Menjelang akhir tahun makin banyak tender yang dikuti PT APE. Kayaknya ini semua karena dorongan dari direksi kami yang melihat masih ada target tahunan yang belum tercapai. Tentunya tim yang paling didorong agar PT APE bisa menang banyak tender konstruksi adalah tim divisi Estimate.
Bulan ini aja udah ada 4 proyek yang kami hitung BQ-nya. Hari ini tim kami sedang mengejar volume BQ untuk proyek mall dan apartemen dari Owner Konstruksi ternama. Nilai proyeknya nggak main-main, 2 Triliun Rupiah! Kalau ini tercapai, target tahun ini bisa cukup terpenuhi.
Aku sendiri sudah lembur sekitar 3 minggu full. Bahkan sabtu minggu pun aku sering masuk. Punggungku pegal luar biasa, tapi harus aku tahan sampai project ini selesai. Lumayanlah, seenggaknya ada uang lembur yang cukup besar buat tabungan.
Akhirnya aku pun selesai mengirimkan pekerjaanku, yaitu volume pekerjaan sipil dan arsitek lantai Basement 1-2 , serta lantai 16-35 Apartemen Tower A. Aku sudah menghitungnya dengan cermat dan mengeceknya selama seminggu terakhir dan aku yakin kali ini tidak akan salah hitung.
Aku meraih handphoneku dan mengetikkan pesan whatsapp ke Tasya.
Therra: Tas, kerjaan lo udah kelar kan? Mau pijat refleksi nggak nanti malam?
Tasya: boleh, yuk! Lo pasti capek ya habis lembur terus sebulanan ini?
Therra: Iyaa! Kuuuy ntar gue bayarin!
Jam 17.00 pun tiba. Aku bersenandung riang sambil memasukkan barang-barangku ke tas. Yeaay! Hari ini nggak usah lembur atau bawa laptop!
“Therra,” sebuah suara menyadarkanku. Aku nggak perlu menoleh buat tau itu suara datar milik Devan. “Dipanggil Pak Jansen.”
Waduh ada apa lagi ya….? Bukannya kerjaanku udah beres?
“Nggak usah! Saya aja yang kesana!!” suara Pak Jansen tiba-tiba menggelegar dan membelah ruangan divisi Estimate.
Pak Jansen datang ke mejaku dan menyuruhku menyalakan kembali laptop yang sudah aku matikan. Dengan berat hati dan ketar-ketirpun kuturuti permintaannya.
Ada apa lagi sih ini…?
Aku melihat ke sekelilingku, lagi-lagi banyak yang menatapku dengan iba. Beberapa orang yang sudah mau pulang kerja pun mengurungkan niatnya dan duduk di bangku masing-masing.
Aku membuka shared folder tempat file excel BQ berada dan membukanya. Aku pun membuka perhitungan volume yang kumasukkan.
“Van, coba kamu kasih tau dimana salahnya!” seru Pak Jansen.
Devan kini mengambil alih laptopku dan mencari volume yang kumasukkan.
Aku udah cek berulang kali, kok! Rasio betonnya udah tepat, sampai ke sambungan tulangannya pun aku cek perhitungannya. Salahnya dimana sih?
Devan lalu menunjukkan ke sheet perhitungan arsitektur. “Bagian bata, plester dan catnya kurang,” ujar Devan.
Waduuh! Karena terlalu fokus di perhitungan sipil, jadinya aku terlalu banyak cek disana dan lupa cek bagian arsitektur! Tapi… masa’ sih, biasanya kan aku jarang salah disana.
“Coba saya hitung dulu ya, Pak,” ujarku yang kembali mencocokkan gambar dan perhitungan excelku.
Waktu pun berlalu, jam kini menunjukkan pukul 19.00. Sebagian besar karyawan sudah pulang, termasuk Pak Jansen juga. Namun Devan yang masih ditugaskan untuk mengecek hitunganku masih menungguku.
