Loading...
Logo TinLit
Read Story - Je te Vois
MENU
About Us  

Dow meletakkan buku yang tengah dibaca ke meja, lalu mengembuskan napas panjang. Untuk beberapa alasan, otaknya seperti tidak bisa mencerna apa yang tengah ia baca. Rasanya seperti ia melihat air hujan dari balik kaca, bisa melihat bagaimana air mengalir, bisa seolah ikut merasa basah, tapi faktanya air hanya mengalir melalui permukaan yang bening.

Jadi, apa yang membuat Dow merasa seperti ini?

Entah juga.

Satu lagi, ketika merasa seperti ini, biasanya dia akan pergi ke studio untuk menari sampai otaknya menyerah. Tapi kali ini? Cowok itu tidak bisa melakukan satu-satunya hal yang biasa ia lakukan untuk membebaskan diri dari perasaan berat nan aneh di hatinya. 

Dow memutar-mutar kursi, menimbang apakah memungkinkan untuk menari di kamar. Sayangnya tidak mungkin. Bukan karena kurang luas, tapi, sebagai penari yang terbiasa menari di studio profesional, menari di kamar bukan pilihan yang tepat. 

Ataukah dirinya perlu kembali ke sekolah?

Lagi-lagi bukan pilihan yang tepat.

Bisa saja dirinya ke sekolah, toh sekolah baru tutup jam 10 malam, tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya, anggota klub tari sekarang berada di sana untuk mempersiapkan audisi besok. Darimana Dow tahu? Karena tadi ponselnya tidak berhenti bergetar, sampai dia memutuskan untuk menggantinya dengan mode senyap. Untuk alasan yang tidak bisa ia jelaskan pada dirinya sendiri, Dow merasa lebih baik tidak tahu dengan segala hal yang berhubungan dengan audisi.

Dow tidak menyangka keputusannya untuk tidak ikut audisi bisa membuatnya begini kesepian.

“Sans, kau mau jalan-jalan?” tanya Dow pada Sans yang meringkuk di pojok ranjang.

Si Golden hanya mengankat kepala sekilas, seperti tidak tertarik meninggalkan kenyamanannya.

Come on, Sans,” Dow mengambil harness dari gantungan.

Sans yang semula akan kembali meringkuk akhirnya bangun dan melompat turun dari ranjang, mungkin sadar kalau tuannya sedang tidak enak hati. Beberapa saat kemudian mereka berdua menyusuri trotoar, menikmati sore hari yang sepi. Beberapa kali hati Dow berniat untuk mengajak Oi, dan Teri, tapi otaknya mengatakan bahwa dirinya butuh sedikit ruang terpisah dari cewek itu.

Komentar Will benar-benar mengacaukan otaknya! 

Tapi Dow benar-benar baru menyadari sekacau apa otaknya ketika dirinya berhenti di depan galeri milik Dad. 

“Oh, wow, jauh juga kita jalan,” komentar Dow pada Sans. Anjing itu tidak merespon, hanya menatap Dow dengan mata bulatnya. 

“Ayolah, kuambilkan minum,” kata Dow seraya membuka pintu galeri, menyuruh Sans masuk lebih dulu.

“Dow,” sapa Dad, dengan raut muka heran, lalu merunduk, menggaruk belakang telinga Sans. “Hei, Buddy.”

Sementara Dow mengambilkan minum untuk Sans di dapur.

“Kalian darimana?” tanya Dad ketika Dow meletakkan mangkok minum Sans di lantai.

“Jalan-jalan.”

“Jalan-jalan?” ulang Dad, satu alis beliau terangkat mendengar jawaban Dow.

“Iya, jalan-jalan, ada yang aneh?” Dow balik bertanya.

“Iya, aneh,” Dad mengangguk. “Kalian dari rumah, kan?”

Dow mengangguk.

“Dari sini ke rumah itu jauh, lebih jauh dari rumah ke sekolah, dan kau bukan tipe yang mau jalan kaki, kecuali dipaksa Oi. Lalu kau berharap aku tidak bertanya kenapa ini aneh?”

Dow terdiam, dia tidak bisa menyangkal pertanyaan Dad, karena beliau benar. Dirinya beruntung karena punya halaman belakang yang luas, jadi tidak perlu setiap hari membawa Sans jalan-jalan.

“Oh, hei, Dow,” sapa Patricia, salah satu pegawa galeri. “Sendirian?”

