Oi meletakkan pensil di meja, memicingkan satu mata ketika ia melihat Dow berjalan ke arahnya, tidak biasanya cowok itu ke kantin di jam-jam seperti ini.
Ada apakah?
“Kenapa melihatku begitu?” tanya Dow begitu sampai di depan mejanya.
“Selamat siang,” sapa Oi manis, ia mengambil pensil kembali, berniat kembali membuat sketsa.
Dow memutar bola mata, lalu menarik kursi di depan Oi.
“Tidak bisakah kau belajar di perpustakaan?” Dow mengangguk ke arah kertas-kertas sketsa bercampur buku sejarah. “Atau, fokus mengerjakan satu hal di satu waktu.”
Oi hanya berdecak sebagai jawaban, lalu kembali mengerjakan sketsa desain kostum. Untuk beberapa saat keduanya hanya diam, sibuk dengan dirinya mereka masing-masing.
“Darimana kau dapat fries?” tanya Dow memecah keheningan diantara mereka.
“In-N-Out.”
“Kau menyelundupkan makanan ke kantin sekolah?” tanya Dow.
“Jangan makan,” desis Oi. Ia meraup tas kertas berisi kentang goreng, Dow menepis tangan Oi, dan melanjutkan makan kentang goreng milik gadis itu.
Salah satu aturan di kantin sekolah adalah tidak boleh membawa makanan dari luar sekolah. Di satu sisi, menyenangkan karena ada ‘jaminan’ dalam hal kebersihan, kesehatan, dan lain-lain. Di sisi lain, untuk seorang seperti Oi yang lebih menyukai makanan ‘ringan’ dibandingkan makanan sehat, ada kalanya kentang goreng In-N-Out cukup berharga untuk diselundupkan.
Apakah kantin tidak menyediakan kentang goreng? TIDAK! Kalau kentang oven banyak, dan tentu saja, tidak ada yang mengalahkan kentang goreng In-N-Out.
“Hanya tanya,” cebik Dow.
Oi tidak menjawab, hanya melotot, sambil terus melanjutkan membuat sketsa di bukunya.
Keduanya kembali diam, Oi sibuk dengan sketsanya, sementara Dow tidak berhenti mengunyah kentang goreng sambil menatap Oi lekat-lekat. Merasa dirinya diperhatikan, Oi berhenti menggambar, meletakkan pensil, lalu melipat tangan di meja.
“Oke, ada masalah apa?” tanya Oi.
Satu alis Dow terangkat, tapi tidak bertanya apa-apa.
“Kau tidak makan, tapi duduk di sini, diam, nggak menggangguku, jadi pasti ada sesuatu,” Oi menghitung dengan jari.
Alih-alih menjelaskan pada Oi, Dow meregangkan punggung. Butuh beberapa saat bagi cowok itu sebelum akhirnya buka suara.
“Besok anak-anak akan berangkat audisi,” kata Dow.
“Dan kau tetap nggak mau ikut?” tanya Oi.
Untuk pertama kalinya sejak huru-hara audisi, Dow tidak secara otomatis menjawab ‘tidak’, ketika ditanya mengenai keinginannya untuk ikut audisi.
Menarik.
Sebagai salah satu orang terdekat Dow, tentu Oi menyadari hal sekecil itu, bahkan mungkin ketika Dow sendiri tidak menyadarinya.
“Chloe memberiku formulir,” aku Dow.
“What do you do about it?”
Dow mengedikkan bahu.
Oi pun ikut mengedikkan bahu, lalu kembali mengambil pensil ketika Dow bertanya.
“Kau nggak menyuruhku ikut audisi?” tanya Dow dengan raut muka keheranan.
“Aku sudah menyuruhmu berulang kali,” Oi mengingatkan.
Dow mengangguk-angguk. Tapi tidak berkomentar apa-apa.
Sungguh, sikap Dow yang seperti ini sangat aneh bagi Oi. Cowok itu terbiasa yakin dengan apa yang ia mau. Bahkan kemarin pun masih dengan penuh keyakinan menolak audisi, bahkan dengan mengancam segala.
Apakah ada sesuatu yang berubah?
Atau, sebenarnya dia ingin Oi terus membujuknya mengikuti audisi?
