"Kamu pikir hidup ini seperti Ejaan Yang Disempurnakan? Tidak ada yang sempurna, kita semua hanya draft yang terus direvisi".
***
Aroma petrichor menghentikan langkah seorang gadis yang berpenampilan biasa saja, menggendong ransel hitam tanggungnya, dengan tangan kanan memegang ponselnya. Ia menghela napas pelan, kemudian menengadahkan wajah bulat yang sedikit lonjong itu untuk mengamati perubahan langit yang tiba-tiba.
“Shiaa, tungguu!” ucapan itu terdengar tak jauh dari gadis yang sedang mengisap dalam-dalam aroma petrichor yang menghentikan langkahnya. Teriakan itu semakin terdengar, ia mendengus pelan dan berjalan lagi karena namanya dipanggil.
Tiba-tiba, “Aww!!” desah seorang gadis bertubuh kurus dengan tinggi melebihi Shia yang menabrak punggungnya saat ia kembali menghentikan melangkah. Aroma petrichor itu sangat kuat.
“Kenapa tiba-tiba berhenti, sih!” Protes gadis bertubuh kurus itu, membenarkan posisi totebag di tangan kirinya dan tumblr di tangan kanannya.
“Lagian kenapa kamu lari-lari?” Ganti Shia yang protes.
Gadis bertubuh kurus itu hanya nyengir, kemudian menyamai langkah Shia yang semakin cepat.
“Shia, Nora! Duluan yaa!” Sapa seseorang yang mereka kenal sebagai teman sekelas. Shia menanggapi dengan mengangguk, sedangkan Nora seperti biasa menanggapi dengan heboh, “Hati-hatii, banyak motor lo di jalan!! Haha” ucapnya sembari tertawa renyah.
Mendapati Shia meninggalkan dirinya, ia pun protes, “Kenapa cepet-cepet sih, jalannya.”
“Keburu hujan”
“Mana ada hujan? Masih panas ini.”
Shia, gadis yang mencium aroma petrichor yang semakin kuat itu tak memedulikan ucapan Nora dan semakin mempercepat langkah. Angin tiba-tiba berembus kencang, dan awan mendung berjalan mendekat.
“Baunya mau hujan ini.” Ucap Shia agar gadis itu melangkah lebih cepat keluar area gedung. Tak lama, rintik hujan membuat jejak di jalanan berpaving. Perjalanan dari gedung ke parkiran samping maskam (masjid kampus) lumayan jauh, tidak bisa ditempuh dalam waktu dua menit kecuali mereka berlari dan menabrak orang-orang yang berjalan ke arah gedung atau yang bersamaan dengan mereka berjalan ke arah parkiran. Pepohonan yang semula tenang, kini bergoyang tanpa irama membasahi gedung FIB berasitektur modernitas dan tradisional Jawa itu.
“Yaa! Hidung kamu sensitif banget soal hujan.” Gadis itu berlari mendahului Shia yang bukannya mempercepat langkahnya malah memelankan langkah.
Shia memindahkan tasnya ke depan, membuka resleting, memasukkan ponselnnya, dan mengeluarkan payung kecil berwarna ungu. Ia membuka payung itu dan berjalan kembali ke arah parkiran dengan tenang.
“Kenapa nggak bilang kalau bawa payung!!” Teriak Nora yang sudah berjarak beberapa meter di depannya. Shia hanya tertawa, menertawai temannya yang berlari ke arahnya untuk ikut berlindung di bawah payung kecil itu
Tak lama, mereka sampai di parkiran. Hujan belum menunjukkan akan turun dengan deras. Titik demi titik mulai terbentuk secara perlahan. Shia langsung menutup payungnya, memasukkannya ke dalam jog motor dan menukarnya dengan jas hujan model gamis hijau army kesayangannya. Dengan sat set ia sudah mengenakan mantel, mengenakan helm, dan siap untuk menyalakan motornya. Tetapi, di sudut lain di bawah pohon samping pintu keluar, ia melihat Nora yang baru mengambil mantel dari jog motornya, mantel celana dan atasan yang perlu waktu untuk mengenakannya. Di mata Shia, sudah seperti adegan slow motion, tetapi hujannya tidak mengikuti.
