latihan teater, nggak ada yang lihatin! Belum!”

Soya berdecak. Teman yang satu ini memang keras kepala. Ngeyel. Maka ia pun mengungkapkan alasan pamungkas.

“Kamu belum tahu,” ujarnya. “Aku disuruh daftar bimbel sama Mama.” lantas ia menceritakan tentang keputusan orang tuanya untuk mendaftarkan bimbel di masa liburan ini.

Sesuai dugaan, Daru menggeleng. “Liburan kok daftar bimbel? Mending ikutan ini.”

Kenapa jawabannya sama seperti Sastra? Meski, tak dipungkiri, Soya merasa hukuman orang tuanya juga berlebihan. Ia sudah capek belajar hal-hal baru, masa liburan malah dipakai belajar lebih banyak lagi?

“Tapi—“

“Kalau kamu khawatir sama nilai, belajar bareng aku aja, deh.” “Kalo kamu belajar melulu nanti makin stres.”

“Tapi lesnya—“

“Bilang aja kamu udah daftar.”

“Kamu nyuruh aku bohong?!”

Daru menyeringai. “Halah. Orang tua kamu sibuk, kan? Nggak bakal sampai ngecekin kamu di bimbel itu? Nah, bilang aja udah daftar. Kamu sesuaikan jadwal belajarnya sama latihan ekskul. Sama-sama tiga kali seminggu.”

Soya masih ragu. Bagaimana pun Soni dan Yasmin adalah orang tuanya sendiri. “Kalau Papa Mama tanya buktinya?”

Daru mengusap dagu, lantas cowok itu menjentikkan jari. “Tunggu bentar!” katanya, lantas ia melompat masuk ke rumah, masih dengan jejak tanah berlumpur di kakinya. Selang tak lama kemudian, ia muncul lagi, kali ini dengan setumpuk buku latihan soal SBMPTN dari tahun-tahun sebelumnya.

“Pinjam aja punyaku! Atau, kalau kamu mau beli, aku tunjukin tempatnya! Murah, cuma lima ribuan!”

**

Soya pulang dengan rasa kurang puas, tapi setidaknya ia membawa dua buku latihan soal SBMPTN milik Daru, dan membeli satu buku baru dari bazaar toko buku yang dihampirinya tadi.

Jika ada satu hal yang Soya syukuri dari tempat bimbel pilihan Yasmin, itu adalah ketidakpopulerannya. Andai itu adalah lembaga bimbel terkenal, sudah pasti buku-buku yang dibawa Soya mesti berlabel nama lembaga tersebut.

Namun, apakah ini cukup untuk mengelabui orang tuanya?

Aduh, masa harus bohong beneran, sih? Terakhir Soya berbohong soal pemakaian uang jajan untuk beli komik, Yasmin marah. Sang ibu terpaksa membuatkan bekal untuknya juga, walau hanya bertahan selama seminggu, karena Yasmin kelewat sibuk dengan berbagai arisan dan acara komunitas.

Setibanya di rumah, Soya dibuat berdebar-debar dengan kehadiran ayahnya di meja makan. Sambil membalas pesan tanpa henti, Soni mengunyah nasi soto—menu katering hari ini. Berseberangan dengan Soni adalah adiknya, Nino, yang mencuri-curi pandang ke arah Soya.

“Kakak udah pulang!” bocah usia tujuh tahun itu mengangkat tangan. “Apa tuh, Kak? Gede amat! Kayak bantal!”

Ketika pandangan Soni ikut tertambat pada tumpukan buku yang dibawa Soya, ia spontan menegang. Jarinya memeluk buku-buku itu dengan erat.

Jangan sampai ketahuan, jangan sampai ....

“Eh, ini ... buku latihan soal ....”

“Dari bimbel?” Soni membalas dengan alis terangkat.

Soya menelan ludah. Berbohong, tidak? Bohong, tidak? Benaknya berkecamuk. Bagaimana kalau ia ketahuan berbohong lagi? Namun, apa salahnya membeli buku-buku latihan soal? Bukankah semestinya kedua orang tuanya senang?

Dan lagi, jika berkata jujur saja tetap membuatnya dihukum dan ditertawakan, apa bedanya dengan berbohong?

Ekspresi Soya mengeruh saat mengingat kejujurannya ditertawakan. Bukannya ia tidak bisa membaca naskah. Ia hanya ... gugup. Luar biasa. Soya tidak terbiasa berbicara di depan banyak orang, apalagi mengeluarkan suara keras. Itu tidak sopan di rumah, dan ia selalu malu bertemu dengan tamu-tamu kedua orang tuanya.

“Soya? Ditanyain kok bengong?”

Ia menelan ludah sekali lagi. “Iya, Pa,” katanya, nyaris gemetar. “Baru dapet. Ini. Lengkap. Persis ... persis seperti latihan soal SBMPTN gitu.”