“Hei, Patricia,” Dow tersenyum. “Iya, hanya dengan Sans.”

Patricia seperti akan berkomentar lagi, tapi menahan diri. Wanita itu menghampiri Dad untuk memastikan beberapa jadwal pameran. Mengambil kesempatan ketika perhatian Dad fokus pada pekerjaan, Dow mengambil mangkok minum Sans, dan membawanya kembali ke dapur. 

“Kita bicara di belakang.” 

Dow nyaris terlonjak ketika Dad membuka pintu kulkas untuk mengambil dua kaleng soda. Sans mengekor di belakang Dad dengan sebuah boneka karet di moncongnya.

Agaknya Dow tidak bisa mengelak kalau ada sesuatu yang menganggu pikirannya. Bahkan Dad saja sampai bisa tahu. Tapi kalau dipikir-pikir, memang dari rumah ke galeri cukup jauh, sih. Kalau dirinya saja tidak sadar bisa berjalan sejauh itu, berarti masalah ini cukup serius, kan? 

“Oke,” Dow mengangguk, mengikuti Dad, dan Sans ke bagian belakang galeri yang biasa dipakai sebagai tempat bermain hewan piaraan pengunjung galeri.

Begitu mereka duduk di pinggir ruangan, Dow nyaris tidak butuh pemantik apapun sebelum ia menumpahkan semua kegelisahannya pada Dad, minus ucapan Will mengenai Oi.

“Wajar, kalau kau merasa terasing. Kau terbiasa menjadi yang mengatur segalanya, tiba-tiba mereka semua melakukan sesuatu yang biasanya kau lakukan juga, tapi kau hanya melihatnya dari pinggir lapangan,” Dad mengangguk simpati. Beliau mengambil beberapa boneka karet, dan dilemparkan pada Sans.

“Benar juga, memang seperti itu rasanya,” aku Dow. “Tapi aku juga merasa aneh, seperti tertinggal sesuatu. Memang tertinggal audisi, tapi seharusnya tidak masalah, kan? Aku memang nggak ingin pergi.”

“Mungkin karena semua teman-temanmu membujukmu untuk pergi juga, jadi perasaan ‘tertinggal sesuatu’ itu terasa lebih kuat.”

“Bisa jadi begitu,” Dow mengangguk. “Apa aku membuat kesalahan dengan nggak pergi?”

“Hanya kau yang bisa menjawabnya, kau yang lebih tahu apa yang terbaik untukmu. Menjadi vet tidak lebih buruk dari menjadi penari profesional, dan sebaliknya,” Dad membuka kaleng kola, meneguk isinya sementara Dow meresapi ucapan beliau.

“Anak-anak, mereka juga punya rencana lain selain menari,” kata Dow. 

“Pragmatis,” Dad mengangguk setuju. “Mereka mungkin memanfaatkan kesempatan yang ada. Apakah itu buruk? Tidak juga.”

Untuk kedua kalinya Dow terdiam, meresapi ucapan Dad. Bahkan Dad secara tidak langsung mengatakan bahwa dirinya ‘sebaiknya’ ikut audisi. Untuk sesaat ia hanya melihat Sans yang naik turun perosotan. Andai hidupnya seperti Sans.

“Oke, jawab pertanyaan ini sejujurnya untuk dirimu sendiri, kau tidak perlu menjawab pertanyaan ini sekarang. Apakah kau bersikeras tidak pergi audisi karena kau memang tidak tertarik untuk menjadi penari profesional, atau, kau takut setelah ikut audisi, kau menemukan pintu-pintu lain di luar menari?” tanya Dad.

Sekarang Dow benar-benar terhenyak dengan pertanyaan Dad. Mungkinkah begitu? Mungkinkah di alam bawah sadarnya ia tahut menemukan dunia lain yang mungkin akan menariknya lebih jauh dari cita-citanya selama ini? 

Dow meraih kaleng kola, membuka tutupnya, lalu meneguk dengan tegukan besar. Sekarang dirinya benar-benar punya PR yang lebih berat dari sebelum bicara dengan Dad.

“Jadi sekarang apa yang akan kau lakukan?” Dad memecah keheningan diantara mereka. “Terutama dengan studio tari. Kau tidak bisa ke studio sekolah karena mereka berlatih di sana, dan kau tidak nyaman dengan itu, kan?”