Ia pun menyalakan motornya dan mendekat ke arah pintu keluar parkiran.
“Aku duluan deh, ya!” Ucapnya saat sampai tak jauh dari tempat parkir Nora.
Nora baru memasukkan tangan kanannya ke mantel, “Hee tungguuin!”.
Shia pun melajukan motornya berpindah posisi agar tidak menutupi pintu keluar parkiran. Ia menunggu Nora dan mengamatinya dari spion, hujan semakin intens turun dan tak sekecil tadi. Kali ini, Shia menghela napas kasar mendapati lagi-lagi Nora tidak sat set seperti dirinya.
Nora pun sudah selesai mengenakan mantel dan sudah menaiki motornya. Shia langsung melajukan motornya meski Nora belum keluar parkiran. Mereka berdua meninggalkan area kampus UGM yang mulai basah karena hujan turun bersama angin yang tak selaras. Mereka keluar area kampus dan berpisah di bundaran UGM. Shia lurus terus, Nora belok ke kanan. Kos mereka berjauhan, Nora daerah Jalan Kaliurang tak jauh dari UGM, sedangkan Shia kos daerah Bantul dan memakan waktu tempuh kurang lebih 30 menit.
Hal yang membuat Shia mempertanyakan ke Nora kenapa mereka harus keluar parkiran bersama, padahal arah pulang mereka berbeda. Nora tidak memberi jawaban jelas, intinya Shia tidak boleh keluar kampus sendirian. Meski begitu, Shia juga tidak menolak. Kalau kata Nora, "Kita itu seperti Alofon, Shia. Meski isi otak kita berbeda-beda, tapi tetap bagian dari fonem yang sama".
Shia mengendarai motornya semakin cepat setelah menyebrang bundaran UGM. Ia hanya punya waktu satu jam untuk kembali berkutat dengan pekerjaan. Jika perjalanan 30 menit karena hujan dan pastinya macet di jalan paralayang Lempuyangan, maka ia hanya punya waktu 15 menit untuk berganti baju, karena 15 menit sisanya harus ia tempuh untuk sampai ke tempat ia mengajar les.
***
“Selamat sore, Bu Shiaaa!” Sapa anak-anak yang berpapasan dengannya sepanjang lorong ia berjalan ke ruang kelas yang berada paling ujung.
“Buuu, lihat Arkan, Buu!!” Teriak siswanya yang sudah tampak di matanya sedang berulah seperti biasa.
Shiaa hanya menggeleng dan memasuki kelas ber-AC. Rasa dingin makin menyiksa tubuhnya karena perjalanan ditemani hujan.
Beberapa siswa bimbingannya sudah ada di dalam kelas dan asik bercerita. Shia melepaskan masker yang ia kenakan, dan melengkungkan senyum yang harus dilihat siswanya.
Ini adalah saatnya Shia untuk switch dirinya ke mode Shia sebagai pengajar. Bukan Shia sebagai mahasiswa S2. Siapa pun yang mengenalnya dekat, bisa dikatakan dua kepribadiannya ini biasa saja, tapi bagi mereka yang hanya mengenal Shia di kampus, akan terkejut melihat kepribadian Shia sebagai pengajar, begitu sebaliknya.
Kepribadian Shia sudah seperti code switching dalam Linguistik yang bisa kapan pun berubah dalam satu kondisi. Bagi Shia, memposisikan diri sebagai pengajar adalah hal yang penting dan harus ia bedakan dengan posisinya sebagai pelajar yang tidak bisa sembarangan.
“Buuu, Ihsaan berkata kasar!!” teriak Arkan yang sejak tadi bergelut candaan dengan Ihsan.
“Mas Ihsann..” Ucap Shia dengan intonasi memanggil tanpa menatap ke arah yang bersangkutan karena sedang mempersiapkan alat perang untuk mengajar.
“Bukan, Buu. Arkan ini bikin gara-gara. Kamu nih anjir!” Bela Ishan.
“Lhoo buu, SPO plus misuh, Buu..” Adu Arkan.
