Tidak terasa, sudah hampir dua tahun aku bekerja di Toko The Hans Bakery. Toko kue ini berkembang amat pesat. Banyak yang memberikan testimoni kalau kue dari The Hans sangat enak dan tersedia banyak pilihan kue yang diinginkan dengan harga terjangkau.
Dari situ jugalah anak-anak sekolah dan kuliahan banyak menjadikan kue dari The Hans sebagai snack favorit mereka. Tentunya, aku sangat bersyukur dengan kemajuan ini. Apalagi, kami termasuk karyawan pertama sejak saat buka dan hingga sekarang sudah akan membuka cabang lagi, Bang Adnan dipercaya mengelola cabang itu.
Sejak dua tahun ini juga aku merasa kondisi kebutuhan keuangan selalu terpenuhi. Walaupun Mawar sering merengek meminta uang, dari gaji itu aku selalu bisa memberikan kepadanya tanpa harus berpikir panjang. Selama ini juga aku memilih ngekost di dekat toko. Jika libur, barulah aku pulang ke rumah. Sebenarnya, mereka tidak mengizinkanku kost karena tidak ada yang memasak juga membereskan rumah. Akan tetapi, aku tetap ngotot pada pilihanku untuk ngekost.
Hari ini aku berencana pulang setelah kami mendapat info bahwa besok The Hans Bakery akan tutup karena Pak Rafli dan keluarga ada acara. Begitu Beliau sampaikan info tersebut di grup WhatsApp. Aku turun dari angkot dan berjalan santai memasuki rumah sambil menenteng kresek yang berisi beberapa kue untuk keluarga.
Saat datang di rumah, ternyata mereka tengah berkumpul di ruang tamu. Kulihat ada Emak, Ayah, Mawar, Kak Nisa dan Bang Munar. Begitu melihatku yang baru pulang mereka menyuruhku agar duduk.
"Cuma karyawan biasa, sok-sokan mau ngekos segala. Padahal, dari rumah cuma lima belas menitan naik motor," sindir Kak Nisa terang-terangan.
Aku memilih diam dan tidak merespon ucapannya. Semakin dewasa semakin sadar untuk tidak perlu mengurusi hal-hal yang tidak penting, aku akan pura-pura saja seolah tidak mendengar.
Di luar dugaan dan tidak biasanya tiba-tiba Emak membentak Kak Nisa.
"Diamlah Nisa! Dia masih capek baru pulang dari kerja!" ujar Emak membelaku.
Jujur saja saat itu aku ingin berteriak saking senangnya karena Emak membelaku dan kulihat Kak Nisa tidak bisa berkata apa-apa, lalu menatapku sinis.
"Nak, ada yang mau Emak bilang," kata Emak dengan suaranya yang lembut.
Mau tak mau aku fokus menajamkan pendengaran. Aku penasaran hal penting apa yang ingin Emak sampaikan.
"Kenapa, Mak?" tanyaku penasaran.
"Gini, Nak. Sebulan lagi Mawar akan PKL. Jadi, dia butuh biaya. Agar bisa ikut, Emak harap kamu bisa membantunya ya, Nak."
Emak tampak memohon. Seketika kulirik Mawar yang malah sibuk dengan ponselnya. Tentu saja aku geram karena semakin lama dia semakin tidak punya adab saat berkumpul bersama keluarga.
"Berapa, Mak?" tanyaku.
"Katanya lima juta," jawab Emak lugas menyebutkan nominal yang dibutuhkan oleh Mawar.
Aku tercekat. Dapat dari mana uang sebanyak itu, gajiku perbulannya masih dibawah nominal itu, sementara pengeluaran setiap harinya selalu untuk Mawar yang terus meminta tiada henti sampai tabunganku habis.
"Kapan terakhir?" tanyaku pada Mawar.
"Dalam dua minggu ini sudah harus lunas," jawabnya cuek. Melihat responnya seperti itu aku sungguh ingin marah, tetapi mengingat Emak yang memohon, menjadi tidak tega rasanya. Aku hanya berpikir, tidak apalah toh uang itu untuk keperluan kuliah juga.
Dua hari lagi aku akan gajian dan aku sudah siap mental. Berusaha ikhlas. Semua uang hasil kerja kerasku harus kuikhlaskan melayang ke tangan Mawar. Aku merebahkan tubuh yang sangat penat. Saking banyak pikiran sehingga tidak sempat sekedar memenuhi keinginan diri sendiri. Ternyata, aku masih seperti dulu, tidak ada perubahan sama sekali.
***
Aku berkutat dengan alat-alat memasak di dapur. Setelah sekian lama ngekost. Saat kembali ke rumah, aku dihadapkan dengan kebiasaan lama, yaitu memasak untuk seluruh anggota keluarga.