“Udah bener kok, Van?” tanyaku bingung. “Udah gue cocokkin sama gambarnya, bata, plester dan catnya cocok. Gue juga cek berbagai potongan…”
Devan kembali mengecek laptopku, “Yakin udah cocok? Soalnya volume lantai lo beda jauh sama lantai-lantai typical lainnya…”
“Iya.”
“Udah disesuaikan sama gambar revisi yang baru?”
“Gambar revisi yang diemail 3 hari yang lalu kan? Udah.”
Devan melirikku tanpa ekspresi, “Gambar revisi pagi ini, Ra.”
Aku mematung, pagi ini ada revisi gambar baru?? Aku bergegas membuka email dan terlihat ada email yang belum kubuka.
“Ya ampuuun! Pagi sampai siang ini kan gue hadir di acara presentasi vendor! Gue lupa banget cek email…”
Devan terlihat geleng-geleng kepala. “Itu kan udah hal dasar seorang Estimator…”
“Sorry, Van… gara-gara gue lo ikutan lembur.”
Devan melipat tangannya diatas meja dan meletakkan kepalanya disana. “Kalo udah selesai kabarin, biar gue cek.”
Aku merasakan tenggorokanku tercekat dan mataku memanas. Pasti Devan bete karena sering tertahan lembur karena nungguin hasil kerjaanku yang sering direvisi. Kenapa aku bisa bodoh banget…? Kenapa aku nggak teliti banget..? padahal aku juga sering lembur, padahal effortku kayaknya udah maksimal selama kerja disini. Apa aku sebodoh itu ya?
Merasa tak bisa menahan air mata, aku beranjak dari kursiku dan menuju toilet. Di toilet kantor, aku meluapkan emosiku dan menangis sejadi-jadinya. Toilet kantor ini memang jadi saksi bisu yang menyaksikan hari-hari penuh tangis dan galauku disini. Apalagi kalau udah mau hari-hari mens, emosiku sering tak terbendung.
Aku melangkah gontai ke ruangan kerja kembali, namun perutku terasa sakit dan melilit. Please jangan sekarang… sekarang aku harus segera nyelesaiin kerjaan. Nggak enak ditungguin Devan…
Dari sudut mataku, aku melihat pantry yang kosong di ujung koridor. Aku pun melangkah kesana untuk mencari OB. Aku memintanya membelikan obat sakit perut untukku. Sementara aku sendiri duduk di dekat jendela.
Sambil menahan perut yang masih sakit, aku meletakkan kepalaku di meja pantry.
Menjadi dewasa itu…. Emang iya ya sepahit ini? Waktu terasa cepat berlalu, kehidupan makin sibuk dan lelah… apa iya hidup itu Cuma buat cari uang, mengorbankan lelahnya fisik dan mental kayak gini?
“Therra!”
Suara Devan terdengar di belakangku. Aku mengangkat kepala dan berniat menjelaskan kepadanya kalau aku lagi menunggu obat, tapi…
Devan masuk pantry dengan raut wajah yang marah. Alisnya menukik tajam dan wajahnya terlihat kesal.
“Kok lo malah malas-malasan disini?”
Aku terdiam menatapnya. Malas-malasan? Baru akan membuka mulutku untuk menjelaskan, Devan memotong perkataanku kembali.
“Kalo males, gak usah kerja! Ini kontraktor, bukan taman bermain! Kerja yang bener aja bisa nggak sih? Gara-gara lo, gue jadi sering lembur juga!!”
Aku menunduk, menahan air mata yang akan jatuh lagi. Ini pertama kalinya aku mendengar Devan marah. Tanpa kata, aku segera kembali ke ruang kerja dan berniat menyelesaikan pekerjaanku.
“Ra, sorry ya…” dari belakang terdengar suara Devan.
Aku masih menahan tangis, namun mataku menatap lurus layar laptop. “Gue yang minta maaf…” hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku sudah tidak peduli apa-apa lagi. Aku hanya ingin segera keluar dari neraka ini.