Jadi, sekali lagi, apa bedanya jujur dan bohong, kalau sama-sama bakal dihukum jika ketahuan?

Soni mengangguk. “Dikerjain, ya. Belajar yang rajin,” begitu kata beliau, sebelum kembali menambatkan pandangan pada ponsel dan nasi soto yang tersisa.

Kelegaan dan ketakutan menyerbu Soya sekaligus. Tak ingin kebohongannya ketahuan, bergegas ia pergi ke kamarnya sendiri, mengabaikan panggilan Nino yang ingin melihat isi buku setebal bantal tersebut.

Seusai menutup pintu, Soya bersandar lemas pada pintu.

Ia berbohong. Ia belum mendaftar ke tempat bimbel yang disarankan Yasmin itu. Lagi pula, kenapa tadi dirinya berbohong? Apakah ia benar-benar akan mendaftarkan diri ke ekskul teater?

Nah. Satu yang pasti: Soya tidak mau belajar di musim liburan!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • zetamol

    Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---

    Comment on chapter Prolog: Ambang Batas
  • zetamol

    Anxiety-mu itu loh, Soya 😭

    Comment on chapter Bab 1: Soya Mayanura
Similar Tags
Dunia Tiga Musim
3599      1377     1     
Inspirational
Sebuah acara talkshow mempertemukan tiga manusia yang dulunya pernah bertetangga dan menjalin pertemanan tanpa rencana. Nda, seorang perempun seabstrak namanya, gadis ambivert yang berusaha mencari arti pencapaian hidup setelah mimpinya menjadi diplomat kandas. Bram, lelaki ekstrovert yang bersikeras bahwa pencapaian hidup bisa ia dapatkan dengan cara-cara mainstream: mengejar titel dan pre...
Lepas SKS
245      211     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
Like Butterfly Effect, The Lost Trail
6055      1611     1     
Inspirational
Jika kamu adalah orang yang melakukan usaha keras demi mendapatkan sesuatu, apa perasaanmu ketika melihat orang yang bisa mendapatkan sesuatu itu dengan mudah? Hassan yang memulai kehidupan mandirinya berusaha untuk menemukan jati dirinya sebagai orang pintar. Di hari pertamanya, ia menemukan gadis dengan pencarian tak masuk akal. Awalnya dia anggap itu sesuatu lelucon sampai akhirnya Hassan m...
Secret Love
366      249     3     
Romance
Cerita ini bukan sekedar, cerita sepasang remaja yang menjalin kasih dan berujung bahagia. Cerita ini menceritakan tentang orang tua, kekasih, sahabat, rahasia dan air mata. Pertemuan Leea dengan Feree, membuat Leea melupakan masalah dalam hidupnya. Feree, lelaki itu mampu mengembalikan senyum Leea yang hilang. Leea senang, hidup nya tak lagi sendiri, ada Feree yang mengisi hari-harinya. Sa...
Tetesan Air langit di Gunung Palung
457      318     0     
Short Story
Semoga kelak yang tertimpa reruntuhan hujan rindu adalah dia, biarlah segores saja dia rasakan, beginilah aku sejujurnya yang merasakan ketika hujan membasahi
Kala Saka Menyapa
12653      2934     4     
Romance
Dan biarlah kenangan terulang memberi ruang untuk dikenang. Sekali pun pahit. Kara memang pemilik masalah yang sungguh terlalu drama. Muda beranak begitulah tetangganya bilang. Belum lagi ayahnya yang selalu menekan, kakaknya yang berwasiat pernikahan, sampai Samella si gadis kecil yang kadang merepotkan. Kara butuh kebebasan, ingin melepas semua dramanya. Tapi semesta mempertemukannya lag...
Titip Salam
4204      1558     15     
Romance
Apa kamu pernah mendapat ucapan titip salam dari temanmu untuk teman lainnya? Kalau pernah, nasibmu hampir sama seperti Javitri. Mahasiswi Jurusan Teknik Elektro yang merasa salah jurusan karena sebenarnya jurusan itu adalah pilihan sang papa. Javitri yang mudah bergaul dengan orang di sekelilingnya, membuat dia sering kerepotan karena mendapat banyak titipan untuk teman kosnya. Masalahnya, m...
Strange Boyfriend
329      264     0     
Romance
Pertemuanku dengan Yuki selalu jadi pertemuan pertama baginya. Bukan karena ia begitu mencintaiku. Ataupun karena ia punya perasaan yang membara setiap harinya. Tapi karena pacarku itu tidak bisa mengingat wajahku.
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
3889      1909     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
Mapel di Musim Gugur
476      341     0     
Short Story
Tidak ada yang berbeda dari musim gugur tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali senyuman terindah. Sebuah senyuman yang tidak mampu lagi kuraih.