Jam sudah menunjukan pukul 18.30, orang-orang di sekitarku terlihat sibuk dengan aktivitas masing-masing. Berbeda denganku, yang hanya duduk sendirian sambil menatap cemas pintu masuk aula tempat pentasku malam ini.
"Kok belum siap-siap, Dek?" Tanya kak Dewi, senior tingkatku.
"Bentar lagi, kak,"
"Nunggu Adrian ?"
"Iya, kak," Jawabku singkat.
Kak Dewi mengangguk paham.
"Oke, tapi cepetan ganti kostum lho,"
"Siap."
Aku menghela nafas berat saat kak Dewi melanjutkan langkahnya, mencoba meredakan rasa sesak yang langsung menyeruak dalam dada.
Sejak 2 jam yang lalu aku menanti, berharap kak Adrian datang dan melihat penampilanku diatas panggung. Ia berjanji akan menemuiku setelah menjemput adik kembarku dari tempat kursus. Namun sepertinya harapan atas kedatangan mereka berdua harus ku enyahkan jauh-jauh mengingat pentas akan dimulai sedangkan mereka tak kunjung menampakan diri.
"Ayo, Ta, buruan! Kita udah gak punya banyak waktu nih !"
Seli menarikku dari bangku dan membuatku hampir terjungkal karena ulahnya.
"Ish,iya iya ! Sabar dikit napa sih," Aku mendengus sembari merapikan pakaianku yang lusuh akibat tarikan Seli.
"Cepetan Cinta, kakak kesayanganmu itu gak bakalan dateng, adik ke-"
"Diem Sel !" Aku menutup kedua telingaku, bosan mendengar Seli yang selalu memberikan komentar pedas pada Kak Adrian.
"Hahaha, oke oke. Buru dah, kita di tungguin kak Arya daritadi nih," ajak Seli seraya kembali menarik lenganku.
Aku menurut dan mengikuti langkah Seli sambil sesekali menengok kearah pintu masuk, masih berharap sosok yang ku nantikan mungkin datang sedikit terlambat.
Tapi harapan tinggalah harapan, hingga pentas usaipun kedatangan mereka rupanya hanya omong kosong belaka.
Seusai acara, aku segera merapikan barang barangku dan bergegas pulang dengan langkah terburu.
Tak apa jika Kak Adrian dan Kasih tak melihat pentasku, tapi setidaknya mereka ingat untuk menjemputku.
Aku terus melirik arlojiku, ini sudah larut malam tapi kenapa belum tampak yang menjemputku? Padahal aku sudah mengirim pesan singkat pada kak Adrian sesaat sebelum naik panggung.
Aku mendengus kasar, ingin rasanya aku berteriak-teriak layaknya seekor anak kucing yang kehilangan induknya.
Astaga! Bagaimana bisa seorang gadis imut sepertiku di terlantarkan di pinggir jalan seperti ini? Bagaimana nanti kalau aku di culik oleh om-om 'nakal'? Oke stop, aku mulai melantur.
"Oi Cinta, belum dijemput?"
Seli muncul dari ruang auditorium dan berjalan menghampiriku.
Aku hanya menggeleng sebagai jawaban pertanyaannya.
"Uuu, kacian. Bareng gue aja, yuk," tawar Seli.
"Gak usah Sel, makasih. Lo duluan aja," tolakku halus.
"Yakin?"
"Iya cantik. Udah sana, kasian tuh ayahmu nungguin dari tadi,"
"Yaudah, gue duluan, ya? bye Cinta." Seli melambaikan tangan lalu berlari kecil menuju mobil ayahnya.
Usai kepergian Seli aku kembali mengamati tanda-tanda kedatangan kak Adrian. Lam menuggu membuatku merasa bosan, aku beralih mengutak-atik ponselku dan mencoba lagi menghubungi kakak kesayanganku itu.
Akhirnya selang beberapa menit kemudian terlihat sebuah mobil putih yang sangat ku kenal melaju mendekatiku.Dengan penuh semangat aku segera berlari ke arahnya.
"Kakak kemana aja, sih?! Udah gak dateng pas aku tampil, pake acara telat jemput pula ! Kalau adikmu ini hilang gimana ?! Ini udah malem, kak, sekarang tuh jamannya orang nekat !" Aku mengoceh tak karuan begitu berada didalam mobil, melimpahkan semua kekesalanku sejak tadi sore.
