Loading...
Logo TinLit
Read Story - Layar Surya
MENU
About Us  

Tempat bimbingan belajar yang dimaksud Yasmin ternyata terletak di gang belakang sekolah. Tersembunyi di balik tingginya pagar dan gedung peninggalan zaman kolonial, tempat bimbel itu masih harus menanggung juluran bunga-bunga kertas yang rimbun dari sela-sela pagar.

Ditambah lampu penerangan yang redup, Soya telah memperkirakan masa liburan paling suram sepanjang sejarah hidupnya.

Setidaknya, Soni dan Yasmin tidak menemani. Bukannya mereka percaya—apa yang bisa dipercaya dari gadis yang menjanjikan peringkat dua tapi malah dapat peringkat delapan?—melainkan karena ayahnya harus menemui klien di kota sebelah dan ibunya mesti menghadiri arisan kesembilan bulan ini.

“Silakan, Kak, masuk dulu untuk lihat-lihat.” Petugas resepsionis dalam kemeja batik melambaikan tangan kepadanya. “Boleh lihat-lihat ruangannya dulu.”

Soya mengembuskan napas. Kalau disuruh melihat-lihat, ia semakin tidak ingin menghabiskan masa liburan di sini. Namun, sudah dipersilakan begitu, ia sungkan untuk menolak. Maka Soya menaiki tangga, berharap tak ada orang yang akan mengajaknya mengobrol.

Kelas yang tersedia hanya sebanyak tiga. Sempit. Penerangannya redup. Ada retakan pada dinding putih kusam, menandakan bangunan ini setua gedung SMA Surya Cendekia. Bergegas Soya menuju balkon yang rupanya menghadap ke arah bangunan sekolah, dan terlalu dekat untuk melihat ke dalam kelas yang jendela-jendelanya terbuka.

Ugh. Lagi-lagi sekolah.

Bapak ingin membunuhku?!”

Suara familiar melengking dari dalam ruang kelas di seberangnya, membuat Soya terkesiap. Tubuhnya terdiam kaku saat mendengar suara seperti barang terjatuh, lalu suara itu terdengar lagi, lebih keras.

BAPAK INGIN MEMBUNUHKU?”

Itu suara Nova! Soya terperangah. Ia merapat pada tepi balkon, memastikan bahwa tadi dirinya tidak salah dengar. Di bawah sorot mentari pukul sepuluh pagi, ruang kelas tanpa lampu itu tampak begitu gelap. Jantung Soya berdebar-debar.

Nova boleh saja menjengkelkan, tapi tadi ia barusan berteriak, kan? Dan—dan, katanya, ia mau diapakan?!

“Siapa yang ingin membunuhmu?”

Lantang, dalam, dan mendorong Soya seketika berlari. Itu suara Sastra. Begitu mengancam, sampai-sampai Soya tadi sempat mengira pria itu melangkah melintasi jendela sambil membawa penggaris kayu satu meter, atau mungkin tongkat pramuka—Soya tidak tahu. Ia merasa melihatnya, dan sekarang gadis itu melompati tangga, melesat melewati lobi bimbel, dan mengibrit menuju sekolah.

Ini hari Senin pertama di musim liburan. Satu hari menjelang tanggal merah, tetapi gerbang utama sekolah masih terbuka sedikit. Memanfaatkan langkahnya yang selalu gesit—karena satu-satunya mata pelajaran dengan nilai sembilan puluh hanyalah Pendidikan Jasmani dan Kesehatan—Soya memacu langkah menuju ruang kelas itu.

Ia tidak tahu itu ruang kelas apa, sebenarnya. Sambil memeras otak, ia mencoba memetakan denah sekolahnya yang begitu rumit, dan memutuskan barangkali itu ruang serbaguna yang bersisian dengan gedung auditorium.

Nova—NOVA DALAM BAHAYA!

“Jangan!”

Soya menjeblak pintu terbuka. Merasuklah berkas-berkas sinar mentari, mengempas gelapnya ruang serbaguna yang beraroma apek, keringat, dan tekanan.

Senyap.

Selama sesaat, tak ada suara selain napas Soya yang tersengal-sengal. Matanya mengerjap-kerjap ketika mencoba melihat di dalam kegelapan. Tak ada aroma mencurigakan, hanya berpasang-pasang mata yang balas menatap Soya.

Klik.

