Tanpa sadar Oi memegang gorden, dan baru melepasnya ketika Dow, dan Sans hilang dari pandangan. Sisi impulsifnya berniat menyusul keluar, atau paling tidak berteriak memanggil, tapi sekarang ia lega karena berhasil mengontrol dirinya sendiri.
Mereka tidak harus bersama-sama setiap saat, kan? Dirinya juga tidak harus tahu ke mana Dow pergi.
Hanya saja … hanya saja rasanya aneh melihat Dow pergi dengan Sans.
Oi bergegas meraih ponsel berharap pesan dari Dow, tapi ternyata bukan.
Thomas:
Jadi belajar bersama?
Oi menepuk kening, bisa-bisanya lupa dengan janji yang ia buat sendiri! Dengan cepat ia mengirim pesan balasan.
Oi:
Iyaaa
Maaf lupa, ini berangkat!
Menyambar tas, dan jaket, Oi keluar kamar sambil berteriak, berpamitan pada Teri.
“Teri! Aku pergi dulu.”
“Pergi ke mana?” sahut Momma dari dapur.
“Eh, Mom, sudah pulang? Aku tadi lupa ada janji dengan Thomas,” Oi berbelok ke dapur, dan mencium pipi Mom, sebelum berlari ke luar. “Aku pergi dulu!”
Beruntung kedai kopi pilihannya, Bite & Brew, tidak terlalu jauh dari rumah, meski begitu, cukup membuat Oi kehabisan napas ketika berlari dari rumah ke Bite & Brew.
“Sorry!” Oi terengah ketika sampai di meja Thomas.
“Sudah kuduga kau akan lupa,” Thomas menyeringai, cowok itu menyorongkan es latte untuk Oi. “Entah kenapa tadi aku pesan es kopi latte, kurasa instingku benar.”
“Thank you, so much, you’re the best!” Oi meraih gelas es latte, dan meneguknya dengan tegukan besar, sebelum menarik kursi di seberang Thomas.
“And I guess, I’ll be more than that?” Thomas membuka tas punggung untuk mengambil sesuatu, lalu menyodorkan sebungkus keripik kentang. “Kesukaanmu, kan?”
“Kau pandai menyogok orang juga, ya,” Oi menahan senyum ketika menerima keripik kentang kentang dari merek kesukaannya.
“Just paying attention,” Thomas mengedikkan bahu. “So, where do we start?”
Oi mengeluarkan satu per satu bukunya, kedua mata Thomas membulat takjub.
“Oh, wow, banyak sekali bukumu,” komentar Thomas.
“Kita akan menulis karya ilmiah,” kata Oi dengan ekspresi datar.
Thomas tertawa. “Aku tahu itu, maksudku, tidak harus paperback, kau pernah dengar yang namanya e-Book? Perpustakaan online?”
“Sangat lucu,” ujar Oi seraya mengeluarkan i-Pad, lalu menunjukkan koleksi buku online-nya.
“Oh, wow, kau tidak bohong kalau kau bilang kau maniak sejarah, ya?” komentar Thomas takjub.
“Eh, hanya hobi membaca yang ‘tidak lazim’ kata Dow,” Oi membuat tanda kutip ketika ia mengatakan tidak lazim.
“Ah,” Thomas tertawa. “Dow, huh?”
“Kenapa?” sisi defensif Oi secara otomatis langsung bereaksi.
Thomas menaikkan alis, sedikit mundur ke sandarannya. “Nggak kenapa-kenapa,” katanya cepat, tangannya terangkat seolah menenangkan. “Cuma, setahuku kau dan Dow hampir selalu bersama. Sejak kapan kalian saling kenal?”
“Sejak dalam kandungan?”
Sontak Thomas terbahak mendengar jawaban Oi.
Oi kembali menyesap es latte sambil melirik Thomas yang masih tertawa.
“Memang ada yang salah, kalau kami berteman sejak dalam kandungan? Orang tua kami yang berkata begitu.”
“All right, sorry. Tentu tidak ada yang salah, hanya saja, aku tidak terbiasa dengan jawaban seperti itu. Kurasa masuk akal kalau kalian berteman sejak dalam kandungan. Kalian itu benar-benar dekat,” Thomas menjentikkan jari untuk menekankan ucapannya.
Oi meletakkan gelas es latte, lalu meraih iPad. Sepertinya lebih baik mulai bekerja daripada mengoceh yang tidak keruan, dan akhirnya malah membicarakan Dow. Makhluk yang saat ini dihindari Oi.
“Oke, sebelum kita mulai, kau lihat dulu draft outline-ku. Menurutku, sih, sudah seperti yang kau minta, tapi lebih baik kau coba baca dulu,” Thomas membuka laptop, lalu menyorongkannya ke hadapan Oi. Agaknya cowok itu paham kalau Oi menutup diskusi mengenai Dow.
Oi membaca dokumen yang terpampang di layar laptop Thomas, terkesan. Mesir Kuno bukan topik yang mudah, apalagi jika harus diramu menjadi karya ilmiah yang menarik. Tapi ada satu hal lain yang membuat Oi takjub bukan soal betapa dalamnya peradaban itu, melainkan orang yang duduk di seberangnya: Thomas.
Untuk pertama kalinya Oi bertemu dengan seseorang yang punya kesamaan mengenai sejarah peradaban kuno.
“Bagaimana?” tanya Thomas memutus lamunan Oi.
Oi tidak menjawab, hanya mengacungkan dua jempol, lalu mengembalikan laptop Thomas.
“Jadi... kita setuju fokus ke peran perempuan dalam struktur kekuasaan, ya?” tanya Thomas sambil mencatat sesuatu di laptopnya.
