“Ooh, gitu? Ayo aja, sih.”
Soya mendelik. Tak menduga Daru akan menjawab semudah itu. Rasanya perjalanan Soya jadi antiklimaks.
Oke, pertama-tama, mari mundur dulu satu jam ... eh, dua hari yang lalu. Hari di mana Sastra memberi Soya penawaran tidak lazim. Selama dua hari cewek itu memikirkannya, dan semakin dipikir-pikir, rasanya ....
“Aneh, nggak, sih?” Ia masih mau mendebatnya. “Berasa kayak curang! Kayak dikasih sontekan langsung sama guru sebelum ujian!”
Soya mengabaikan penerimaan Daru begitu saja. Sudah jauh-jauh ia datang kemari, ke rumah neneknya yang berada di kabupaten. Ia berharap, setidaknya, Daru mau meladeni kegundahan berhari-harinya itu. Sebab, Soya belum juga mendaftar ke bimbel hingga detik ini, karena latihan teater itu juga dilaksanakan di waktu yang sama!
Daru mengangkat alis. “Kalau menurutku, sih, tiap guru punya cara mengajarnya sendiri-sendiri, Ya. Kalau beberapa guru aja masih sering manipulasi nilai kita demi mencapai standar KKM dan mempertahankan citra sekolah ... aku rasa tawaran Pak Sastra nggak seburuk itu.”
Soya tak habis pikir.
“Kalau aku, sih, mau.” Daru mengulum senyum. “Lumayan, aku bisa belajar dengan cara lain.”
Cowok berpotongan cepak itu kembali menekuni jajaran pot jeruk limau di hadapannya. Ia menyiram sambil menggumamkan nada, mirip dengan lagu lawas yang diputar berulang-ulang dari radio buntut di teras. Ia lantas mengarahkan selang ke serangkaian taman dan pohon yang tersebar di halaman, luasnya mungkin tiga kali rumah nenek Daru yang kuno dan beraroma minyak gosok.
Mungkin itu mengapa Daru punya sudut pandang yang luas. Seluas halaman rumah neneknya. Begitu kira-kira isi benak Soya saat mencoba memahami cara berpikir teman sebangkunya.
“Jadi ... kamu mau?”
“Yep. Sabtu, kan? Jam berapa?”
Daru berkata seolah-olah Soya akan mengiyakan ajakan Sastra. “Waktu itu, sih, aku ketemu Pak Sastra jam sepuluhan.”
“Kalau gitu aku datang sekitar jam sembilan. Sekalian abis naruh donat Mbah di kafe-kafe.”
“Kamu sungguhan mau, Daru? Padahal kamu peringkat dua .... Atau karena kamu peringkat dua, jadi kamu nggak khawatir perlu belajar?”
Cowok itu terkekeh. “Dih, curigaan! Aku cuma manfaatin waktu seefektif mungkin aja, Ya. Kamu tahu aku mesti ngurusin dagangan mbahku tiap subuh sama magrib. Sebenernya, aku capek kalau belajar terus. Jadi, kalau ada kesempatan buat refreshing, dan dapat nilai juga, ya ... kenapa nggak?”
Masuk akal, tapi Soya masih mengernyit.
“Emang kenapa kamu nggak mau?” tanya Daru balik. “Gara-gara diketawain Pak Sastra? Jangan dimasukin hati.”
“Kamu nggak ngerti rasanya dipermalukan kayak gitu, Dar,” tukas Soya sebal. “Dua kali, pula. Bisa-bisanya Pak Sastra jadi guru.”
Daru tersenyum tipis. “Dipermalukan emang nyebelin ... tapi, itu aja alasannya?”
“Aku nggak bisa akting!” tukas Soya. Jawaban itu sudah jelas, kenapa masih ditanyakan? “Baca naskah di depan kelas aja aku nggak sanggup. Ini malah disuruh akting!”
“Justru itu!” Daru buru-buru membungkuk untuk mematikan nyala air kran. “Kamu bisa berlatih ‘ngomong’ di sini, Ya.”
Soya menggeleng. “Nggak mau. Malu! Nanti ditonton banyak orang, sama aja kayak di kelas.”
“Kalau latihan teater, nggak ada yang lihatin! Belum!”
Soya berdecak. Teman yang satu ini memang keras kepala. Ngeyel. Maka ia pun mengungkapkan alasan pamungkas.
“Kamu belum tahu,” ujarnya. “Aku disuruh daftar bimbel sama Mama.” lantas ia menceritakan tentang keputusan orang tuanya untuk mendaftarkan bimbel di masa liburan ini.
Sesuai dugaan, Daru menggeleng. “Liburan kok daftar bimbel? Mending ikutan ini.”
Kenapa jawabannya sama seperti Sastra? Meski, tak dipungkiri, Soya merasa hukuman orang tuanya juga berlebihan. Ia sudah capek belajar hal-hal baru, masa liburan malah dipakai belajar lebih banyak lagi?