"Eh anuu .. maaf Non.. soalnya macet banget jalanannya."
Aku langsung menoleh kearah kemudi, aku tahu benar itu bukan suara kak Adrian.
"Loh kok mang Herman yang jemput?" tanyaku heran, ternyata aku menggerutu pada orang yang salah.
"Ii.. iya non, den Adrian yang nyuruh saya," jawab mang Herman sedikit takut, mungkin dia masih syok karena mendengar omelanku barusan.
Aku hanya ber 'oh' ria dan memilih bersandar seraya memejamkan mata. Aku malas bertanya, badanku sudah benar-benar letih. Mang Herman yang mengerti lalu mulai melajukan mobil.
Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamarku. Suasana dalam rumah juga sudah sepi, mungkin penghuni yang lain sudah beranjak tidur.
Aku membuka pintu kamar dengan mendorongnya cukup keras, tenagaku terkuras habis dan rasanya sudah tak sabar segera berbaring di kasur empuk milikku.
Baru beberapa langkah, aku tersentak dengan pemandangan menyesakkan yang tersuguh di hadapanku.
Betapa tidak, kak Adrian tengah duduk tertidur di samping ranjang Kasih dengan sebelah tangannya menggegam tangan adikku itu bak pangeran negeri sinetron.
Hatiku bergejolak. Rasa sedih, marah dan kecewa bercampur aduk menjadi satu. Jadi, ini alasan kak Adrian melupakanku?
Aku langsung bergegas keluar, berusaha menepis semua prasangka buruk yang terlintas dalam pikiranku, mencoba berfikir positif untuk segala hal yang terjadi hari ini. Pasti ada alasan dibalik semua ini, pasti ...
****
Sudah satu minggu aku menghindar dari Kasih dan kak Adrian.
Bukan apa-apa, sih, aku hanya masih kesal dengan mereka terlebih saat melihat kejadian malam itu, dan aku tak ingin emosiku meledak jika berdekatan dengan mereka.
Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja, akhir-akhir ini aku sering merasa pusing. Saat aku hampir tertidur, tiba-tiba suara cempreng khas Seli mengengagetkanku.
"OI! ARCINTA KIRANA! DI PANGGIL SAMA PAK AWAN KE RUANG GURU TUH," teriaknya seraya mengguncang guncang bahuku.
"Aduh, apaan sih Sel! Gak pake teriak teriak gitu bisa kali!" aku mendongak serta menatap horor pada Seli,namun yang di tatap malah memberikan cengiran kuda.
Dasar Seli Sableng.
Aku lalu memilih bangun dan beranjak menuju ruang guru.
***
"Ada apa pak?" tanyaku setelah aku dipersilahkan duduk oleh pak Awan.
Pak Awan tersenyum sejenak lalu berdeham pelan sebelum berbicara.
"Begini, setelah pulang sekolah nanti kamu persiapkan kelompokmu. Hari ini kita mulai berlatih untuk lomba. Karena ada masalah, panitia lomba mengajukan jadwalnya jadi dua minggu lagi." Terang pak Awan.
Sontak aku membelalakkan mata mendengarnya, ini benar-benar mendadak.
"Tapi,.pak.."
"Saya percaya kamu, Cinta," ucap Pak Awan dengan mantap.
Aku menghela nafas pasrah.
"Baik,pak,"
"Ya sudah, Cinta, kamu boleh kembali ke kelas. Bapak hanya ingin menyampaikan itu saja," ucap pak Awan.
Aku mengangguk permisi meninggalkan ruang guru.
Dua minggu ? Ya Tuhan! Apa bisa dengan kondisi yang seperti ini? Aku tertunduk pasrah, kepalaku rasanya berputar sekarang.
Holly, shit! Rasanya seperti mimpi buruk yang datang bertubi-tubi.
***
Hari ini tiba saatnya perlombaan kesenian tari berlangsung. Kak Adrian dan Kasih sudah duduk manis di tribun penonton. Kak Adrian terlihat sangat antusias, ia tak henti-hentinya menyunggingkan senyum manis.
"Semangat, Cinta !"
Teriak Kasih sambil melambaikan tangan, aku tersenyum lebar dan mengangguk.
Aku memang sudah bersikap biasa terhadap mereka, rasanya aneh juga jika terus menghindar tanpa alasan yang jelas.
