Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ikhlas Berbuah Cinta
MENU
About Us  

Setelah selesai memasak sarapan, aku segera bersiap-siap untuk mandi, sementara Zahra masih  ngebo di atas kasur. Sejak dulu dia memang paling malas bangun pagi-pagi. Namun, dia langsung bangun karena harus bekerja. Sekarang sudah pukul 09:00 pagi. Walaupun kafe belum buka, aku tetap harus duluan ke sana untuk mengecek stok kebutuhan dapur. 

Saat aku keluar dari kamar mandi, Bang Leo ternyata juga membuka pintu kamar.

"Abang udah bangun?" tanyaku agak heran.

"Iya, Dek. Kalian kerja?" tanyanya.

"Iya, Bang. Kalau Abang masih ingin tidur, tidur saja. Gak apa-apa kan di kos sendiri," saranku agar Bang Leo tidur lagi supaya mendapat istirahat yang cukup. Namun, Bang Leo menolak, malahan katanya dia ingin mandi. 

Zahra bahkan tidak mandi. Sekarang dia sudah duduk manis di meja makan. Bang Leo juga sudah tampak segar sehabis mandi.

"Oh, ya, Bang nanti bisa belanja sendiri, kan, atau ke salon juga? Tuh rambut dicukur aja, Bang. Kumis juga, ya. Pokoknya, semua kudu rapi!" omelku dan dia hanya tersenyum.

"Tapi, Abang belum punya duit, Dek," jawabnya lirih.

"Jangan khawatirkan masalah duit, Bang. Pakai duit Dhira aja. Gunakan seperlunya. Nanti kunci motor juga Dhira tinggalkan. Ada di atas lemari ya, Bang," imbuhku lagi menjelaskan lengkap.

Walaupun aku mengobrol banyak hal, tetapi Zahra tampak tidak terganggu sama sekali. dia melahap habis nasi goreng yang kumasak.

"Masakanmu enak banget, Dek," puji Bang Leo.

"Makanlah yang banyak, Bang biar lekas pulih kesehatannya. Tentang duit gak usah khawatir,ya. Dhira ada kok," saranku. 

Sebelum berangkat, aku membetulkan jilbabku, gamis dan memakai kaos kaki. Sejak dulu aku selalu mencoba untuk Istiqomah yaitu dengan memakai jilbab lebar, kaos kaki dan gamis. Bahkan, dengan pakaian seperti ini, tidak pernah sekalipun merasa terganggu saat bekerja.

"Kami pamit, Bang. Uangnya sudah Dhira letakkan di samping kunci motor, ya. Abang juga boleh jalan-jalan atau kalau uangnya cukup, beli ponsel ya, Bang buat komunikasi. Tapi maaf Dhira gak bisa nemanin Abang, karena Dhira harus kerja," ucapku sambil menyalami Bang Leo. 

Zahra tetap memaksa mengantarku walaupun arah rumahnya dengan kafe berlawanan. Begitu sampai di kafe aku menawarinya untuk mampir. 

"Makasih, Ra. Gak mau mampir lagi?" tawarku. Dia mendelik tajam. 

"Aku belum mandi, bisa-bisa nanti aromaku tercium dan menyebar ke mana-mana," ujarnya sambil mendelik manja.

Begitu aku menutup pintu mobil, dia langsung melajukan kendaraanya.

Aku melewati ruangan kasir, lalu menuju dapur dan melihat beberapa karyawan sedang sibuk beres-beres. Aku melakukan hal yang sama, mengecek persediaan bahan-bahan keperluan dapur, tidak lama lagi petugas yang biasa mengantarkan bahan-bahan itu akan sampai. Ada hal penting yang ingin kusampaikam ke Bang Randi dan ternyata dia baru saja keluar dari ruangannya. Sepertinya pria yang selalu cuek itu tidur di sana.

"Bang, ada waktu sebentar gak?"

"Kenapa?" tanyanya datar.

"Dhira ingin diskusi sebentar, Bang," pintaku.

