Mata Zindy menatap ke arah luar lobi sekolah itu. Langit mendung masih nampak suram. Hujan turun tanpa ampun.
“Kamu bareng sama aku aja. Sopirku udah sampe di gerbang depan. Nanti aku antar sampai rumah!” Rara menatap ke arah seseorang di halaman sekolah.
Nampak dua orang sosok memakai jas hujan. Keduanya membawa payung yang besar. Sosok itu seorang pria dan seorang wanita.
“Non Rara, maaf telat. Tadi jalannya macet. Sini tasnya Bibi bantu bawain. Tuan sama Nyonya udah di rumah. Bibi juga suruh jemput. Takut Non kehujanan karena bawa tas.”
“Tasku kecil, bisa bawa sendiri. Tapi ya udah deh.” Rara menyerahkan tas kecilnya pada Bibi itu. “Aku bukan anak kecil lagi ya. Cuma hujan begini nggak bakal bikin sakit.”
“Iya. Tapi Nyonya sama Tuan khawatir, Non. Mari kita pulang.” Ujar sosok lelaki itu.
“Zin, ayo bareng. Aku antar sampai rumahmu. Di luar masih hujan badai, lho.” Ajak Rara.
“Nanti motorku gimana? Aku nggak mungkin ninggalin di sekolah. Besok aku nggak bisa berangkat ke sekolah tanpa motor itu.” Zindy menolak secara halus.
“Bisa diantar sama Kalib. Dulu kan pernah diantar juga kan?” Rara menarik tangan Zindy.
“Nggak. Makasih. Aku nggak mau merepotkan Bang Kalib lagi. Kasihan dia, nanti terlambat ke tempat PKL. Kamu duluan aja, Ra.”
“Ya udah. Aku duluan ya. Kabarin kalo udah sampai rumah. Aku balik dulu!” Rara melambaikan tangan kepada Zindy. Mata Zindy terus fokus menatap ke arah Rara.
Hidup orang lain kok kayaknya mulus amat ya. Enak gitu. Nggak banyak lubang dan paku. Nggak boleh iri tapi tetap aja itu perasaan manusiawi kan?
Nampak Rara seperti seorang putri. Dia berjalan sambil dipayungi. Tasnya dibawakan oleh Bibi asisten rumah tangga. Sepatunya juga dibawakan oleh sopirnya. Dia berjalan pelan menuju mobil mewah yang terparkir di luar gerbang sekolah.
“Kapan ya hujannya reda? Hari sudah gelap. Pengen pulang tapi takut. Motorku udah tua, kalo kebanjiran di jalan bisa mogok.” Zindy menghela napas panjang.
Suatu saat pasti akan ada dimana hidupku indah kan? Kayak cuaca ini. Nggak mungkin hujan badai terus.
Terdengar langkah kaki menuju lobi sekolah. Zindy refleks menoleh ke arah suara itu. Wajah sosok itu familiar di kepala Zindy.
“Kamu belum pulang?” Leon tanpa ragu menyapa. Dia duduk di space yang kosong di bangku panjang itu.
“Belum. Aku nunggu hujan reda. Motorku udah tua. Takut mogok kalo kena air banjir di jalan.” Mata Zindy fokus menatap ke arah luar. “Kamu nggak pulang?”
“Motorku baru diservis. Ini baru nunggu sopirku buat jemput. Mau pake taksi online tapi kata Mama suruh jemput aja.” Leon melepas jaket yang dia gunakan. “Nih, pakai!” Jaket itu diserahkan kepada Zindy.
“Heh?” Zindy terpaku dan termenung. Dia heran dengan sikap Leon. “Buat apa?” Suasana hening sejenak.
“Nona wirausahawan muda nggak boleh sakit. Nanti kalo sakit kamu nggak bisa jualan. Pasti dingin, nunggu hujan reda.” Jaket itu langsung dipakaikan ke bahu Zindy.
Jantung Zindy langsung berdegup kencang. Siapa yang tak salah tingkah mendapat perhatian dari cowok tampan seperti Leon. Bahkan Zindy tertunduk. Dia tak berani menatap mata Leon.
“Semangat ya. Nggak usah pikirkan omongan julid. Orang yang kuat dan mandiri sepertimu makin jarang.” Leon mengacungkan jempol.
Mimpi apa gue semalam? Kapten tim basket secakep Leon minjemin jaket ke gue. Gila, ini berkah ya?
“Ma…ka…sih….” Sahut Zindy lirih.
“Aku pulang dulu ya. Itu sopirku udah jemput. Sukses terus dagangnya.” Leon beranjak pergi. Seseorang pria datang membawakan payung untuknya. Zindy terus menatap ke arah Leon pergi. Hujan mulai reda.
Zindy tetap termenung di lobi. Dia masih menatung di dalam jaket Leon. Wangi parfum yang segar dan maskulin dari jaket itu masih berasa. Itu adalah parfum yang biasa digunakan Leon. Dia menghela napas.
“Nggak boleh GR. Dia mungkin cuma baik.” Zindy melepas jaket itu.
“Kamu ternyata di sini!” Suara yang familiar mendekat ke arah Zindy.
“Abang Kalib! Kapan kamu di sini?” Zindy kaget dengan kehadiran Kalib di lobi sekolah itu.
“Aku khawatir. Hujannya kencang dan pake angin. Motormu bisa mogok. Makanya aku susul waktu udah agak reda.” Kalib menatap jaket yang ada di tangan Zindy. “Jaket siapa ini?”
“Oh, jaket temen kok, Bang.” Zindy tertunduk.
“Ehm begitu. Ya udah. Ayo kita pulang. Ibumu pasti khawatir.” Kalib membawakan keranjang belanja Zindy.
Apa aku punya saingan? Itu jaket untuk cowok. Bau parfumnya juga bukan parfum cewek.