Sore itu aku mengedarkan pandanganku di ruangan divisi Estimate, kantor kontraktor PT Agung Prakarsa Engineering (PT APE). Semua karyawan sibuk di mejanya masing-masing dan mengerjakan pekerjaan mereka dengan serius. Aku hanya menghela napas dan menengadahkan kepala, menatap plafon kantor.
Kenapa sih hari libur cuma Sabtu Minggu? Mana Sabtunya sering lembur lagi disini. Jadi ingat kemarin nonton film Godzilla. Enak kali ya ada Godzilla masuk kota, kantor bisa libur…
“Therra,” sebuah suara membuyarkan lamunan liarku. Aku menoleh dan melihat Devan berdiri di belakang mejaku.
Kenapa nih, si karyawan kesayangan bos manggil gue, si anak bawang ini?
“Iya, Van?”
“Dipanggil Pak Jansen ke ruangannya,” ujar Devan yang langsung pergi ke ruangan Kepala Estimate itu.
Waduh, ada apa lagi nih? Bukannya 3 hari yang lalu juga gue habis dimarah-marahin ya? Please banget.. semoga aja gak ada perhitungan gue yang salah lagi…
Aku berdoa sebentar, lalu menguatkan hatiku dan menyusul Devan ke ruangan Pak Jansen. Langkah kakiku berat dan sempat rasanya ingin kabur keluar kantor aja, tapi nggak boleh kan ya? Kenapa sih bolos kerja itu nggak segampang bolos sekolah?
“Ya, Pak Jansen?” Aku memaksakan senyum ketika masuk ruangan bosku itu. Devan sudah tiba lebih dulu disana.
Ruangan Pak Jansen berbentuk ruangan kecil terbuka di pojok ruangan besar divisi Estimate. Namun dari ruangan inilah atasan kami yang terkenal galak luar biasa itu mengawasi divisi Estimate dengan mata elangnya.
Pak Jansen, bosku yang bertubuh tambun dan tinggi itu bangkit dari kursinya. Dia memicingkan matanya dan menatapku tajam, “Kata Devan, kamu salah perhitungan lagi kemarin ya?”
“Iya Pak, tapi udah dibantu Devan buat dikoreksi dan perhitungannya udah bener kok. Ya kan Van?”
Aku melirik ke Devan meminta persetujuannya dan dia pun mengangguk.
Pak Jansen melipat tangannya di depan dada. “Kamu tau nggak bulan ini udah berapa kali kamu salah hitung di BoQ?”
Bill of Quantity (BoQ) itu daftar detail semua bahan, pekerjaan, dan biaya yang dibutuhkan buat bangun proyek dari awal sampai akhir. Biasanya kami tim Estimator junior mengirimkan hasil perhitungan kami ke Devan untuk diperiksa, baru di cek oleh Pak Jansen dan dikirimkan ke tender proyek konstruksi.
Aku berusaha mengingat berapa kali aku dimarahi dan dipanggil seperti ini, “Hm… Tiga kali, Pak.”
Pak Jansen menunjuk ke arahku dan berkata dengan nada yang lebih tinggi, “Hampir tiap tender kamu itu ada salah hitungnya! Yang cek ulang itu selalu Devan! Kamu nggak kasian bikin dia lembur terus?”
Aku menoleh dan menatap Devan dengan bingung. “Tapi, Pak.. kalau ada kerjaan yang salah selalu saya benerin, kok.”
“Kadang udah mepet deadline,” ujar Devan dengan wajah datarnya. “Jadinya saya perbaikin lagi.”
Aku menunduk dan bingung harus berkata apa.
Pak Jansen menghela napas berat lalu dia berkata dengan nada yang lebih tinggi lagi, “Minggu ini kita ada tender penting! Ingat, Therra! Jangan sampai salah lagi ya! Kerjaan Devan udah berat, jangan kamu tambah-tambahin lagi!”
“Maaf, Pak… Baik, Pak,” hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Yasudah sana! Kerja lagi!” gerutu Pak Jansen.