Lampu ruang serbaguna menyala, menunjukkan ruang yang ditutupi kain-kain serba hitam. Tampak Nova dan Sastra berdiri berhadapan, Kaspian yang baru saja menyalakan saklar lampu, dan gadis seusia yang tengah merekam dengan ponsel. Semuanya mengenakan kaus hitam.

Tak ada pembunuhan.

Loh?

“Soya?” Nova berkacak pinggang. Ke mana Nova yang tadi menjerit histeris? “Ngapain kamu?”

Soya tak menjawab. Pandangannya bergulir pada Sastra. Ujung bibir gelap beliau berkedut membentuk seringai tipis. Apa Sastra tidak berniat membunuh Nova? Tak ada tongkat atau penggaris kayu juga, apa tadi Soya hanya berhalusinasi?

“Soya?” Kaspian menyahut. “Are you okay?”

“Tadi ... aku dengar ... Nova teriak.” Soya menunjuk ke arah jendela yang menampilkan balkon tempat bimbel. “Saya kira ... saya kira Nova mau ....”

“Dibunuh?” Sastra menyelesaikan kalimat. Ia berkacak pinggang dengan senyum melebar. Kenapa beliau terlihat semakin senang, padahal tadi Sastra mengancam Nova?

Tunggu dulu.

Soya menyapukan pandangan ke sekeliling ruangan, berikut bendelan-bendelan familiar yang dipegang oleh masing-masing murid. Itu naskah. Naskah drama.

“Kalian lihat?” Sastra tiba-tiba berkata lagi. Tangannya terayun ke arah Soya. “Itulah yang saya sebut aktor sejati. Orang awam yang nggak ngerti apa-apa bakal ngira kejadian barusan itu nyata. Sungguhan. Nggak dibuat-buat. Dramatis, tapi ngena.”

Sempat pandangan Sastra terarah tajam kepada Kaspian, sebelum beralih menertawakan Soya. “Selamat, Nova! Akting kamu luar biasa sampai-sampai bikin Soya ngira saya mau bunuh kamu sungguhan!”

Semestinya itu hal bagus. Bagi Nova. Tidak untuk Soya, yang justru menjadi bahan tertawaan Nova dan cewek perekam, teriring cemoohan khas Sastra.

“Soya ... Soya! Naif banget sih, kamu! Ya kali saya mau bunuh murid asuhan saya di sekolah! Tapi nggak apa-apa, berarti orang awam aja bisa terkecoh sama akting Nova!”

Memerahlah wajah Soya. Dentam nyaring di dadanya tidak lagi karena kepanikan. Ingin sekali ia tersedot ke lubang waktu, mengulang kejadian tadi dan mengabaikan ini.

Ia malu. Dicemooh Sastra untuk kedua kali, dan sekarang ditambah dengan menjadi bahan lelucon di video yang tengah direkam cewek di ujung ruangan. Yah, setidaknya, Kaspian tidak ikut tertawa.

“M-maaf. Saya permisi.” Pelupuk matanya berat saat ia mengangguk dalam-dalam, lantas menarik pintu bersama dengan langkah keluar ruangan.

Bodoh kamu, Soya, umpatnya dalam hati. Sambil mengusap keringat yang merembes di pelipis, gadis itu menyeret kaki di atas tegel kelabu dingin lorong.

Namun, baru saja ia berbelok ke tangga, terdengar derap langkah menyusul.

“Sebentar, Soya!”

Itu suara Sastra. Gadis itu refleks membeku di ujung tangga. Sempat ia berdebat untuk kabur saja atau menjawab, tetapi terlambat sudah. Sastra terlanjur menepuk pundaknya.

“Soya.”

Ia memutar tubuh, berusaha meratakan bibirnya yang manyun. “Ya, Pak? Maaf, tadi saya bener-bener nggak tahu ....”

Sastra mengibaskan tangan. “Kamu aktif di ekskul tertentu?”

Mengernyitlah ia. “Nggak, Pak. Ortu saya lebih suka saya les bimbel ....”

“Buat apa? Emang belajar di sekolah sampai jam tiga sore dan punya peer belum cukup?” Sastra memutar bola mata. “Gini, saya mau ngajak kamu gabung ke ekskul teater. Gimana?”

Soya bengong. Mulutnya menganga tak menyangka. “Nggak ... nggak salah, Pak? S-saya?”

“Dengerin dulu.” Sastra melipat tangan. “Aktif di ekskul itu bisa berpengaruh dengan rapor kamu, terutama kalau berhubungan dengan mata pelajaran tertentu. Kalau kamu gabung ke ekskul teater saya, maka nilai mata pelajaran Sasindo kamu bisa naik.”