Sebenarnya Oi berniat untuk membujuk Dow ikut audisi, hanya saja, keraguan Dow dalam menjawab pertanyaannya membuat Oi mengurungkan niatnya. Ada sesuatu yang disembunyikan Dow, atau paling tidak, ada ‘sesuatu’ yang mengganggu cowok itu. Jadi, alih-alih mendesaknya, Oi mencoba strategi lain, membiarkan cowok itu mengeluarkan isi hatinya tanpa dipaksa.
Oh, menyenangkan sekali. Mungkin dirinya perlu belajar lebih jauh mengenai psikologi manusia?
“Apa kau senang kalau melihatku menari?” tanya Dow tiba-tiba.
“Huh?” Oi mengerjap, tidak siap dengan pergantian topik pembicaraan yang begitu mendadak. “Apa maksudnya?”
“Seseorang berkata kalau kau lebih antusias kalau berurusan dengan tarianku,” jelas Dow.
“Siapa?”
“Apanya?” ulang Dow.
“Siapa yang bilang begitu? Yang bilang aku lebih antusias dengan urusanmu menari.” Oi gemas dengan ketidak-fokusan Dow.
Giliran Dow menatap Oi seolah berkata, menurutmu-aku-akan-bilang-siapa-dia-?
Oi mengembuskan napas, tentu saja dia tidak akan bilang, tapi hampir bisa dipastikan salah satu temannya cowok. Jadi mungkin semacam kode sesama pria atau apalah. Hanya saja, apa benar dirinya lebih antusias kalau berurusan dengan tarian Dow?
“Apa kaitannya aku lebih antusias melihatmu menari, dan kau menolak audisi?” telisik Oi.
“Entah, kurasa nggak ada kaitan apa-apa,” Dow mengedikkan bahu.
“Jadi kenapa kau tanya?”
“Hanya ingin bertanya, kau tahu aku nggak suka dengan pertanyaan yang aku nggak tahu jawabannya,” Dow mencebik.
Menarik.
Jadi ada dua hal yang menarik yang mengganggu cowok itu. Apakah salah kalau Oi merasa sedikit senang dengan fakta bahwa dirinya punya peran yang signifikan dalam dua kasus ini?
Tanpa sadar Oi tertawa.
Dow menatap Oi dengan raut muka jengkel. Tidak bisa disalahkan, karena dia sedang dalam konflik internal, sedangkan Oi malah menertawakannya.
“Sorry, menurutmu kau lebih antusias daripadaku kalau berurusan dengan sketsa yang kubuat?” Oi menunjuk kertas-kertas sketsa di meja, berusaha mengalihkan perhatian Dow.
“Kau bisa, kan, menjawab pertanyaan dengan jawaban?” protes Dow jengkel.
“Karena disitulah jawaban dari pertanyaanmu, Dow, Sayang,” Oi tersenyum manis, terlalu manis, malah.
“Tapi aku nggak pernah antusias dengan hobimu mengumpulkan data orang meninggal ratusan tahun yang lalu,” protes Dow lagi.
Oi kembali terbahak. Tentu saja.
“Bukan tentang kematian, jangan memutar balik kata-kataku. Maksudku aku pun sama seperti itu, meskipun kalau dibandingkan dengan dirimu, aku memang lebih dengan hobimu, daripada kau menyukai hobiku,” Oi menjulurkan lidah.
“Kau masih lama? Sepertinya aku akan makan,” Dow bangkit, dan kembali meregangkan punggung.
Sontak kedua mata Oi membulat, tangannya meraih kantong kentang goreng yang kosong.
“Kau habiskan?!”
Dow mengedikkan bahu.
“Belikan lagi!” Oi melotot kesal.
“Aku nggak akan keluar pagar sekolah, demi fries,” tolak Dow mentah-mentah.
Oi kembali cemberut, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, karena dia juga tahu Dow benar. Mungkin nanti pulang sekolah dia akan memaksa Dow membelikannya kentang goreng.
Beruntung kantin sekolah tidak hanya menyediakan makan siang, tapi buka sepanjang hari, selain itu vending machine tersebar di seluruh penjuru gedung. Jadi untuk yang tinggal di sekolah untuk berbagai kegiatan ekstrakurikuler, mereka tidak perlu takut kelaparan. Terutama anak seni yang hampir bisa dibilang hari-harinya dihabiskan di sekolah.
