Loading...
Logo TinLit
Read Story - Seharusnya Aku Yang Menyerah
MENU
About Us  

Kata orang, menjadi anak bungsu itu menyenangkan. Tak ada yang lebih baik selain menjadi anak terakhir. Semua kasih sayang tertuju pada mereka; hampir semua keinginannya akan terpenuhi tanpa susah payah seperti kakak-kakaknya. Yang paling beruntungnya adalah, anak terakhir bisa pulang ke mana pun ia mau—keluarganya, kakak-kakaknya, akan selalu terbuka untuknya. Tapi aku rasa itu tak berlaku bagiku, karena cerita itu hanya sebuah dongeng pengantar tidur.

Jika aku diberikan kehidupan kedua, mungkin aku akan memilih untuk hidup sebagai pohon kelapa, atau sebagai kucing yang senang bermain di antara bunga dandelion yang mulai berguguran. Itu lebih baik daripada hidup di antara manusia yang tidak menginginkan kehadiranku.

Seharusnya aku menyerah saja, kembali pulang ke pangkuan Sang Ilahi dengan tubuh ringan. Namun aku lupa, pendosa tak akan masuk ke dalam golongan yang mencium surga. Jadi, aku harus bagaimana? Hidup dalam penderitaan, atau menghadapi akhirat yang menyeramkan?

“MUTI!”

Suara teriakan itu membuyarkan semua khayalanku tentang mati dengan tenang. Seorang gadis, berumur lebih tua dariku satu tahun, menghampiri dengan napas tersengal-sengal.

“Pulang, Mut. Bunda dan Ayah cariin kamu,” ujarnya dengan nada tak beraturan. Ia masih mencoba mengatur napasnya.

“Untuk apa? Gak ada artinya juga kehadiranku di rumah itu.”
Sungguh, memang benar, sepasang suami istri itu tak akan mungkin mengkhawatirkanku seperti mereka mengkhawatirkan Asmara—gadis yang kini berdiri di hadapanku ini.

“Kamu gak boleh ngomong gitu, Muti. Kita pulang, ya.”

Aku menarik napas panjang. Mata itu ... seperti bola mata kucing yang ingin segera diadopsi, dan dijamin tak ada satu pun manusia yang tidak terhipnotis dengan tatapannya. Asmara, satu-satunya manusia yang membuatku tak ingin hidup di dunia ini. Bukan hanya karena parasnya yang cantik di balik hijab syar’inya, tapi juga karena prestasinya sebagai seorang hafidzah, yang membuat kedua orang tuaku semakin membanggakan kakak perempuanku itu.

“Muti, kamu—”

“Ya, aku pulang.”

Mengiyakan, atau terus diserbu dengan gelombang suara merdu yang memekakkan telingaku. Aku lebih memilih menuruti perintahnya. Demi apa pun, aku membencinya.

Aku terus merutuk dalam hati sepanjang jalan, tak menghiraukan tatapan beberapa tetangga yang melihatku cemberut di samping Asmara ketika kami memasuki komplek perumahan.

“Kakaknya Masya Allah, adiknya Astaghfirullah.”
“Lihat deh, sekolah di tempat yang sama, tapi pakaiannya beda.”

Apakah mereka lupa kalau aku ini bukan manusia tuli? Atau mereka memang sengaja mencibir, dan berharap aku melayangkan sepatu yang sedang kupakai ini ke wajah jelek mereka secara sengaja?

“Jangan didengerin, Mut. Mereka gak tahu apa-apa tentang kita.”

Aku berhenti berjalan. Entahlah, kenapa tubuhku tak lagi bersemangat untuk melangkah kembali, meski rumah kami sudah terlihat dan hanya tinggal melewati dua rumah lagi. Sadar dengan posisiku saat ini, Asmara ikut menghentikan langkah dan berbalik menatapku.

“Kenapa?” tanya Asmara lembut—yang justru membuat tanganku mengepal erat.

“Kenapa? Kakak tanya kenapa? Seharusnya aku yang tanya: kenapa Kakak selalu berusaha terlihat sempurna? Kenapa?!”
Aku berteriak, emosiku meluap. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi denganku. Mungkin aku memang sudah tak sanggup menahan segala rasa sakit yang mengembang setiap harinya.

Membalas dengan bentakan atau kecaman adalah hal normal yang seharusnya dilakukan Asmara. Namun, aku lihat di balik kacamataku, ia malah tersenyum sampai matanya melengkung sempurna. Aku tidak mengerti.

“Karena hidup ini singkat, Mut. Selagi Allah memberikan nikmat sehat dan umur panjang, aku selalu ingin berbuat baik semampuku.”

“Kayak lo tahu aja kapan waktunya mati.”
Aku mendengus, menggumamkan itu tanpa sadar.

“Aku tahu.”

Mataku membelalak. Telingaku masih normal. Apa katanya? Dia tahu kematiannya?

“Kalau gitu, cepet mati!”
ketusku, lantas kembali melanjutkan perjalanan. Aku tak tahu apa efek dari perkataan sembronoku itu. Yang aku tahu adalah... Asmara adalah sebuah dinding besar yang menyekat antara hidupku dan mata dunia.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
DarkLove 2
1299      619     5     
Romance
DarkLove 2 adalah lanjutan dari kisah cinta yang belum usai antara Clara Pamela, Rain Wijaya, dan Jaenn Wijaya. Kisah cinta yang semakin rumit, membuat para pembaca DarkLove 1 tidak sabar untuk menunggu kedatangan Novel DarkLove 2. Jika dalam DarkLove 1 Clara menjadi milik Rain, apakah pada DarkLove 2 akan tetap sama? atau akan berubah? Simak kelanjutannya disini!!!
Imajinasi si Anak Tengah
1957      1137     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
Love Yourself for A2
26      24     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
Halo Benalu
828      404     0     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
ATMA
322      228     3     
Short Story
"Namaku Atma. Atma Bhrahmadinata, jiwa penolong terbaik untuk menjaga harapan menjadi kenyataan," ATMA a short story created by @nenii_983 ©2020
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
1930      1173     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
The Boy Between the Pages
1152      781     0     
Romance
Aruna Kanissa, mahasiswi pemalu jurusan pendidikan Bahasa Inggris, tak pernah benar-benar ingin menjadi guru. Mimpinya adalah menulis buku anak-anak. Dunia nyatanya membosankan, kecuali saat ia berada di perpustakaantempat di mana ia pertama kali jatuh cinta, lewat surat-surat rahasia yang ia temukan tersembunyi dalam buku Anne of Green Gables. Tapi sang penulis surat menghilang begitu saja, meni...
Liontin Semanggi
1429      869     3     
Inspirational
Binar dan Ersa sama-sama cowok most wanted di sekolah. Mereka terkenal selain karena good looking, juga karena persaingan prestasi merebutkan ranking 1 paralel. Binar itu ramah meski hidupnya tidak mudah. Ersa itu dingin, hatinya dipenuhi dengki pada Binar. Sampai Ersa tidak sengaja melihat kalung dengan liontin Semanggi yang dipakai oleh Binar, sama persis dengan miliknya. Sejak saat...
Tuhan, Inikah Cita-Citaku ?
4175      1716     9     
Inspirational
Kadang kita bingung menghadapi hidup ini, bukan karena banyak masalah saja, namun lebih dari itu sebenarnya apa tujuan Tuhan membuat semua ini ?