Oi mengangguk. “Cleopatra sebagai studi kasus utama. Tapi aku juga mau kita bahas Hatshepsut sekilas. Jadi ada pembanding yang kuat.”
“Cerdas,” komentar Thomas sambil tersenyum. “Kau tahu, aku nonton Cleopatra yang tahun 1963 semalam. Elizabeth Taylor, tuh... karismanya nggak main-main.”
Oi mendongak, sedikit terkejut. “Kamu nonton film itu? Tiga jam lebih?”
“Empat jam. Tapi siapa yang menghitung?” Thomas mengangkat bahu. “Aku suka film sejarah, walau dramatisasi Hollywood kadang terlalu... niat. Tapi, visualnya, busananya, set-nya, semuanya luar biasa.”
“Aku kira cuma aku yang suka film sejarah berdurasi maraton. Teman-temanku biasanya langsung ngantuk,” Oi terkekeh. “Apalagi Dow.”
Thomas menyandarkan tubuh. “Aku suka cerita besar. Kisah yang dibangun selama berabad-abad. Kerajaan naik turun, orang-orang dengan ego segunung piramida ... Itu menarik, tahu.”
Oi memutar matanya pelan, tapi dalam hati ia merasa terhibur. Thomas selalu punya sesuatu untuk dikatakan. Ia bukan tipe orang yang sekadar ‘ikut aja’ saat kerja kelompok. Ia antusias, dan pembicaraan dengannya tidak pernah berhenti di satu topik. Meskipun, baru sekarang ia menyadarinya. Tapi sungguh, Oi tidak pernah mengira cowok itu punya perhatian yang mendalam mengenai sejarah kuno.
“Ngomong-ngomong soal Mesir,” kata Thomas sambil membuka YouTube. “Tahu nggak, Michael Jackson pernah bikin video musik yang temanya Mesir Kuno?”
“Remember the Time?”
“Yap! Lihat ini,” Thomas menunjukkan thumbnail video: MJ dalam balutan emas, dengan Eddie Murphy, dan Iman sebagai firaun, dan permaisuri.
“Aku nonton itu waktu kecil! Tapi baru sadar itu sebenarnya ... homage ke budaya Mesir, ya,” Oi tertawa pelan.
“Dan koreografinya,” Thomas melanjutkan penuh semangat, “Mirip gerakan relief di dinding kuil-kuil Mesir, nggak, sih? Perhatikan penari latarnya, posisi tubuh mereka tuh kayak patung hidup.”
Oi mengangguk, matanya berbinar. “Kita harus memasukkan itu. Maksudku, sebagai bagian dari pembahasan representasi Mesir dalam budaya populer modern. Bisa jadi pembuka yang keren.”
“Aku suka itu,” Thomas tersenyum lebar.
Selama dua jam berikutnya, mereka menyusun poin demi poin outline: latar sejarah Cleopatra, transisi kekuasaan, relasi politik dengan Romawi, mitos yang berkembang setelah kematiannya. Di sela-sela itu, Thomas menyelipkan trivia-trivia menarik, seperti bagaimana make up Mesir kuno bukan hanya soal estetika tapi juga proteksi mata dari sinar matahari, atau bagaimana nama Cleopatra ternyata cukup umum di dinasti Ptolemaik.
Oi menyimak semuanya, dan semakin lama, ia mulai menyadari satu hal: ia kagum.
“Apa kau selalu seperti ini?” tanya Oi tiba-tiba, saat mereka sedang beristirahat sejenak sambil mengunyah keripik kentang.
“Seperti apa?” Thomas bertanya balik.
“Punya... topik pembicaraan untuk segala hal.”
Thomas mengunyah pelan sebelum menjawab, “Mungkin aku cuma suka ngobrol dengan orang yang punya kesamaan topik. Kadang obrolan menarik bukan perkara topiknya, tapi sama siapa kita ngobrolnya.”
“Benar juga,” Oi mengangguk-angguk.
“Kau juga menarik.”
Oi berdecak, lalu meraih gelas es latte.
“Kau nggak tahu, kan, kalau hanya sedikit orang yang sepertimu?” tanya Thomas lagi.
“Oh, memang, hanya ada satu Oi di dunia ini,” kata Oi cepat. Oh, dia tahu arah pembicaraan Thomas, hanya saja, sisi impostor syndrome-nya bereaksi cepat menangkis pujian tersebut.
“Maksudku ... caramu bicara tentang Cleopatra, tentang sistem sosial... kau punya semangat di matamu saat membicarakan sejarah, dan itu ... keren,” jelas Thomas.
Oi mendadak lupa bagaimana caranya mengunyah.
Ia tertawa canggung. “Aku mengira orang akan berpikir aku terlalu serius.”
“Serius itu bagus,” Thomas tersenyum. “Dibanding orang yang nggak punya ketertarikan pada apa pun.”
Sepertinya aku punya ketertarikan pada orang yang tidak seharusnya.
Oi memandangi Thomas dalam diam beberapa detik. Cahaya lampu kedai mengenai sisi wajahnya, dan Oi berpikir... mungkin Thomas juga punya karismanya sendiri. Bukan seperti bintang film, bukan yang bikin orang langsung terpikat dari pandangan pertama. Tapi sesuatu yang tumbuh perlahan, seperti melodi yang baru terasa indah setelah kau dengar sampai akhir. Dan sore itu, ketika mereka menutup laptop, membereskan buku, Oi menyadari sesuatu, meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh sosok Dow, a.k.a seseorang tidak seharusnya, setidaknya ada ruang baru yang terbuka.
Ruang tempat Thomas berbicara, tertawa, dan mengisi jeda dengan hal-hal yang menyenangkan.
Lalu kemudian suara itu kembali lagi untuk mengacau.
“Olivia, aku serius.”