Bang Randi mengangguk. Kami duduk di kursi terdekat.

Aku harus menyampaikan ide yang tiba-tiba saja terlintas di benakku beberapa hari lalu.

"Jadi begini Bang, gimana kalau kita nambah karyawan bagian juru parkir, soalnya beberapa pengunjung sedikit kewalahan kalau parkir sendiri" paparku panjang lebar dan berharap dia menyetujuinya.

"Boleh," jawabnya singkat. 

Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya. Sungguh membuatku dongkol. Setidaknya bukan cuma mengangguk, tapi itu sudah lebih baik bukan? Setelah itu, di antara kami tidak ada obrolan lagi, aku semakin canggung berhadapan dengannya. Saat ini aku membayangkan, seandainya Bang Randi seperti Bang Rizal, pasti suasana diskusi akan berbeda, adiknya itu sangat luwes dan pandai bicara. Pasti kapan pun aku bisa berdiskusi dengannya.

"Bang Ran, eh Dhira!" 

Tiba-tiba aku menoleh ke arah sumber suara. Kenapa orang yang dipikirkan malah muncul sekarang. Bang Rizal tiba-tiba muncul dan ikut bergabung.

Kebetulan ada yang ingin kusampaikan kepadanya juga, kemarin ada satu pelanggan yang ingin mengadakan pesta ulang tahun. Jadi, mereka menerima jasa yang disediakan oleh The Hans. Hal itulah yang ingin kubahas bersama mereka saat ini.

"Ada apa, Bang?" tanyaku kepada Bang Rizal.

"Kebetulan kamu disini. Ini, nih, kalau gak sibuk aku cuma mau belajar sama kamu. Papa yang maksa supaya menggali ilmu yang kamu miliki," jawab Bang Rizal membuka pembicaraan.

Mendengar penuturannya itu, aku sedikit tersanjung lalu tertawa. Pak Rafli ada-ada saja.

"Kebetulan Bang Rizal juga lagi di sini. Kita ada costumer yang tertarik dengan jasa yang The Hans sediakan. Mereka me-request kue ukuran paling besar," ucapku. 

"Kalau membahas itu kamu langsung ke mereka aja, Ra. Aku mana paham hal begituan," ujar Bang Rizal putus asa sampai Bang Randi menatapnya tajam.

"Kalau belum paham ngapain masih keliaran?" hardik Bang Randi dengan ketus.

"Masa gak boleh, sih. Kebetulan aku belum sarapan juga, nih. Jadi, pengen makan di sini. Soalnya nasi gorengnya beuhh favorit banget!" ujar Bang Rizal terus memuji. 

Melihat ulah Bang Rizal yang makin tidak jelas itu membuat Bang Randi muak.

"Dhira. Pemasukan kemarin belum dihitung, sana hitung dulu!" perintah Bang Randi kepadaku.

 Hal ini membuatku harus sibuk sekarang. Entah apa kerja Bang Randi semalam. Pemasukan kemarin masa belum sempat dia kerjakan. Ah. Aku lupa kalau Bang Randi adalah orang super sibuk.

Aku bergegas menuju ruang kasir, kemudian sedikit keheranan karena sudah melihat catatan di sana dengan tulisan yang berbeda. Tidak mungkin para pelayan yang menghitung sendiri, hanya aku dan Bang Randi yang menangani kasir. Apalagi harus menghitung sedetail itu.

Aku kembali dongkol ternyata Bang Randi tadi mengerjaiku. Aku mendudukkan tubuh sebentar, lalu sibuk dengan ponsel. Pandanganku tertuju pada sebuah chat yang baru saja masuk ke WhatsApp. Sebuah chat dari Bang Adnan. Melihat nama itu membuat hatiku kembali merasa perih. Ternyata, luka hatiku belum sembuh juga. Hadeh. Aku menepuk dahi.

