“Aku masih nggak bisa berhenti memikirkan bagaimana cara Cleopatra memainkan Romawi,” gumam Thomas sambil memutar bolpoin di jemarinya. “Bayangkan. Dua kekuatan besar, Caesar dan Antonius, dan dia bisa ‘menguasai keduanya’,” Thomas membuat tanda kutip ketika mengucapkan menguasai keduanya.
Halaman belakang perpustakaan sore itu sepi, hanya ada suara angin yang sesekali menggesek dedaunan dan gemerisik halaman-halaman buku yang dibuka tanpa tergesa. Meja kayu panjang di sudut, sebagian terpapar cahaya matahari miring, sebagian lagi tertutup bayang pohon flamboyan yang mulai berbunga. Oi memilih halaman belakang karena mereka bebas mengobrol dengan suara normal, maksudnya tidak perlu berbisik, tapi cukup dekat kalau mereka membutuhkan buku referensi. Memang, Thomas selalu menyarankan atau merekomendasikan e-book, tapi Oi selalu memilih buku fisik.
Oi mengangguk pelan, matanya belum lepas dari paragraf yang baru saja ia baca ulang tiga kali.
“Nggak hanya itu,” lanjut Thomas, semangatnya mulai naik. “Dia bukan hanya tokoh pendamping kekuasaan. Cleopatra bagian dari kekuasaan itu sendiri.”
“Keren, kan? Di saat wanita hanya menjadi hiasan, dia menunjukkan bahwa wanita bisa lebih dari itu, dan karena itu pula dia ‘menakutkan’,” kali ini Oi yang membuat tanda kutip ketika mengucapkan menakutkan. “Perempuan yang tahu cara bicara, cara memimpin, dan cara memilih timing. Tapi pada akhirnya tetap diringkas menjadi ‘perempuan cantik yang memikat dua pria besar’ oleh banyak buku pelajaran sejarah.”
Thomas tertawa pendek. “Karena itulah kita, mencoba menulis ulang narasi itu.”
Oi meletakkan laptopnya, merentangkan tangan ke belakang, membiarkan kedua bahunya yang kaku sedikit lemas.
“Omong-omong, kau masih ingin membuka dengan bab latar Mesir Ptolemaik, atau kita mulai dari angle narasi yang ingin kita bangun?” tanya Oi.
“Mungkin angle dulu, jadi pembaca nggak merasa ditinggal di hutan akademik,” jawab Thomas.
Oi mengangguk, diam sejenak, lalu bertanya, “Kau percaya pada insting?”
Thomas menatap Oi dengan alis sedikit terangkat. “Apa ini ada hubungannya dengan Cleopatra?”
“Nggak secara langsung,” jawab Oi sambil menyilangkan tangan di dada. “Lebih ke … hal yang membuat seseorang bergerak, atau memilih.”
“Dow?” Thomas menatap Oi lekat-lekat, lalu tersenyum usil.
“Kau cepat sekali menebaknya,” Oi mencebik.
“Nggak perlu menebak apa-apa, semua sudah terlihat di wajahmu,” Thomas membuat lingkaran dengan telunjuknya.
Oi semakin cemberut mendengar ucapan Thomas, sedangkan cowok itu malah terkekeh.
“Apa kabar itu benar?” tanya Thomas.
“Kabar apa?”
Thomas mengedikkan bahu. “Kalau Dow nggak ikut audisi tapi tetap lolos, dan mendapatkan kontrak yang sama.”
Oi mengangguk-angguk.
“Jadi kabar itu benar?” tanya Thomas lagi.
“Yeah,” Oi bertopang dagu. “Inilah yang akan kubicarakan tadi. Kerena instingku mengatakan seseorang yang terlibat dalam masalah ini justru bukan orang-orang yang Dow curigai.”
“Maksudnya?” sama seperti Oi, Thomas pun meninggalkan laptopnya, duduk tegak, sangat tertarik dengan topik pembicaraan baru.
“Sejak pengumuman kemarin, orang-orang dicurigai Dow adalah mereka yang terlibat dalam dunia tari, bahkan akupun ikut dicurigai! Bayangkan itu.”
Oi pun menceritakan bagaimana Dow yang kesal, lalu menuduhnya mengirimkan profil dirinya ke panitia. Tapi tentu saja Oi tidak tertinggal untuk menyombongkan diri bagaimana dirinya bisa membalikkan situasi dengan membuat Dow mentraktirnya es krim.
“Jadi ada yang mengirimkan profil Dow ke panitia audisi?” tanya Thomas.
“Teorinya begitu,” Oi mengangguk.
“Tapi kurasa seperti teorimu, mungkin saja ada yang melihat Dow latihan.”
“Plothole-nya sama seperti yang kubilang, ada beberapa syarat yang nggak bisa diselesaikan dengan sembunyi-sembunyi, seperti foto profil misalnya,” Oi menghitung dengan jari.
“Here is the thing,” Thomas mengangguk penuh semangat, sepertinya cowok itu mengetahui sesuatu yang luput dari perhatian Oi. “Untuk kasus-kasus tertentu, mereka akan membuat pengecualian. Kurasa kau juga tahu kalau video Dow beberapa kali viral di internet.”
Kedua mata Oi sontak membulat begitu menyadari yang diucapkan Thomas benar, dan kenapa hal itu luput dari radarnya.
“Apa ini berarti kau sekarang menjadi Detektif Oi?” Thomas mengusap dagunya, lalu menyandarkan siku di meja.