Aku dan Devan melangkah keluar ruangan Pak Jansen. Beberapa karyawan terlihat melirik ke arahku dengan tatapan iba. Aku tau dari beberapa waktu lalu pasti mereka sudah pasang kuping mendengarkan pembicaraan kami, apalagi suara Pak Jansen menggelegar sampai bisa terdengar ke ujung ruangan.
Devan duduk di mejanya yang tak jauh dari ruangan Pak Jansen, aku pun menghampirinya.
“Sorry ya, Van…” ujarku lirih.
“Iya, lebih teliti ya,” balas Devan pelan sambil tak melepas pandangannya dari komputer.
Aku berjalan ke mejaku yang terletak di pojok ruangan sambil melirik ke meja Tasya. Gadis itu memberikan isyarat yang menyemangatiku. Begitu sampai di meja kerjaku, aku pun mengirimkan WA kepadanya.
Therra: Tas, sorry ya.. kayaknya kita gak jadi nonton nanti malem. Gue harus nyelesaiin buat deadline besok malam ini.
Tasya: Semangat ya Raa!! Weekend nanti juga bisa kok kita nontonnya, Hwaiting!!
Aku bertekad harus lembur di kantor sampai jam 12 malam sekalipun supaya semua pekerjaanku bisa selesai sebelum deadline besok. Tapi nyatanya baru jam 7 malam, kepalaku terasa sakit dan asam lambungku naik. Inilah dampak dari gaya hidupku yang sering lupa makan tapi banyak minum kopi. Habis gimana lagi dong supaya kuat lembur berbulan-bulan?
Aku mengemasi barang-barangku, termasuk laptop dan beberapa lembar gambar proyek. Nanti lemburnya aku teruskan di rumah aja, yang penting harus makan dan minum obat dulu.
Ruangan kantorku sudah sepi karena kebanyakan orang memang sudah mensubmit hasil perhitungan mereka ke Devan. Apa ini berarti aku yang progres kerjanya paling lamakah? Ya soalnya aku juga banyak mengoreksi perhitungan sebelumnya.
Area luar kantor masih ramai dan penuh dengan orang-orang yang baru pulang kerja. Ada yang naik kendaraan pribadi, banyak juga yang naik gojek dan busway. Kantorku yang terletak di Kuningan, Jakarta Selatan ini memang lokasi yang sangat strategis.
Aku melangkah gontai menaiki jembatan busway. Jam segini memang lagi penuh-penuhnya, menungu busway pun harus mengantri panjang begini. Nggak mau ambil pusing, aku pun membuka handphone dan melihat Instagram.
Hah? Temen SMA gue ada yang nikah lagi minggu ini… Malah ada yang udah punya anak. Ini Rani yang dulu cupu banget pas SMP kerja di luar negeri sekarang? Gila keren banget… Hah, si Doni yang dulu suka berantem udah beli rumah sendiri. Oh iya dia kan bapaknya Direktur Bank, wajarlah…
Kok hidup orang pada keren-keren banget ya… Ya Allah… kayaknya aku sejak setahun kerja gini-gini aja…
Aku terus scrolling Instagram sambil melihat pencapaian-pencapaian orang-orang yang dulu kukenal. Sampai akhirnya aku menaiki busway dan pulang ke rumah.
Sesampainya di rumahku yang berlokasi di Jakarta Timur, aku sudah akan berniat akan langsung makan, minum obat dan tidur setengah jam sebelum akan lembur lagi. Namun di halaman depan, aku melihat ada 2 pasang sepatu laki-laki dan perempuan. Ada tamu siapa malam-malam gini…?
Begitu membuka pintu rumah, di ruang tamu aku melihat Om Sofyan dan Tante Nur, adik Bunda dari Jawa Timur. Aku pun mencium tangan mereka pertanda hormat dan duduk di sofa ruang tamu.
“Udah besar ya, Therra.. cantik lho!” puji Tante Nur.
“Sekarang kerja dimana, Therra?” tanya Om Sofyan.
“Di perusahaan konstruksi besar di Jakarta!” bukan aku yang menjawab, tapi Bunda.