Pesan Whatsapp dari Bang Adnan membuatku bertanya-tanya. Apa maksud Bang Adnan mengirim chat lagi? Aku hanya ingin melupakannya, itu saja. Penasaran dengan isi pesannya, aku membuka chat dan melihat sebuah poto undangan yang dia kirim.

Aku memperhatikan tanggal yang tertera di sana, 20 April. Bukankah itu tanggal ulang tahunku dan masih tersisa dua minggu lagi. Tidak masalah, aku tidak memikirkan apapun sekarang selain bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.

Aku memperhatikan lagi foto pre-wedding-nya dengan Mawar yang tampak mewah. Mawar terlihat sangat cantik di sana. Aku mengakui dia memang cantik tapi hatinya sangat licik. 

Tidak ingin berlama-lama dengan ponsel, aku kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan, mengelap meja dan membetulkan posisi kursi. Setelah itu mencoret-coret sesuatu di kertas untuk menghitung pesanan pelanggan saat merayakan ulang tahun putrinya nanti.

Menjelang Ashar, Zahra kembali datang untuk memesan segelas jus jeruk. Kemudian duduk sambil menunggu kafe tutup di pojokan sana. Lebih tepatnya, Zahra datang hanya untuk menumpang WiFi. sungguh alasan yang kurang logis. Aku mengantarkan pesanan lalu duduk di depannya.

"Emang kamu gak punya kerjaan, Ra? Masa setiap hari nongkrong di sini?" omelku sebagai sambutannya, dia malah menggedikkan bahu. 

"Boring di rumah mulu, Dhi. Kalau di sini enak, bisa sambil main WiFi," jawabnya masih dengan pandangan lurus ke depan. Entah apa yang diperhatikannya. 

Kali ini Zahra memilih di lantai dua,. Walau sedikit kesusahan menaiki tangga, dia tetap kekeuh juga karena pemandangannya memang indah, apalagi saat senja nanti. Aku sangat jarang ke lantai dua. Hanya sesekali saja. Kemudian, aku memperhatikan orang-orang yang duduk di sana, ada Bang Randi yang sedang mengobrol bersama Kak Rena dan juga Bang Rizal. 

"Tante dan om gak keberatan kamu kesini mulu, Ra?"

"Malah mereka menyuruhku ke sini, dari pada mengurung diri di kamar," jawabnya santai. 

"Bagaimana di butik?"

"Alhamdulillah masih seperti biasa. Kata Mama mungkin perlu nambah karyawan lagi, soalnya aku gak dibolehin terlalu capek."

Aku mengangguk paham. 

"Kamu sendiri gimana?"

Seharusnya dia tidak perlu bertanya, karena setiap hari selalu menghabiskan waktu di kafe. Bahkan, setiap inci pekerjaanku Zahra sudah paham betul.

"Alhamdulillah, selalu ada peningkatan. Apalagi sejak kemarin aku telah mengedit kupon yang akan dibagikan pada pelanggan yang setiap pembeliannya minimal 200 ribu.

"Aku gak dapat kupon? Kan pelanggan tetap," tanya Zahra kolokan.

Aku memutar bola mata dengan jengah.

"Walaupun pelanggan tetap, tapi kamu cuma mesan jus jeruk sama kentang goreng, mana dapet," omelku lebih keras. 

Zahra tertawa.

"Oh ya, Ra. Kamu percaya gak kalau Bang Adnan ngirim chat?" pancingku kepada Zahra.

Zahra yang tadinya tertawa kini menatapku tajam.

"Jangan bilang kamu respon, ya!" ujarnya seolah mengintrogasi. 

"Mana ada, lah. Aku udah gak mood lagi untuk meladeninya," jawabku ketus.

"Dia bilang apa?" Zahra penasaran juga.

"Cuma ngirim foto undangan pernikahan. Apa maksudnya coba?" rutukku.

"Idih. Nyebelin banget! Benar-benar gak punya otak tuh Bang Adnan. Herman deh! Heran banget. Maunya apa sih, dia?” ujar Zahra dongkol.