"Kak Dhira!" Aku melongok ke arah Mawar yang baru datang ke dapur.
"Kenapa?"
"Masa gak dengar sih. Aku udah tiga kali panggil, lho!" ujarnya kesal.
Mawar sebagai adik perempuan seharusnya lebih paham kondisiku. Namun, dia masih menanyakan hal itu. Lagi pula aku sangat sibuk memblender sehingga suaranya makin bising.
"Aku sibuk jadi gak dengar."
"Memang kamunya aja yang gak bisa dengar" ujarnya dengan emosi.
Aku terhenyak mendengar perkataannya yang penuh penghinaan, tetapi mencoba bersabar. Sebagai adik, harusnya dia paham dengan kondisiku.
"Kenapa?"
"Aku minta duit dong, Kak. Mau beli kuota?" Raut wajahnya memelas, beda sekali saat dia menghina tadi.
"Belum ada uang kalau sekarang."
"Pelit amat, dah. Ya udah aku pakai hotspot-mu saja."
Dia pun mengambil paksa ponselku dan mengotak-atik sesukanya. Aku memang tidak mengunci ponsel karena menurutku tidak ada yang mau dirahasiakan di sana.
Aku kembali sibuk memasak sementara Mawar sibuk dengan ponselnya.
***
Selama libur aku ingin menghabiskan waktu bersama Zahra. Kami sudah jarang sekali berkumpul sebab kesibukan masing-masing. Zahra telah membuka toko pakaian sendiri dan sudah memilih berhenti sebagai atlet. Apapun keputusannya, orang tua dan semua keluarga sangat mendukung.
Tepat di depan toko pakaian Zahra Collection, aku turun dari angkot. Kulihat karyawannya sedang sibuk melayani pembeli. Merasa akrab, aku langsung masuk ke kamarnya yang dia gunakan untuk ruang menjahit.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Ehh, kok gak bilang-bilang. Tahu-tahu udah sampai aja. Padahal, aku bisa jemput kamu, loh," ujar Zahra heboh. Bahkan, sempat bangkit dari duduknya hanya untuk menyambutku.
"Kan, kamu sibuk, Ra. Lagian gak apa, loh. Aku udah di sini," jawabku dengan riang.
Seperti biasa pasti kami akan mengobrol banyak hal sampai ke pembicaraan tentang Bang Adnan.
"Bang Adnan beneran gak kenal sama kamu?" tanya Zahra heran.
Aku menggeleng. Sangat yakin dia seperti tidak pernah mengenalku sebelumnya. Buatku tidak masalah.
"Wajar sih, wong jelek gini mana perlu buat dia kenal," jawabku seadanya.
"Aww!" Aku meringis karena mendapat jitakan dari Zahra. Ternyata, Zahra memiliki kebiasaan baru yaitu suka menjitak sembarangan.
"Jangan suka merendah gitu. Sudah sering aku bilang," kata Zahra menasehati.
Aku hanya nyengir lebar.
"Tapi sekarang kami berdua yang menanggungjawabi cabang yang baru buka," kataku mengabarkan hal baru. .
"Uhhh, so sweet," teriak Zahra makin heboh.
Aku merasa terhibur saat bersama Zahra, bagaimanapun konyolnya tingkah kami.
Obrolan yang tiada henti terus berlanjut hingga kemudian tiba-tiba dia mengukur badanku. Katanya mau menjahitkan baju untukku. Masya Allah bagaimana tidak senang, coba?
Aku pernah berkata kepadanya bahwa untuknya aku belum bisa memberi apa-apa. Jawaban Zahra itu membuatku hampir menangis.
"Kalau kamu mau memberi barang, mungkin kamu juga tahu kalau aku bisa membeli barang itu sendiri. Tapi, aku tidak ingin kamu mengeluarkan uang hanya ingin membeli barang untukku. Bagiku cukup kamu bersedia menjadi sahabatku, itu sangatlah bernilai."
Aku memeluknya erat. Kami pun berpelukan bak teletubbies.
"Oh ya, kita jalan-jalan dulu. Kamu gak tergesa-gesa pulang, kan?"
Aku menggeleng, padahal untuk jalan-jalan tidak ada dalam rencana kami sebelumnya. Namun, tidak masalah hutang-hitung membuang penat dan suntuk.
Dia berdandan sejenak, merapikan pakaiannya dan kami langsung pergi.
"Kita kemana, nih?" tanyaku penasaran.
"Nanti juga kamu tau, kok," Zahra berteka-teki membuatku makin penasaran.
