Erilya Jeneeva Galinea
Perempuan dengan sanggul kecil yang dihiasi bunga dan menggunakan setelan maroon itu berjalan dengan tegap ke tempat rektor berdiri. Dia menunduk agar tali mortar board-nya dapat dipindak ke sebelah. Begitu selesai, Erilya menegakkan tubuhnya dan berjabat tangan dengan rektor dan wakilnya. Dia lalu memamerkan ijazah yang berada di tangannya ke depan kamera. Senyumnya tercetak dengan jelas. Empat tahun telah dia lewati dengan sempurna. Tangis dan air mata juga menyertai perjalanannya. Dia lega telah berhasil melewati ujian kehidupan di bangku perkuliahan. Setelah ini dia harus mencari pekerjaan yang sesuai dengan cita-citanya.
Cita-citanya menjadi seorang editor buku, bekerja di balik layar komputer, dan menyibukkan diri dengan naskah-naskah di meja kerjanya. Sekarang perjalanan dia tinggal selangkah lagi, selangkah lagi dia bisa mencapainya.
Banyak pesan-pesan bahagia yang dikirimkan oleh teman-temannya. Mereka ikut bahagia melihat Erilya menyelesaikan kuliahnya. Beberapa juga mengirimkan hadiah kepada dirinya. Erilya benar-benar menikmati masa ini sebelum dia menghadapi badai yang akan datang.
6 bulan setelahnya …
Erilya menatap layar komputernya. Dia sudah membuat hampir tiga puluh curriculum vitae sesuai dengan berbagai bidang yang ingin dia daftarkan. Sebelumnya dia berkali-kali melamar sebagai seorang editor buku. Hanya saja, tidak ada yang benar-benar tembus. Entahlah mungkin Erilya tidak memiliki pengalaman yang relevan atau memang perusahaan hanya ingin mencari yang berpengalaman. Perusahaan sekarang sepertinya tidak terbuka bagi freshgraduate seperti dirinya. Erilya menghembuskan napasnya.
Dia menunduk dan mengacak-acak rambutnya. Sudah hampir satu minggu dia belum keramas karena setres dengan takdir hidup yang sedang dia jalani ini. Dia bisa gila melihat layar laptopnya setiap hari hanya untuk melihat berapa banyak balasan loker yang menolaknya.
Xiandra: Udah siap belum?
Velove: Otw
Keira: Udah di tempat
Velove: Mana Eri? Nggak ada kabar
Erilya lalu mengambil jaket dan tasnya. Kunci motor di meja juga dia sambar sekenanya. Langkahnya tergesa-gesa keluar dari kamar dan berlari kembali ke luar rumah setelah memakai sepatunya. Dengan berat hati dia mengendarai motornya untuk menemui ketiga sahabatnya. Dia rasanya sudah pasrah dengan hidup ini. Sepanjang jalan dia hanya bisa menghembuskan napasnya.
Kafe Lagollian
Kafe yang cukup murah untuk kantong-kantong pengangguran. Meskipun harganya murah tapi rasanya cukup enak. Eri bahkan mengira kafe itu buka untuk memberikan sedekah kepada manusia-manusia seperti dirinya.
Meja yang berisi empat orang itu seperti diisi oleh mayat hidup. Keempatnya hanya menatap kosong meja di depan. Mereka menunggu sambil berperang dengan pikiran mereka sendiri. Mereka tidak tahu harus melewati berapa banyak hari lagi untuk dapat mencapai apa yang mereka inginkan.
“Kak, ini meja nomor 18 ya?” Keempat orang itu tersadar dari lamunannya dan menatap pelayan itu. Setelahnya mereka mengangguk sebagai jawaban. “Satu burger delux tanpa keju, satu burger small lengkap, satu kentang goreng, satu pizza keju, dua sosis ukuran sedang, dua milkshake stoberi, dan dua milkshake coklat ya. Pesananya udah selesai semua?” Keempat pengangguran itu mengangguk lagi.
Pelayan itu pergi dengan canggung, tiba-tiba bulu kuduknya merinding. Siapa tahu keempat perempuan di meja itu memang memiliki gangguan kejiwaan.
“Kayaknya kita kayak orang gila deh.” Eri membuka percakapan.
“Aaaaah.” Velove mengangguk dan mengambil burger deluxnya. Sementara yang lain juga mulai memakan makanannya masing-masing.
“Bodo amat, gue mau makan dulu.” Keira memasukkan burger small ke dalam mulut kecilnya. “Emm akhirnya makan.”
“Lo gimana nyari kerjanya, Er?” Xiandra akhirnya membuka percakapan krusial yang memang selalu menjadi topik hangat di antara mereka.
“Nggak tahu, nggak jelas. Gue udah mau botak. Lo sendiri gimana Xi (Shi)?” Xiandra terdiam sambil mengunyah sosisnya. Rasa lumer keju di dalam mulutnya sedikit mengobati betapa sakitnya pertanyaan Erilya.
“Nggak jauh beda.” Xiandra menjawab singkat. Matanya beralih pada ponselnya. Dia membuka aplikasi pencari kerja. Di sana terpampang banyak loker yang telah dia lamar, isinya juga menolak lamarannya.
“Sumpah ya, gue udah nggak tahu mau ngapain lagi.” Velove akhirnya berbicara. Wanita itu juga tidak dapat menyembunyikan perasaan kesalnya. Apalagi tadi pagi dia telah melalui masa interview, tapi sama sekali tidak mendapatkan respons yang baik. “Gue udah berusaha sampai kayak pengen sujud di depan HRD buat milih gue, tapi sayangnya sama sekali dia nggak tertarik. Nanyain pengalaman kerja mulu. Terus katanya anak pendidikan kayak gue ngabis-ngabisin waktu mereka. Emang gue ini nggak bisa apa dilihat sebagai lulusan biasa aja? Nggak semua orang juga pengen jadi guru.”
“Hemmm, gue juga kok.” Keira meletakkan burgernya. Dia juga sudah satu tahunan ini berusaha mencari pekerjaan yang tepat tapi sampai sekarang belum ada hilal untuk dirinya. Keira semakin merasa tertekan. Apalagi dia adalah orang pertama yang lulus dari mereka berempat. “Makanya gue mau nikah aja.”
“Hah?” Ketiga sahabatnya berpandangan. Mereka tidak pernah mengira bahwa Keira akan menyerah untuk menggapai mimpinya.
"Lo serius? Kok gue nggak pernah tahu kalau lo punya pacar?" Erilya bertanya dengan tampang bloonnya, begitu juga dengan dua orang lainnya. Velove bahkan lupa mengunyah burger deluxnya. Sementara Xiandra yang mau memakan sosis terhenti begitu saja.
"Dijodohin. Udah nggak mau pusing lagi."
"NIkah lebih pusing nggak sih?" Velove menelan burgernya dan berbicara. Setelah itu tenggorokannya meminum milkshake untuk mempermudah tenggorokan menyeret kunyahannya.
"Yakin lo?" Xiandra menatap sangsi. Masalahnya mereka tahu pasti tabiat Keira yang masih seperti bocah. Tidak ada yang akan menyangka kalau persahabatan mereka akan sampai pada titik seperti ini.
"Gimana lagi, nggak ada loker yang mau menerima. Yaudahlah." Keira mengendikkan bahunya tidak peduli. Sudah lelah mental dan batinnya.
Keempatnya kembali terdiam. Mereka kembali fokus dengan pikiran akan jalan hidup mereka. Setelah ini semuanya akan terasa berbeda?