"Lagian, aku sudah sekuat tenaga untuk melupakan semua yang berkaitan dengannya. Jadi sekarang tuh aku fokus kerja ngumpulin duit banyak-banyak," ucapku dengan gagahnya yang disambut Zahra dengan mengacungkan kedua jempolnya.

"Nah, gitu dong! Ini baru Dhira-ku. Mantap banget!" Zahra tampak senang melihat semangatku dan mengira aku sudah pulih, sudah bisa melupakan Bang Adnan. Hanya saja aku mencoba memaksakan diri melupakan segalanya.

Saat kami asyik mengobrol, Putra mendekatiku.

"Kak, ada yang nyariin!" ujarnya.

 Aku segera bangkit. Mungkin saja pelanggan atau siapa pun karena aku banyak membuat janji dengan beberapa pelanggan. Sehingga sering berhadapan dengan banyak orang. Terutama untuk membahas persiapan acara ulang tahun seminggu lagi.

Aku harus pamit pada Zahra, ada kesibukan mendadak sekarang. Namun, saat hendak berbalik, aku mematung melihat siapa yang berdiri di depanku. Aku bahkan tidak berkedip menatap pria itu, lalu berjalan ke arahnya.

"Bang Leo? Ini Bang Leo, kan?" 

Aku bahkan mengusap rambutnya dan memegang dagunya, masih tidak percaya kalau pria yang berdiri adalah Abangku.

Bang Leo terlihat tampan dengan gaya rambut barunya yang sudah dipotong pendek. Kumisnya juga sudah dicukur habis. Semakin gagah dengan kemeja panjang kotak-kotak. Bang Leo tersenyum membuatku menganga tidak percaya. Sejak kecil Bang Leo memang paling tampan di antara anak lelaki Ayah dan Emak. Bahkan, sekarang pun dia masih terlihat tampan walaupun sedikit kurus.

"Ra, kamu percaya gak kalau ini Bang Leo?" tanyaku kepada Zahra.

Bukannya menjawab, ternyata Zahra masih menatap Bang Leo tanpa berkedip.

"Gantengnya calon jodohku," gumamnya pelan, dan masih sempat kudengar.

Aku menyuruh Bang Leo duduk di sampingku. Bahkan aku harus menyikut tangan Zahra yang enggan memalingkan tatapannya ke bang Leo.

"Ra, matanya tolong dikondisikan, ya," sindirku. Zahra langsung merasa malu usai tertangkap basah.

"Maaf, Dek. Duitmu, Abang pinjam dulu, ya," ujar Bang Leo tampak tidak enak hati. Aku langsung menggeleng cepat.

"Jangan ngomong gitu, Bang. Gak apa-apa, bener, deh, yang penting itu Bang Leo mau berubah, itu saja sudah cukup bagi Dhira. Aku senang lihat Abang seperti ini," ucapku sambil tersenyum bangga. 

"Oh, ya, omong-omong Bang Leo mau mesan apa nih? Zahra yang traktir, ya, " tawar Zahra sehingga aku menatapnya penuh selidik.

 Aku menatap Zahra penuh selidik. Ini pasti ada sesuatu yang terselubung.

"Benar nih, Zahra traktir? Soalnya aku gak bisa nolak yang gratis," kelakar Bang Leo. 

Perkataan Bang Leo malah membuat Zahra salting. Salah tingkah. Apalagi Zahra ditatap seperti itu.

"Pesan aja Bang, Zahra punya banyak duit, kok," kata Zahra lagi.

"Apa saja, ya yang penting gratis, kan?" canda Bang Leo lagi.

Sejak tadi aku sedikit terganggu dengan perubahan sikap Zahra yang mendadak duduk manis. Dia juga sering kali menatap wajahnya lewat layar HP. Aih, pasti bermaksud modus pada Bang Leo. Aku juga tertawa dalam hati ketika tidak sedikit pun Bang Leo menatap ke arahnya saking sibuk mengobrol denganku.

"Dhira!"