Aku pulang dari kantor jam 23.00. Saking lelahnya, aku pun langsung tertidur tanpa sempat makan malam atau minum obat.
Aku pikir, tidur akan mengobati badanku seperti yang beberapa kali terjadi saat aku sakit kepala ataupun sakit perut. Namun kali ini tidak. Paginya aku terbangun oleh alarm jam 06.00. Seluruh tubuhku rasanya sakit tidak karuan. Sebenarnya aku terbangun di tengah malam dan susah tidur lagi, jadi kira-kira aku tidur hanya 3 jam-an di malam tadi.
Aku bisa pingsan di dalam busway kalau dipaksakan ngantor hari ini… tiba-tiba dadaku terasa terbakar, kali ini asam lambungku yang naik. Aku menahannya dengan meringis kesakitan.
“Bun…” aku keluar rumah mencari Bunda, tapi hanya menemukan sebuah post it yang ditempel di kulkas di ruang makan.
Therra, Bunda sama Ayah lagi bantu persiapan tahlilan Bu Rosidah ya, rumah no. 13. Kamu langsung kerja aja nanti, pintu rumah dikunci ya. Demikian isi post it itu.
Tapi aku nggak mungkin ke kantor dengan kondisi begini… aku pun segera memesan Ojek online untuk ke rumah sakit terdekat.
Di rumah sakit, aku terbaring lemah di IGD. Kata Dokter jaga yang memeriksaku, aku harus istirahat selama 1-2 hari. Sebuah botol infus pun disuntikkan ke tubuhku. Akhirnya…. Bisa istirahat juga, walaupun di rumah sakit.
Aku sempat tertidur entah berapa lama, sampai dering telepon menyadarkanku. Aku mengecek handphoneku dan ternyata udah jam 10.00! aku belum kirim surat izin sakit ke HRD-ku!
Ternyata Tasya yang meneleponku. Aku langsung mengangkat teleponnya.
“Tasya…”
“Ra! Lo dimana? Cepetan dateng, hari ini pengecekan terakhir sebelum submit tender. Lo lupa?” suara Tasya terdengar panik.
“Iya Tasya, kemarin juga gue udah ngecek kok malamnya sama si Devan…” suaraku terdengar lemas. “Hari ini gue ijin, soalnya…”
“Kenapa si Therra itu belom dateng?!” suara Pak Jansen sayup-sayup terdengar menggelegar. “Udah salah hitung, sekarang berani telat tuh anak?!”
Aku menggigit bibirku, beliau marah besar nih kayaknya. Baru akan kusampaikan aku ijin sakit ke Tasya, namun terdengar….
“Nggak usah datang aja lagi sekalian tuh anak!”
Gertakan Pak Jansen itu justru membuatku jadi marah. Padahal udah kutahan-tahan nggak resign selama ini. Pak Jansen, tolong sadar diri! Emangnya yang bikin divisi Estimate turnovernya paling banyak di PT APE siapa? Ya Bapaklah! Kira-kira ada kali tiap 2 bulan anak yang baru masuk yang mengajukan resign ke dia.
Iya juga ya… selama ini divisiku terkenal sebagai tempat penempaan mental karena punya bos macam Pak Jansen. Cuma orang-orang bermental dan fisik super yang bisa bertahan disana. Kenapa sih aku begitu kekeuh kerja disana? Apa yang sebenernya kucari?
Tanpa pikir panjang, aku segera menulis email pengunduran diri di handphone dan kukirim ke HRD yang dulu pernah mengirimkanku offering letter di APE.
Fuuh, udah puas!! Kayaknya beban selama ini udah terangkat dari pundak! Karena masih lemas, aku pun tertidur lagi tanpa mau pusing memikirkan akibat dari perbuatanku ini.
Apapun yang akan terjadi, terjadilah…