Tidak lama kemudian, Dow kembali dengan nampan makan, beberapa kotak susu kedelai, dan berbagai makanan kecil.
“Oh, wow, terima kasih banyak!” kedua mata Oi membulat ketika melihat banyaknya makanan, dan minuman yang dibawa Dow.
“Aku heran, bagaimana perutmu masih punya tempat untuk menyimpan makanan,” komentar Dow sambil menunggu Oi membuatkan tempat untuk meletakkan makanan di meja.
“Metabolismeku bagus,” jawab Oi asal.
“Whatever,” Dow duduk begitu Oi menyimpan sebagian besar kertas, dan buku yang semula berserakan di meja.
“Itu kau sudah membuat sketsa desain, memangnya kau sudah tahu apa yang kau perlukan?” tanya Dow ketika Oi merapikan kertas-kertas sketsa.
“Meskipun aku belum tau, tidak ada ruginya membuat sketsa,” Oi menepuk kertas-kertas tersebut dengan senyum kebanggaan.
“Kurang apa, sih, skenarionya?” tanya Dow lagi.
“Katanya, sih, karena banyak orang tua yang protes,” Oi mencomot wortel kukus dari nampan Dow.
Camilan-camilan seperti inilah yang disediakan sekolah, padahal, kentang goreng jauh lebih enak kalau dibandingkan dengan wortel kukus. Tapi tentu saja manajer kantin tidak setuju dengan pemikiran Oi.
“Protes?” ulang Dow.
“Kau tahulah, ide, dan paham orang tua hampir selalu bertentangan dengan anak muda,” Oi mengedikkan bahu.
“Darrell bagaimana?”
Darrell, kakak kelas mereka berdua, dan si ketua panitia festival yang juga merupakan presiden klub drama sekolah.
“Tentu dia berusaha mencari jalan tengah. Kemarin Mrs. Hilliard sempat berkata, kalau tetap ribut, kembali saja ke tema klasik. Tapi masalahnya, waktu sudah mepet. Hampir nggak mungkin mengubah semuanya, dan kalau hanya untuk drama yang mengambil tema klasik, jadinya aneh, karena dari semua disiplin tidak ada yang full on klasik, semuanya perpaduan,” jelas Oi.
“Pertanyaannya, kenapa kita harus meminta pendapat orang tua? Sudah tahu hasilnya pasti akan seperti ini,” gerutu Dow. Ia menyendok Mac and Cheese satu sendok penuh, seolah untuk menunjukkan kekesalannya.
“Mereka punya lebih dari 50% suara karena mereka yang mendanai festival ini,” Oi mengingatkan.
“I forgot money can buy anything you want.”
Oi terkekeh.
“Senjata para orang tua yang paling ampuh memang, sih,” kata Oi. “Kau ingat dulu orang tuamu membujukmu untuk ikut kompetisi menari dengan mengizinkanmu mengadopsi Sans?”
“Beda, lah,” kilah Dow.
“Apa bedanya? Kau pikir mengadopsi Sans nggak membutuhkan uang?”
“Iya, juga, tapi bukan untuk blackmailing, begitu juga,” Dow mengangguk-angguk, mengiyakan ucapan Oi.
“Apa sekarang kau masih butuh suap?”
“Aku sudah bisa makan sendiri,” Dow menunjukkan bagaimana ia menyuap Mac and Cheese dari nampan.
“Audisi, Dow, audisi!” Oi berdecak. “Dulu kau disuap dengan Sans, kali ini disuap dengan apa?”
“Aku nggak perlu disuap dengan apapun,” tandas Dow.
“Tapi kalau misalnya memungkinkan? Kau pasti punya keinginan, kan?” desak Oi.
“Tadi kau bilang nggak akan menyuruhku ikut audisi?” Dow mengingatkan.
“Kapan aku menyuruhmu audisi? Aku, kan, bertanya kau ingin apa?” Bukan Oi namanya kalau tidak pandai bersilat lidah.
“Oh … nggak, nggak, kau nggak akan mengatakan apapun ke orang tuaku.”
Oi hanya tersenyum manis.
“Olivia, aku serius.”