 Panggilan itu mengagetkanku. Saat aku menoleh ke belakang, ternyata ada Kak Rena dan Bang Rizal di sana.

"Eh, maaf. Ada apa, Kak?" tanyaku penasaran. Mereka menatap menyelidik ke arah Bang Leo. Sadar akan suatu hal, Bang Leo juga berdiri. 

"Perkenalkan saya Leo, abangnya Dhira," ujar Bang Leo sambil mengangguk dan tersenyum setelah selesai berkenalan. 

Kak Rena menutup mulutnya tidak percaya.

"Kamu punya Abang sekeren ini, Dek!" ucap Kak Rena.

Aku sontak tertawa. Orang secantik Kak Rena saja memuji Bang Leo.

"Banyak yang gak ngira, sih, Kak, karena memang kami sama sekali gak ada kemiripan," jawabku menjelaskan. 

"Salam kenal, Bang. Aku Rizal," ujar Rizal sambil mengulurkan tangannya mengajak Bang Leo bersalaman. 

Uluran tangan Bang Rizal diambut ramah oleh Bang Leo.

Mereka akhirnya bergabung di meja kami, sementara Bang Randi terlihat duduk sendirian tanpa ada niatan bergabung. Mereka mengobrol banyak hal dan tampak lekas akrab meski baru kenal. Kemudian, muncul Mala bersama seorang pria yang kuyakini adalah ayahnya

"Wah! om ganteng ini siapa?" tanya Mala penasaran sambil menatap Bang Leo.

"Ini abangnya tante,” kataku.

“Gimana, ganteng, kan?" tanyaku seolah meminta persetujuan gadis kecil itu.

"Iya, ganteng. Sama kayak Om Randi, tapi Om Randi cuek. Kalau Om Leo kayaknya ramah. Mudah senyum," ujar Mala. Kami pun sama-sama terkekeh sambil menatap Bang Randi yang masih fokus dengan buku di tangannya.

Mereka mengobrol banyak hal, sementara aku pamit untuk bekerja. Tidak sengaja pandanganku tertuju pada Zahra yang sejak tadi senyam-senyum terus menatap Bang Leo. Selalu seperti itu. Dulu saat menatap Bang Rizal, Zahra tidak absen tebar pesona. Sekarang tebar pesona lagi ke Bang Leo. Aku cuma tersenyum melihat Zahra yang tidak bisa menahan pandangan kalau lihat yang bening-bening.

 Zahra pernah bilang kalau antara Bang Randi dan Bang Rizal lebih ganteng Bang Randi. Hanya saja Bang Randi kelewat cuek, jadi gantengnya berkurang. (*)

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
426      193     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...
Darah Dibalas Dara
619      351     0     
Romance
Kematian Bapak yang disebabkan permainan Adu Doro membuat Dara hidup dengan dihantui trauma masa lalu. Dara yang dahulu dikenal sebagai pribadi periang yang bercita-cita menjadi dokter hewan telah merelakan mimpinya terbang jauh layaknya merpati. Kini Dara hanya ingin hidup damai tanpa ada merpati dan kebahagiaan yang tiada arti. Namun tiba-tiba Zaki datang memberikan kebahagiaan yang tidak pe...
Sebelah Hati
830      596     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Suara yang Tak Pernah Didengar
331      203     9     
Inspirational
Semua berawal dari satu malam yang sunyi—sampai jeritan itu memecahnya. Aku berlari turun, dan menemukan hidupku tak akan pernah sama lagi. Ibu tergeletak bersimbah darah. Ayah mematung, menggenggam palu. Orang-orang menyebutnya tragedi. Tapi bagiku, itu hanya puncak dari luka-luka yang tak pernah kami bicarakan. Tentang kehilangan yang perlahan membunuh jiwa. Tentang rumah yang semakin sunyi. ...
Monologue
522      352     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Trying Other People's World
134      118     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Langkah yang Tak Diizinkan
162      138     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Paint of Pain
882      644     29     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
FaraDigma
841      485     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...