Shia yang masih menyiapkan alat perang itu pun akhirnya menatap ke arah yang bersangkutan, “Aturannya tu SPO plus K loh, Mas. Bukan SPO plus M alias misuh.”
Mendengar ucapan Shia seisi kelas tertawa. Peraturan di kelas Shia adalah tidak boleh menambah kalimat SPO selain dengan keterangan waktu, tempat, atau suasana. Ia menyoroti perilaku anak-anak sekarang yang sering menambahkan kata-kata kasar di belakang kalimat yang mereka ucapkan. Meski niatnya bukan untuk bicara kasar, tapi ucapan itu bagi Shia tidak perlu diucapkan dan bukan perkataan yang perlu diucapkan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.15 WIB, sebagian siswanya sudah memenuhi ruangan. Kelas pun ia mulai.
***
Matahari sudah tak tampak di langit. Tugasnya sudah berganti dengan rembulan meski tak bisa juga tampak karena tertutupi oleh awan gelap. Shia berjalan keluar kelas setelah menutup kelasnya. Ia melihat jam tangan silver di tangan kirinya yang sudah menunjukkan pukul 20.05. Selesai sudah dua kelas yang diampunya hari ini.
“Bu Shia!” Panggil seorang wanita bertubuh gempal yang berlari kecil menyusulnya. Wanita itu adalah admin bimbel yang cukup akrab dengan Shia.
“Makan, Ibu.” Ucapnya saat sudah mendekat sembari menunjukkan kantong kresek putih berisi makanan.
Shia menerimanya dengan tersenyum meski ia sudah mengenakan masker dan tak terlihat oleh wanita itu. Tapi, senyuman Shia masih bisa terlihat melalui matanya.
“Hati-hati, nggih, Bu.” Ucap wanita itu.
Saat sudah berpamitan, Shia baru teringat sesuatu, “Mba Dini!” Panggil Shia kepada wanita yang memberinya makanan. Ia berganti yang berjalan mendekat.
“Jadwal libur saya hari Sabtu aman, kan, Mbak? Sudah ada penggantinya?”
“Oh, aman, Bu. Sudah saya carikan pengganti. Hanya Sabtu saja to, Bu? Besok masuk, lho.” Jawabnya dengan medok Jawanya.
Shia tertawa mengiyakan kemudian berpamitan lagi dan menuju parkiran. Awan tak lagi menjatuhkan diri untuk membasahi bumi. Mungkin ia sudah lelah, selelah Shia yang sudah berkutat sejak Ashar dan baru selesai melebihi jadwal Isya.
Shia pun harus bergegas pulang, karena setelah ini masih banyak hal yang harus ia lakukan.
Sesampainya di kos, Shia membuka laptop dan juga tabletnya. Perjalanan memakan waktu lima menit lebih lama sehingga ia baru sampai kos pukul 20.35. Kedua perangkat perangnya pun sudah terbuka. Ia mengambil tabletnya dulu untuk menceklis jadwal harian yang sudah terlaksana. Baru kemudian ia beralih ke laptopnya karena ada tiga hal yang harus ia selesaikan sebelum pukul 23.00 yakni membuat materi mengajar untuk besok, mengoreksi artikel jurnal yang akan ia submit besok, dan belajar mata kuliah Linguistik Kognitif dengan jumlah halaman buku sebanyak lebih dari 150 halaman yang akan diujikan besok siang.
Shia meletakkan ponselnya tak jauh darinya sambil mengisi daya karena tinggal 20%. Sembari mencari materi, ia membuka nasi kotak yang diberikan Dini untuk makan malamnya itu. Tangannya dengan sigap membuka nasi kotak. Ia berdiri untuk mencuci tangan dan melepaskan kontak lensa yang sudah ia pakai lebih dari 8 jam itu. Ia pun beralih mengambil kacamata hitam dengan bingkai kaca setengah lingkaran. Duduk di depan laptop dan nasi kotak.