“Lebih tepatnya, Indiana Jones, versi canon,” jawab Oi dengan senyum kecil. “Bedanya, aku nggak berburu artefak, tapi potongan kebenaran.”
“Canon, ya?” Thomas tergelak. “Tolong, kalau kau juga memakai topi fedora, beri tahu aku dulu. Aku akan bersiap.”
“Benar, kan? Aku bukan tokoh fiksi.”
“Oke, kau benar, kau bukan tokoh fiksi,” Thomas mengangguk. “Jadi bagaimana investigasinya?”
“Kita buat peta awal.”
“Peta?” ulang Thomas.
Oi mengeluarkan kertas kosong dari binder, lalu menyorongkan laptop ke samping.
“Oke, mari kita pakai pendekatan ilmiah: hipotesis, data awal, analisis. Siapa saja yang mungkin terlibat? Apa motivasinya? Dan bagaimana semua ini bisa terjadi,” Oi membuat kolom-kolom di kertas.
“Tidak kah lebih mudah membuat di laptop?” tanya Thomas setengah geli.
“Pfft, kalau begini lebih terasa excitement-nya,” Oi pura-pura mencaci Thomas.
“Whatever,” Thomas tertawa.
Oi menulis nama DOW di tengah-tengah kertas, lalu melingkarinya.
“Okay, here we go,” Thomas bersiul pelan.
Oi tersenyum. Di sekeliling lingkaran bertuliskan Dow, ia menambahkan beberapa lingkaran lagi.
“Pertama, orang-orang yang punya akses ke video Dow. Kedua, orang-orang yang punya motivasi untuk mengirim. Ketiga, mereka yang tahu tapi diam.”
“Kau tahu? Ada kandidat yang paling bisa dicurigai, karena memiliki tiga kriteria tersebut,” Thomas mengangguk.
“Siapa?” kedua mata Oi berbinar, seperti anak kecil menemukan stoples permen.
“Kau,” Thomas menunjuk Oi dengan dagu.
Sontak Oi cemberut.
“Kau bercanda, kan?” Oi berdecak.
Thomas mengedikkan bahu. “Akuilah, kau memenuhi semua kategori yang kau tulis.”
“Aku mendukungnya, tapi bukan berarti aku akan melanggar kepercayaannya. Dow tipe orang yang menghargai kendali atas tubuh dan pilihannya. Bahkan kalau pilihan itu salah. Karena itulah, dia … Dow,” Oi mengerang. “I’m speaking nonsense.”
Thomas menatap Oi seperti akan mengatakan sesuatu, tapi kemudian cowok itu memilih untuk tidak mengatakan apapun. Jadi untuntuk beberapa saat keduanya hanya saling diam.
“Oke, kita gali satu per satu. Pertanyaan pertama, kenapa kau ingin mencari pelakunya?” tanya Thomas.
“Aku ingin memastikan kalau nggak ada yang mengendalikan hidup Dow selain dirinya sendiri,” jawab Oi. “Astagaaa, terdengar seperti ibu-ibu yang overprotective.”
Mau tidak mau Thomas tertawa mendengar pengakuan Oi.
“Bagaimana dengan panitia audisi?” telunjuk Thomas terulur ke samping lingkaran nama Dow yang masih kosong.
“Kenepa dengan panitia audisi?” tanya Oi.
“Kau nggak berpikir, mungkin saja, ada salah satu dari mereka yang tahu eksistensi Dow, lalu meloloskannya audisi?”
“Kau tahu, inilah salah satu keuntungan menjadi seseorang dengan bakat, dan pencapaian yang luar biasa. Kau nggak ikut audisi, tapi orang lain yang heboh, karena banyak orang berniat merekrutmu,” Oi menggelengkan kepala seraya menuliskan ‘Panitia Audisi’ di tempat yang barusan ditunjuk oleh Thomas.
“Sejujurnya, aku juga bertanya-tanya, bagaimana rasanya menjadi Dow,” aku Thomas. “Kau tahu, mendapat tawaran seperti itu.”
“Entahlah, aku juga nggak tahu bagaimna rasanya. Setelah kupikir lagi,” Oi menepuk kertas dengan ujung pensil. “Aku nggak memikirkan bagaimana aku mengorek semua informasi dari mereka. Kalau aku mulai bertanya-tanya tanpa alasan jelas, bisa jadi bumerang.”
“Jadi kita butuh bukti dulu. Atau paling tidak, sesuatu yang bisa dihubungkan,” Thomas mengangguk-angguk, menyetujui permasalahan Oi.
“Pertanyaan selanjutnya, darimana mulainya?” tanya Oi.
“Pertanyaan bagus,” Thomas menjentikkan jari, kemudian keduanya tertawa bersama.
“Ya ampun, ini konyol sekali,” Oi menggelengkan kepala seraya menyandarkan tubuh ke belakang.
“Teknikmu sudah bagus, tinggal implementasinya,” kata Thomas sambil berusaha meniru intonasi guru yang sedang memberi kritik kepada siswanya. “Kau cocok jadi investigator profesional.”
“Terima kasih,” jawab Oi sambil mengibaskan rambut sebahunya. “Kau tahu, seumur hidup aku membayangkan kalau sejarah itu adalah soal masa lalu. Tapi ternyata, kadang sejarah juga dibentuk oleh kejadian-kejadian kecil yang masih hangat. Seperti ini.”
“Dan seperti Cleopatra, kau juga ingin mengendalikan narasi,” Thomas mengangguk setuju.
“Bedanya, aku nggak perlu kolam mandi susu,” Oi tertawa kecil.