“Oh… keren banget, cewek tapi kerja Teknik ya. Kayak Mas Dirga juga ya?”
“Iya, kalau Dirga kan kerja di perusahaan penerbangan, kalau Therra di perusahaan konstruksi.”
“Dirga itu ya gitu… sibuk banget! Pulangnya kadang cuma sebulan dua kali,” ujar Bapak yang tiba-tiba muncul dari kamar ke ruang tamu.
“Pinter-pinter ya Dirga dan Therra… Therra, kasih taulah ke sepupumu biar kuliah yang rajin! Pusing Tante kalo nilainya turun terus,” keluh Tante Nur.
Aku hanya meringis mengingat momen-momen saat aku dimarahin bos selama 5 tahun aku kerja. Kayaknya aku bukan orang yang tepat deh buat kasih saran itu…
Tapi ya keluargaku mana tau kondisiku di kantor kayak apa. Sesering apa aku dimarahin, segalau apa aku, sehampa apa aku kerja disana sampai sering ke Psikolog. Mereka taunya ya… aku dan Mas Dirga anak-anak kebanggaan orangtua kami.
Aku pernah tanya ke Mas Dirga apakah dia enjoy dengan pekerjaannya, dan jawabannya sama seperti Tasya.
“Ya namanya juga kerja, Ra. Semuanya ya nggak enak, enaknya pas gajian doang.”
Tapi… masa’ sih kita semua harus kerja seumur hidup… menikmatinya pas gajian doang… Aku menolaknya, pasti makna hidup lebih dari itu kan…?
“Bun, Therra ijin ke kamar duluan ya… mau makan terus lanjut lembur lagi,” ujarku ke Bunda.
“Oh yaudah gak apa-apa. Makanan diatas meja ya, malam ini Bunda masak kesukaan kamu, Gurame asam manis!”
Maka aku pun meninggalkan ruang tamu dan memasuki kamar. Pikiranku masih berputar pada aku dan Mas Dirga, Kakakku.
Mas Dirga memiliki nama panjang Dirgantara Rahayu Putra. Apakah itu kebetulan bahwa dia saat ini kerja di perusahaan penerbangan? Oh tentu tidak… sedari kecil, Bapak dan Bunda terus memperkenalkan dunia teknik kepada kami berdua.
Bapakku adalah seorang Dosen di Fakultas Teknik di sebuah Universitas Swasta di Jakarta dan Ibu adalah seorang guru Fisika dan Matematika di SMP negeri di Jakarta.
Mereka punya obsesi pada dunia STEM dan memperkenalkannya ke aku dan Mas Dirga sejak kami usia dini. Mas Dirga selalu ranking 3 besar, sementara aku bersusah payah menyusul prestasinya namun setidaknya bisa ranking 15 besar.
Saat Mas Dirga mau masuk ke sekolah teknik penerbangan, Bapak dan Bunda luar biasa bangganya. Aku pun ingin membanggakan mereka walau belum tau persis apa yang menjadi passionku. Aku bahkan sempat berpikir tidak punya passion, jadi apa saja okelah.
“Masuk Teknik aja, Ra. Kamu tau asal namamu dari mana? Therra Riswana Putri. Therra dari mata kuliah yang Bapak ajar, Termodinamika. Soalnya waktu Bunda ngelahirin kamu, Bapak baru pulang dari kampus ngajar mata kuliah itu,” ujar Bapak pada suatu malam saat aku SMA.
Yup, betul. Dirga dari Dirgantara dan Therra dari Thermodynamics atau Termodinamika. Udah keliatan kan gimana cintanya keluarga kami ke STEM? (Science, Technology, Engineering, Mathematics). Kayaknya kalau kami punya adik bakal dinamain Fiska dari Fisika, Kimmy dari Kimia, dll.
Tapi kayaknya keputusanku buat kuliah dan berkarir di bidang ini salah deh… ternyata aku nggak sepinter itu dalam bidang teknik. Aku sering salah hitung, walaupun aku sudah sering lembur dan berusaha keras seperti yang lainnya.
Sebenarnya… aku punya bakat engga sih?