Sastra mengucapkan kalimat terakhir seolah-olah itu konspirasi.

“Kamu nggak usah mikirin hasil ujian, ulangan, atau tugas. Syaratnya satu: kamu aktif di ekskul dengan baik.”

Mata Soya membeliak lebar. Itu berarti tidak perlu belajar mata pelajaran ini? Tidak perlu menghapal huruf Arab-Melayu?

“T-tapi saya nggak bisa akting, Pak.” Terbayang bagaimana akting Nova mampu membuatnya berderap dari lantai dua tempat bimbel kemari. “Saya nggak bisa kayak Nova ....”

“Emang nggak bisa, karena kamu bukan Nova!” Sastra menggeleng. “Emang kamu mikir ekskul teater isinya akting doang? Pertimbangkan dulu. Apa pun jawabanmu, saya tunggu Sabtu nanti.”

Sastra berbalik, meninggalkan Soya termangu di tangga. Namun, baru beberapa langkah ia menjauh, ia berhenti lagi.

“Teman sebangkumu, yang suka tidur itu?”

“Daru?”

“Ya, Daru. Coba suruh ikut sekalian. Siapa tahu kalian berdua bisa jadi penata artistik. Enak, tho? Nggak harus akting seperti Nova, cukup tata letak aja, dan nggak perlu mikir nilai.”

Ketika Sastra benar-benar pergi, hanya satu hal yang dipikirkan Soya. Entah mengapa ia merasa seperti baru saja diejek oleh pria di awal usia empat puluhan itu. Apa Sastra tak mau repot-repot memanipulasi nilai Soya agar sesuai KKM, dan mengajarinya akting, sehingga rela memberikan nilai sempurna hanya untuk sekadar menata panggung?

Soya masih belum tahu apa itu penata artistik. Namun, dari penjelasan super sederhana Sastra, kayaknya dia cuma mau dijadikan pembantu ekskul.

Namun, kalau itu dibayar dengan tak perlu mempelajari Sastra Indonesia yang menjengkelkan dan nilai sempurna ....

Ah. Mungkin dia mesti menemui Daru dulu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • zetamol

    Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---

    Comment on chapter Prolog: Ambang Batas
  • zetamol

    Anxiety-mu itu loh, Soya 😭

    Comment on chapter Bab 1: Soya Mayanura
Similar Tags
Nobody is perfect
13906      2520     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
Titik
349      231     0     
Romance
Ketika semua harapan hilang, ketika senyummu menjadi miliknya. Tak ada perpisahan yang lebih menyedihkan.
Warna Untuk Pelangi
8523      1814     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Simplicity
10507      2465     0     
Fan Fiction
Hwang Sinb adalah siswi pindahan dan harus bertahanan di sekolah barunya yang dipenuhi dengan herarki dan tingkatan sesuai kedudukan keluarga mereka. Menghadapi begitu banyak orang asing yang membuatnya nampak tak sederhana seperti hidupnya dulu.
Harmonia
4367      1378     4     
Humor
Kumpulan cerpen yang akan membuat hidup Anda berubah 360 derajat (muter ke tempat semula). Berisi tentang kisah-kisah inspiratif yang memotivasi dengan kemasan humor versi bangsa Yunani. Jika diterbitkan dalam bentuk cetak, buku ini akan sangat serba guna (bisa untuk bungkus gorengan). Anda akan mengalami sedikit mual dan pusing ketika membacanya. Selamat membaca, selamat terinspirasi, dan jangan...
Close My Eyes
523      393     1     
Short Story
Pertemuan 2 pasang insan atas sebuah kematian dari latar yang belakang berbeda
DEWS OF MOCCACINO ICE
602      416     0     
Short Story
Main Character
1408      860     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
Well The Glass Slippers Don't Fit
1437      652     1     
Fantasy
Born to the lower class of the society, Alya wants to try her luck to marry Prince Ashton, the descendant of Cinderella and her prince charming. Everything clicks perfectly. But there is one problem. The glass slippers don't fit!
WE CAN DO IT
599      417     3     
Short Story
Mada, Renjun, dan Jeno adalah sahabat baik sejak kelas X. Kini mereka telah duduk di kelas XII. Selepas lulus SMA, mereka ingin menempuh pendidikan S1 di Universitas Negeri Surabaya melalui jalur SNMPTN 2017. Namun mereka telah memiliki opsi jurusan berbeda. Perjuangan mereka pun membuahkan hasil dan tidak sia-sia.