Kejadian hari ini membuat hatiku menghangat, dan yang paling membuat bahagia adalah ketika Almamater sekolahku diumumkan sebagai juara pertama dalam lomba kreasi tarian daerah kali ini.
Sujud syukur langsung kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, raut wajah gembira rekan-rekanku terukir sangat jelas.
Setelah penerimaan piala dan pidato singkat dari pak Awan,acara sudah resmi selesai.
Aku segera menghambur keluar untuk menemui Kasih dan Kak Adrian. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, namun tak menemukan keberadaan kedua saudaraku tersebut, kemana mereka ?
Aku langsung mengobrak-abrik ranselku, mencari ponselku untuk menghubungi Kasih. Ternyata sudah ada 2 pesan masuk. Ah, mungkin mereka akan memberikan kejutan atas kemenanganku.
Dek, kakak pulang duluan sama Kasih, km pulang sendiri bisa kan ?
Kasih ada urusan mendadak, jd gabisa lama lama buat liat perlombaan kamu. Mf ya.
ps : Semangat! semoga berhasil Cinta.
Aku menatap layar ponsel dengan hampa. Pesan itu dikirim satu jam yang lalu, itu berarti .... Ya ampun! Jadi, mereka tak melihat penampilanku?
Aku tadi memang terlalu nervous sehingga tidak terlalu memperhatikan sekitar.
Hatiku terasa ngilu,rasa sesak itu kembali menghimpit dalam dadaku. Kecewa? itu sudah pasti. Padahal aku ingin sekali melihat kak Adrian bangga terhadapku.
Tapi, apa yang ku dapat ? Mungkin benar yang dikatakan Seli, prioritas utama kak Adrian adalah Kasih dan bukan aku.
Meski aku sangat menyayangi Kasih, namun rasa iri dan dengki ini semakin tumbuh dalam jiwaku.
Kasih, Kasih, Kasih!! kenapa selalu Kasih?? Aku menangis dalam diam,tak sanggup lagi mengeluarkan kata-kata.
Aku melangkah dengan gontai, menerobos derasnya hujan tanpa mempedulikan badanku yang mulai basah kuyup. Aku benci semuanya, Ayah,Ibu, bahkan Kakak selalu memperhatikan Kasih dan seolah tak peduli dengan kehadiranku. Apa salahku, mengapa mereka begitu tak adil terhadapku ?!
Kepalaku kembali berdenyut, rasa sakit itu semakin menjadi. Aku mengabaikannya, yang terpenting bagiku saat ini adalah terus berjalan. Entah aku akan pergi kemana nantinya, yang pasti aku tak ingin pulang ke rumah.
Dari arah depan terdengar sebuah mobil mengklaksonku dengan keras. Biar saja mobil itu terganggu karena aku menghalangi jalannya, aku tak peduli.
Tapi sesaat kemudian mobil itu berhenti, dan sosok yang amat ku kenal tengah berlari kearahku sambil membawa payung dan jaket.
Seli menatapku dengan iba, mungkin ia kaget dengan penampilanku yang sudah acak-acakan. Aku tersenyum getir dan langsung memeluknya dengan erat, ia membalas pelukkanku namun tak berkomentar apapun.
Aku terisak hebat dalam pelukan Seli,melampiaskan segala rasa sakit yang sangat menyiksa hatiku.
Seli hanya diam sembari mengelus punggungku, memberikan rasa nyaman untuk membuatku tenang.
Aku menangis cukup lama hingga pandanganku perlahan mengabur dan semuanya menjadi gelap.
***
Aku terbangun setelah mencium aroma yang sangat aku benci, aroma rumah sakit. Aku mengerjapkan mataku, mencoba menetralkan pandanganku agar terlihat lebih jelas.
Dan saat mataku terbuka sempurna, yang pertama kali aku lihat adalah wajah kalut Seli yang duduk di sebelah ranjangku.
"Alhamdulillah, akhirnya sadar juga," senyum Seli merekah, ia bangkit dari tempatnya.
Aku mengernyit bingung, netraku langsung menyiratkan pertanyaan dimana keberadaanku saat ini.
"Ini di rumah sakit, Ta. Vertigo lo kambuh dan lo pingsan semalaman," ucapan Seli menjawab kebingunganku.