Kali ini giliran Dow yang mengangguk, mengiyakan pertanyaan Dad.

“Kau mau membuat studio di rumah?” tanya Dad.

Dow mengerjap, tidak yakin dengan pendengarannya sendiri.

“Studio?” ulang Dow.

“Yeah, kalau kau butuh tempat, kurasa kita bisa membuat studio di rumah. Ada beberapa kamar tamu yang bisa dipakai.”

“Ini yang kita bicarakan studio tari, Dad, nggak sama seperti membuat kamar tamu,” Dow tidak tahu bagaimana Dad bisa senteng itu menyarankan untuk membuat studio tadi di rumah.

Well, bukan studio profesional, hanya ruang untukmu untuk meluapkan emosi kalau tidak bisa ke studio sekolah,” Dad mengedikkan bahu, lalu menambahkan. “Kurasa kontraktor yang biasa bekerja di galeri bisa membantumu.”

Dow tidak bisa berkata-kata lagi. Untuk dukungan terhadap karir tarinya, Dad tidak pernah diragukan lagi. Beliau selalu yang terdepan. Dow ingat suatu kali, Dad hampir tidak ikut dalam pembukaan pameran salah satu pelukis terkenal hanya karena mengantarkan Dow mengikuti kompetisi tari. Beruntung saat itu pameran diundur, karena beberapa lukisan penting belum datang. 

Begitulah Dad, urusan tari Dow selalu menjadi yang nomor 1. Jadi, kenapa heran ketika Dad menyarankan untuk membuat studio tari di rumah? 

Satu lagi, alih-alih merasa lebih baik, Dow justru semakin galau.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ilona : My Spotted Skin
502      358     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
SEBUAH KEBAHAGIAAN
565      440     3     
Short Story
Segala hal berkahir dengan bahagia, kalau tidak bahagia maka itu bukanlah akhir dari segalanya. Tetaplah bersabar dan berjuang. Dan inilah hari esok yang ditunggu itu. Sebuah kebahagiaan.
The First
514      371     0     
Short Story
Aveen, seorang gadis19 tahun yang memiliki penyakit \"The First\". Ia sangatlah minder bertemu dengan orang baru, sangat cuek hingga kadang mati rasa. Banyak orang mengira dirinya aneh karena Aveen tak bisa membangun kesan pertama dengan baik. Aveen memutuskan untuk menceritakan penyakitnya itu kepada Mira, sahabatnya. Mira memberikan saran agar Aveen sering berlatih bertemu orang baru dan mengaj...
PROMISE
633      454     2     
Short Story
ketika sebuh janji tercipta ditengah hubungan yang terancam kandas
KETIKA SEMUA DIAM
1442      844     8     
Short Story
Muhammad Safizam, panggil saja Izam. Dilahirkan di kota kecil, Trenggalek Jawa Timur, pada bulan November 2000. Sulung dari dua bersaudara, memiliki hobby beladiri \"Persaudaraan Setia Hati Terate\". Saat ini menjadi seorang pelajar di SMK Bintang Nusantara School Sepatan Tangerang, prog. Keahlian Teknik Komputer & Jaringan kelas 11. Hub. Fb_q Muhammad Safizam
Yang Terlupa
449      255     4     
Short Story
Saat terbangun dari lelap, yang aku tahu selanjutnya adalah aku telah mati.
BORU SIBOLANGIT
541      315     8     
Short Story
Dua pilihan bagi orang yang berani masuk kawasan Hutan Sibolangit, kembali atau tidak akan keluar darinya. Selain citra kengerian itu, Sibolangit dikaruniakan puncak keindahan alami yang sangat menggoda dalam wujud Boru Sibolangit -Imora dan Nale, tidak sembarang orang beruntung menyaksikannya.
SENJA
562      435     0     
Short Story
Cerita tentang cinta dan persahabatan ,yang berawal dari senja dan berakhir saat senja...
Sweet Sound of Love
476      314     2     
Romance
"Itu suaramu?" Budi terbelalak tak percaya. Wia membekap mulutnya tak kalah terkejut. "Kamu mendengarnya? Itu isi hatiku!" "Ya sudah, gak usah lebay." "Hei, siapa yang gak khawatir kalau ada orang yang bisa membaca isi hati?" Wia memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kalau kamu juga senang." "Eh kok?" "Barusan aku mendengarnya, ap...
Layar Surya
1375      854     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...