Aku tidak bertanya lagi. Suasana di mobil tak akan pernah hening, apalagi obrolan kami tiada hentinya hingga tanpa terasa tibalah kami di depan sebuah rumah sakit. Zahra lalu memarkirkan mobilnya.
"Kamu sakit, Ra?" tanyaku panik, padahal aku melihat dia baik-baik saja.
Dia langsung menggeleng, terus untuk apa ke sini?
Tidak membiarkanku membuka suara, langsung mengajakku masuk ke rumah sakit itu. Kami melewati lorong-lorongnya dan berhenti tepat di depan sebuah ruangan bertuliskan dokter THT. Tentu saja aku bingung.
"Kita periksa telingamu, ya," ujarnya membuatku terdiam. Sebenarnya sudah lama aku ingin memeriksakan telinga ke dokter THT, tetapi uangnya selalu harus melayang ke tangan Mawar.
"Tapi aku gak bawa uang loh, Ra," jawabku ragu.
Tentu saja aku panik, bahkan sepeser pun tidak ada lagi pegangan, uang sekarang setelah seluruh gajiku diberikan kepada Mawar untuk membiayai PKL-nya.
"Jangan hiraukan soal biaya. Ya udah, ayo masuk!" ajak Zahra.
Dengan berat, aku langkahkan kaki memasuki ruangan mengekor kemana Zahra masuk. Ternyata dokternya juga menunggu kedatangan kami.
"Kalian sudah sampai, Nak?"
"Sudah, Tante," jawab Zahra.
Sungguh ini kejutan yang luar biasa dari sahabatku. Aku dikenalkan dengan dokter Nabila yang ternyata familynya Zahra.
Setelah wawancara singkat, dokter Nabila perlahan memeriksa telingaku. Sejujurnya aku sangat panik. Zahra yang duduk di sampingku memahaminya. Memegang tanganku untuk memberi kekuatan.
"Tidak ada pilihan lain kalau tidak bisa operasi mungkin pakai alat bantu dengar," jawab dokter.
"Kalau alat bantu dengar itu harganya berapa, Dok?" tanyaku hati-hati sambil tidak siap mendengarnya.
"Wah, itu lumayan, tapi untuk Nak Dhira, ada harga khusus," kata dokter lagi.
Walaupun aku tidak mengerti maksudnya, tetapi Dokter Nabila tetap tersenyum karena melihat Zahra yang dari tadi tersenyum.
***
"Ra, kenapa mesti beli ini, kan harganya mahal. Nantinya aku pasti bakalan susah buat balikinnya ke kamu," tanyaku sedikit kesal.
Aku seringkali kesal dengan Zahra karena sering bertindak tanpa meminta persetujuanku.
"Sudahlah, Dhi. Aku senang bisa membantu," jawabnya kalem.
"Tapi aku selalu merepotkanmu, Ra," ujarku merasa tidak enak hati.
"Aku gak direpotkan, kok. Dengar, Dhi. Kamu itu sahabatku. Apapun yang kamu perlukan, kalau bisa terpenuhi, tidak ada salahnya aku bantu. Mungkin ini balasan karena kamu dulu sering membantuku waktu di pesantren dulu," jawab Zahra yang merasa berhutang budi denganku.
Aku teringat saat di pesantren dulu, Zahra selalu diejek, dihina sebagai anak cacat oleh semua orang, tetapi dengan keberanian yang kumiliki aku mengancam mereka. Aku membantunya berdiri dan menenangkan kala dia menangis, bahkan Zahra pernah ingin berhenti karena tidak kuat selalu jadi bahan cemoohan. Akan tetapi, aku selalu memberinya motivasi dan kekuatan.
"Tabunganmu gimana?"
"Jangan hiraukan apapun, Dhira. Uang bisa dicari, tetapi sahabat sejati takkan pernah ditemukan lagi."
Perkataan bijak Zahra membuatku tersenyum lebar. Sekali lagi aku memeluknya sangat erat.
"Aku juga makin gak enak kalau banyak yang bilang aku bersahabat denganmu karena ingin memanfaatkan hartamu," kataku seolah merajuk.
"Jangan dengarkan, kalau nyatanya tidak begitu, Dhi," pinta Zahra arif.
Aku tidak bisa menahan air mata. Aku memang cengeng dan untuk hal-hal seperti ini malah lebih cengeng lagi.
"Kuyy makan, lapar banget, loh," ucap Zahra.
"Kali ini aku yang traktir dan tidak boleh ada penolakan," paksaku membuatnya tertawa. Kami pun sama-sama tertawa. Bahagianya punya sahabat sebaik Zahra. Meski dari keluarga kaya, dia sangat baik hati dan tidak sombong.
***