Tak lama terdengar suara pintu ruanganku terbuka, aku lalu menoleh kearah pintu. Terlihat Kasih dan Kak Adrian tengah berdiri di sana.
Mataku langsung menajam memandang dua orang itu.
"Kalian stop disitu! Jangan mendekat !" aku berusaha berteriak meski masih lemas.
"Cinta, aku..."
"Diem, kalau kalian melangkah lagi gue panggil satpam buat usir kalian ! PERGI DARI SINI !"
Aku lantas membuang muka ,tak ingin melihat wajah kakak dan adikku itu, rupanya emosi masih mendominasi diriku.
"Maaf kak, mungkin Cinta butuh waktu." Aku mendengar permohonan dari Seli, dan beberapa saat terdengar derap langkah kaki menjauh dari ruanganku. Mereka pergi.
Aku menangis setelahnya, apa ini keterlaluan ?
***
Sudah 3 bulan berlalu sejak aku keluar dari rumah sakit.
Sikapku berubah drastis. Aku tak lagi bermanja-manja dengan Kak Adrian ataupun bertegur sapa dengan Kasih. Meski Kasih terus berusaha mendekatiku, aku malah semakin mengabaikannya.
Dan sejak dua hari ini aku tak melihat Kasih dan seluruh anggota keluargaku. Kemana mereka ? Ah sudahlah, lagi pula aku bukan prioritas mereka, kan?
Aku keluar dari ruang kelasku dengan bersenandung kecil, hari ini adalah hari terakhir ujian kenaikan kelas.
Aku terpekur saat melihat notif yang tertera membuatku mengernyitkan dahi. Terdapat 24 panggilan tak terjawab dari Kak Adrian dan 13 panggilan tak terjawab dari Mama. Ada apa?
Aku tersentak saat ponselku kembali bergetar tanda panggilan masuk.
"Ya. Halo?" jawabku.
"....."
"Hah?"
"....."
"Jangan bercanda, Kak!" pekikku.
"....."
"Gak mungkin!" ponselku refleks terjatuh. Aku segera berlari sekencang yang aku bisa. Ya Allah, cobaan apa lagi ini?
Aku sampai di rumah sakit dengan nafas yang tersengal-sengal. Setelah bertanya kepada resepsionis, aku langsung menghambur ke ruangan yang dimaksud oleh suster.
Aku mematung saat sampai di depan pintu, semua orang di dalam terlihat sangat kalut. Lidahku kelu dan badanku menjadi mati rasa. Dan yang paling membuatku syok adalah saat melihat Kasih yang sudah terbujur kaku di ranjang, wajahnya pucat dan sebagian tubuhnya sudah tertutup kain putih,apa-apaan ini?!
Tubuhku seketika meluruh, airmataku langsung mengalir deras tanpa bisa dicegah.
Kak Adrian berjalan ke arahku dan langsung meraih tubuhku dalam dekapannya. Ia menghela nafas berat seraya mengecup puncak kepalaku berkali-kali. Meski dalam diam, aku tau kak Adrian sama kacaunya denganku.
"Ke-kenapa kak??" Aku semakin sesenggukan.
"Kasih kena kanker otak stadium akhir. Maaf dek, Kasih melarang kita buat cerita ke kamu. Kita udah berupaya yang terbaik untuknya, tapi takdir berhendak lain, Cinta. Mungkin ini yang terbaik daripada Kasih terus tersiksa dengan keadaannya. Kasih pesen sama kakak untuk selalu jagain kamu, dia juga minta maaf buat semua kesalahannya, Cinta."
Ucapan kak Adrian sontak membuatku kaget. Kasih sangat menyayangiku, tapi apa balasanku? Aku sangat egois, aku marah tanpa pernah tau apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan aku mengacuhkannya saat dia sangat membutuhkanku sebagai tempatnya bersandar.
Bodoh.
Kata itu terngiang dalam benakku. Seharusnya tak seperti ini, seharusnya kami masih bisa tertawa bersama.
Inikah bentuk teguranMu atas keegoisanku, Tuhan?
Aku tak henti mengumpat dan menyalahkan diriku sendiri. Emosi sesaat membuatku tutup mata dengan keadaan sekitarku. Rasa dengki yang salah kaprah menuntut keadilan berujung dengan membuatku kehilangan sosok berharga untuk selamanya.