Ia meraih tabletnya untuk membuka channel youtube untuk menonton podcast. Namun, sepertinya lebih tepat untuk mendengarkan podcast meski dalam bentuk vidio. Karena tablet itu tidak akan di tatap Shia kecuali suaranya yang akan ia tangkap oleh indera pendengarannya. Matanya akan fokus ke laptop yang berisikan materi-materi yang siap dipilih untuk diajarkan besok.
Dengan suara podcaster yang sudah tak asing di telinganya, ia menyendok makanan dengan tangan kanannya dan memasukkannya ke dalam mulut, kemudian tangan kirinya sibuk memindah-mindah materi dari word ke word yang lain. Pemandangan ini akan sama sampai dua jam setengah ke depan. Semua akan ia lakukan secara bersamaan. Bagi dia, bukan lagi sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, tapi bisa empat sekaligus.
Tak lama, ponselnya menyala menunjukkan ada ponsel masuk. Ponsel itu senyap tanpa suara ataupun getar, karena Shia selalu menggunakan silent mode. Kebiasaannya ini kadang membuat jengkel orang-orang karena tidak fast respons.
Tangan kirinya menggeser layar jawab dan menyalakan loudspeaker agar ia tidak perlu memegangi ponselnya.
“Shii, Shiya, di mana??” Suara di seberang yang tak asing dan baru berpisah beberapa jam lalu.
“Di kos, kenapa?” Jawab Shia sambil mengunyah makanannya.
“Kamu lagi makan? Jam segini baru makan??!!” Suara itu terdengar semakin melengking.
“Kenapaa, baru sempet makan ini tuh.”
“Kebiasaan telat-telat makan. Ituu Pak Dewani minta dikirimin kerangka buku yang projek akhir semester.”
“Sekarang juga?”
“Ngga, sih. Katanya besok pagi aja tapi jangan siang-siang.”
“Ya, nanti ku kirim ke kamu. Udah, kan?” Jawab Shia santai masih dengan posisi kedua tangan melakukan tugasnya.
Makan malamnya hampir selesai.
“Kok berisik orang ngobrol. Katanya di kos?”
“Hashh, yutub itu, lagi dengerin podcast. Udah-udah, bye!” Jawabnya, tapi tangannya tidak menutup telepon Nora.
“Kamu ga capek apa, Yaa (memanggil Shia bagian suku kata terakhir dan ditambah huruf “Y” menjadi Shiya) Kuliah dari jam 7 terus ngajar, sekarang masih ngerjain entah apa ituu.” Omel Nora yang bahkan ibu Shia tidak pernah mengomelinya seperti itu.
“Asal aku bahagia.” Jawab Shia sekenanya. Malas menanggapi omelan Nora.
“Jangan terus-terusan jadi EYD please!”
“Maksud?”
“Iyaa, EYD! kamu pikir hidup ini seperti Ejaan Yang Disempurnakan? Sampai-sampai semua harus kamu lakukan dengan sempurna! Tidak ada yang sempurna, Ya, kita semua hanya draft yang terus direvisi.”
Tek! Shia mematikan telepon Nora yang belum selesai berkata-kata. Gadis itu pasti sangat kesal. Lagi pula Shia tahu, kok kalau hidup bukan EYD. Tapi, ia tetap harus melakukannya!
Layar ponselnya kembali menyala, sebuah pesan masuk dari grup mata kuliah Metode dan Etika Penelitian membuat ia menghentikan segala aktivitasnya.
From: Pak Dewani Dosen Metopen
Mahasiswa atas nama Shiana Serapina tidak mengumpulkan tugas UTS tepat waktu.
Membaca sebaris kalimat itu membuat Shia membelalakan mata dan langsung meraih ponselnya. Bagaimana bisa?? Bukankah dia yang pertama mengirim di google drive?
Teman-teman sekelasnya pun membalas pesan tersebut dan beberapa memberikan reaksi yang membuat Shia semakin tak habis pikir karena tugasnya tidak ditemukan di goodle drive.
***
#Catatan Istilah:
1. Alofon adalah variasi realisasi fonem yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, tetapi tidak mengubah makna kata.
2. Fonem adalah satuan bunyi terkecil dalam bahasa yang dapat membedakan makna.