“Tapi—“
“Kalau kamu khawatir sama nilai, belajar bareng aku aja, deh.” “Kalo kamu belajar melulu nanti makin stres.”
“Tapi lesnya—“
“Bilang aja kamu udah daftar.”
“Kamu nyuruh aku bohong?!”
Daru menyeringai. “Halah. Orang tua kamu sibuk, kan? Nggak bakal sampai ngecekin kamu di bimbel itu? Nah, bilang aja udah daftar. Kamu sesuaikan jadwal belajarnya sama latihan ekskul. Sama-sama tiga kali seminggu.”
Soya masih ragu. Bagaimana pun Soni dan Yasmin adalah orang tuanya sendiri. “Kalau Papa Mama tanya buktinya?”
Daru mengusap dagu, lantas cowok itu menjentikkan jari. “Tunggu bentar!” katanya, lantas ia melompat masuk ke rumah, masih dengan jejak tanah berlumpur di kakinya. Selang tak lama kemudian, ia muncul lagi, kali ini dengan setumpuk buku latihan soal SBMPTN dari tahun-tahun sebelumnya.
“Pinjam aja punyaku! Atau, kalau kamu mau beli, aku tunjukin tempatnya! Murah, cuma lima ribuan!”
**
Soya pulang dengan rasa kurang puas, tapi setidaknya ia membawa dua buku latihan soal SBMPTN milik Daru, dan membeli satu buku baru dari bazaar toko buku yang dihampirinya tadi.
Jika ada satu hal yang Soya syukuri dari tempat bimbel pilihan Yasmin, itu adalah ketidakpopulerannya. Andai itu adalah lembaga bimbel terkenal, sudah pasti buku-buku yang dibawa Soya mesti berlabel nama lembaga tersebut.
Namun, apakah ini cukup untuk mengelabui orang tuanya?
Aduh, masa harus bohong beneran, sih? Terakhir Soya berbohong soal pemakaian uang jajan untuk beli komik, Yasmin marah. Sang ibu terpaksa membuatkan bekal untuknya juga, walau hanya bertahan selama seminggu, karena Yasmin kelewat sibuk dengan berbagai arisan dan acara komunitas.
Setibanya di rumah, Soya dibuat berdebar-debar dengan kehadiran ayahnya di meja makan. Sambil membalas pesan tanpa henti, Soni mengunyah nasi soto—menu katering hari ini. Berseberangan dengan Soni adalah adiknya, Nino, yang mencuri-curi pandang ke arah Soya.
“Kakak udah pulang!” bocah usia tujuh tahun itu mengangkat tangan. “Apa tuh, Kak? Gede amat! Kayak bantal!”
Ketika pandangan Soni ikut tertambat pada tumpukan buku yang dibawa Soya, ia spontan menegang. Jarinya memeluk buku-buku itu dengan erat.
Jangan sampai ketahuan, jangan sampai ....
“Eh, ini ... buku latihan soal ....”
“Dari bimbel?” Soni membalas dengan alis terangkat.
Soya menelan ludah. Berbohong, tidak? Bohong, tidak? Benaknya berkecamuk. Bagaimana kalau ia ketahuan berbohong lagi? Namun, apa salahnya membeli buku-buku latihan soal? Bukankah semestinya kedua orang tuanya senang?
Dan lagi, jika berkata jujur saja tetap membuatnya dihukum dan ditertawakan, apa bedanya dengan berbohong?
Ekspresi Soya mengeruh saat mengingat kejujurannya ditertawakan. Bukannya ia tidak bisa membaca naskah. Ia hanya ... gugup. Luar biasa. Soya tidak terbiasa berbicara di depan banyak orang, apalagi mengeluarkan suara keras. Itu tidak sopan di rumah, dan ia selalu malu bertemu dengan tamu-tamu kedua orang tuanya.
“Soya? Ditanyain kok bengong?”
Ia menelan ludah sekali lagi. “Iya, Pa,” katanya, nyaris gemetar. “Baru dapet. Ini. Lengkap. Persis ... persis seperti latihan soal SBMPTN gitu.”
Jadi, sekali lagi, apa bedanya jujur dan bohong, kalau sama-sama bakal dihukum jika ketahuan?
Soni mengangguk. “Dikerjain, ya. Belajar yang rajin,” begitu kata beliau, sebelum kembali menambatkan pandangan pada ponsel dan nasi soto yang tersisa.
Kelegaan dan ketakutan menyerbu Soya sekaligus. Tak ingin kebohongannya ketahuan, bergegas ia pergi ke kamarnya sendiri, mengabaikan panggilan Nino yang ingin melihat isi buku setebal bantal tersebut.
Seusai menutup pintu, Soya bersandar lemas pada pintu.
Ia berbohong. Ia belum mendaftar ke tempat bimbel yang disarankan Yasmin itu. Lagi pula, kenapa tadi dirinya berbohong? Apakah ia benar-benar akan mendaftarkan diri ke ekskul teater?
Nah. Satu yang pasti: Soya tidak mau belajar di musim liburan!
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas