"Karena takut kehilangan lagi, kau malah bertindak bagai sistem yang terisolasi. Tetapi karena itu, kau seperti sistem yang stagnan tanpa perkembangan."
❤️❤️❤️
"Jadi metabolisme adalah proses reaksi dalam tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan menghasilkan ATP yang digunakan untuk mensintesis molekul lebih kompleks bagi tubuh."
Suara dosen yang mengisi kekosongan masih terdengar nyaring di pertengahan jam perkuliahan, memberikan materi bagi mereka yang terlihat enggan mengerti. Bagaimana tidak, sebagian dari mereka ada yang baru selesai mengerjakan laporan yang dikumpulkan hari ini. Salah satunya Alanin. Lihat saja sekarang mukanya yang terlihat sayu, mulutnya terus menguap, matanya menahan kantuk. Dalam hatinya ia terus berjanji untuk tidak lagi mengerjakan tiga laporan sekaligus dalam satu malam. Oh sungguh Alanin harus menepati janjinya ini.
"Kalo kayak gini terus gimana aku bisa istirahat," celetuk teman disampingnya dengan suara pelan.
Alanin menoleh. "Kamu juga begadang, Ri?"
Hikari mengangguk. "Iya, kita kan selalu penuh jadwal, jadi mau gimanapun cuma bisa ngerjain H-1."
Betul yang Hikari katakan, Alanin semakin meringis.
Perkuliahan terus berlanjut sampai akhirnya tiba di penghujung waktu, membuat Alanin menghembus napas lega. Tetapi penjelasan terakhir dari sang dosen membuat Alanin berpikir mengenai maknanya.
"Dalam hubungan sosial antar manusia, metabolisme adalah proses bagaimana kita bertumbuh dari lingkungan yang membentuk kita. Semuanya seperti reaksi katabolisme dan anabolisme yang saling melengkapi untuk memberikan produk terbaik bagi tubuh, begitupun dengan kehidupan yang terus mengalami degradasi dan perbaikan untuk memberikan versi terbaik untuk diri kita. Jangan terus terpaku pada molekul kecil, tapi bertumbuhlah dari prosesnya."
Kata-kata penutup itu membuat satu kelas berdecak kagum, bahkan teman di sebelah Alanin yang sedari tadi membenamkan wajahnya tertidur lelap kini sudah menampilkan matanya yang segar. Memang tak dipungkiri oleh Alanin, bahkan rasa kantuknya pun kini tiba-tiba sudah mengua--bagai etanol--setelah perkuliahan di akhiri. Tapi bukan itu yang Alanin pikirkan, melainkan kata-kata dari dosennya.
Alanin pikir ia adalah yang terpaku pada molekul kecil itu, pada trauma dan lukanya yang lebih ia pilih untuk dipendam sendiri tanpa mau menyembuhkan. Alanin terlalu sakit hanya untuk mengenang. Ia belum siap untuk membuka luka yang tak sembuh. Oleh karena itu Alanin lebih memilih untuk tak menghadapinya, lari dari kenyataan bahwa kehidupannya tak berguna. Alanin mengerjap kaget setelah tepukan di bahu dari temannya sukses membuyarkan lamunan.
"Kelas udah selesai ya, mau di sini terus sampe kapan, Nin?" tegur Dara.
"Eh maaf aku malah ngelamun," sahut Alanin kemudian bangkit dari duduknya, mengikuti langkah temannya yang kini menuju warung untuk membeli makan.
Alanin yang juga sama belum menyuap satu butir nasipun kini ikut memesan satu porsi nasi dan lauk, tak lupa satu cup es kopi agar kantuknya dapat ditahan. Karena setelah ini akan ada presentasi untuk kelompoknya yang sudah Alanin siapkan tadi malam di sela-selanya menulis laporan.
"Baru juga makan, Nin, emang lambung aman langsung nelen kopi?" celetuk Dara memastikan kondisi Alanin. "Begadang semalaman, baru makan. Ya kalo emang kuat sih sok aja, tapi kalo ngeluh sakit jangan ke aku ya," tambahnya mencecar Alanin.
Alanin memberengut. "Aku mau presentasi, Ri, takut ngantuk makanya beli kopi," sahut Alanin beralasan.
"Sumpah ya ni anak susah banget dibilangin, kalo maag nya udah kambuh baru dah mampus." Hikari menyerah untuk menasehati Alanin lebih lanjut, karena ia paham bagaimana keras kepalanya Alanin.
Alanin tak menanggapi lagi. Ia menengadah ke atas langit, rupanya cuaca juga sedang mendung, seperti sedang mengekspresikan bagaimana yang dirasakan Alanin saat ini. Badannya lelah, tapi pikirannya memaksa kuat. Karena tadi malam Alanin tak hanya mempersiapkan presentasinya, tapi juga sedikit membenarkan hasil kerja dari kelompoknya. Meski sudah diprotes bahwa tak usah mengubah hasil kerja teman-temannya, tetapi Alanin tetap melakukannya karena tidak bisa melihat hal yang tak sempurna di matanya. Alhasil Alanin hanya memberikan kata maaf untuk teman satu kelompoknya yang merasa dirugikan dirinya.
"Mba, pesenan nasi ayamnya udah jadi."
Ketika mendengar itu, Alanin buru-buru mengambil dan membayarnya. Begitupun dengan Hikari.
"Ri, kamu sendirian aja ya ke kelas, aku mau gabung sama kelompokku dulu buat bahas presentasi," ucapnya sambil berlalu pamit dari hadapan Hikari dan mulai bergabung dengan kelompok presentasinya di sebuah tempat duduk paling ujung yang disediakan warung ini.
Salah satu temannya mengawali diskusi, berlatih untuk menjelaskan. Alanin diam di tempatnya karena masih merasa bersalah pada mereka perihal semalam. Hingga tiba gilirannya untuk menjelaskan, bagian Alanin lumayan sulit sehingga membuat penjelasannya sedikit lebih lama dibanding yang lain. Membuat mereka merasa jengah.
"Alanin, ini cuma latihan doang, jangan lama-lama plis," celetuk salah satu temannya.
"Iya tau ngga, buang-buang waktu kita," timpal yang lain.
"Bentar lagi udah mau mulai loh kelasnya, dan aku belum latihan cuma gara-gara dengerin penjelasan kamu."
Alanin berhenti dari kegiatannya yang sedang menjelaskan, lagi dan lagi, ia merasa tak enak hati kepada kelompoknya karena keperfeksionisan dirinya. Alhasil ia mengakhiri penjelasannya, mempersilakan yang lain untuk berbicara. Sambil memperhhatikan, Alanin meneguk es kopinya. Namun baru satu teguk tapi sudah membuat perutnya tak nyaman. Alanin hanya berdoa bahwa ia tak akan pingsan ketika presentasi berlangsung yang akan membuat kacau persiapan kelompoknya.
Setelah usai, Alanin pamit pergi. Mengasingkan diri untuk menenangkan degup jantungnya--yang disebabkan kopi--sebelum kelas dimulai dan ia presentasi. Ia menyusuri lorong, melewati halaman, untuk menuju sebuah bangunan tua tempat favoritnya. Perpustakaan. Di sanalah Alanin kini berada. Menikmati es kopinya meski dengan degup jantung yang berdebaran, dengan buku yang sudah ada di depannya. Tetapi aneh, mengapa sekarang ia tak merasakan perutnya sakit lagi akibat kopi ini, apakah mungkin tadi karena ia berada di lingkungan yang tak nyaman sehingga membuat respon tubuhnya juga tak nyaman.
Alanin mulai menenggelamkan dirinya pada buku di depannya, memetik pengetahuan-pengetahuan baru mengenai topik dari presentasinya agar ia bisa memahami dan menjelaskan kepada teman-temannya nanti. Tapi atensinya justru beralih pada grup diskusi di sebelahnya, para mahasiswa yang sedang membahas sebuah acara PKM dengan bidang riset sosial humaniora.
"Kalo emang kita mau fokus pada isu tentang mental health nih ya, kita bisa fokus ke permasalahan remaja sih," usul salah satu di antara grup diskusi itu.
"Eh boleh tuh, setuju gua. Secara kan di umur segitu yang rentan mengalami trauma ya, dari hormon pubernya dan juga dari lingkungan yang mempengaruhi," timpal yang lainnya menyetujui.
"Iyakan, kenapa gue ngusulin itu, karena sekarang lagi banyak banget ga sih berita yang infoin kasus putus cinta remaja yang berujung memakan korban," jelas orang pertama tadi.
"Ih iya bener itu bener, belum lagi mereka yang pacaran itu karena kurangnya belas kasih sayang dari keluarganya." Satu-satunya perempuan yang ikut di sana kini ikut menyetujui.
"Eh tapi menurut gua ya, korban yang paling parah dari trauma itu tuh yang malah menutup diri dan enggan buat sembuh. Mereka yang kayak gitu beranggapan bahwa hidup mereka udah berakhir setelah putus dari orang yang mereka anggap sebagai rumah, sehingga ketika rumah itu pergi mereka hilang arah kemudian mengisolasi diri mereka. Mengunci diri mereka yang sebenarnya, ngga minta pertolongan karena udah trauma dan udah gitu aja ngga ada perkembangan." Salah satu dari mereka berpendapat, yang malah itu membuat gadis yang duduk terpisah satu meja di antara mereka kini termenung.
Alanin yang tak fokus pada bukunya sehingga ia memilih untuk merenung saja sambil mendengarkan, kini mulai berpikir tentang bahasan mereka yang mirip-mirip dengan masalah Alanin. Ia adalah salah satu dari remaja yang tertutup dan terisolasi itu. Menempatkan dirinya pada ruang kosong, gelap, dingin tak tersentuh. Seperti sistem terisolasi dalam ilmu termodinamika, tidak adanya pertukaran energi dan materi. Seperti itulah Alanin yang sekarang, takut kehilangan lagi yang membuatnya tidak bertumbuh menjadi dirinya yang baru.
Dia tercekat ketika melihat panggilan di layar smartphone nya dari salah satu teman kelompoknya, ia pun baru sadar bahwa dirinya terlambat masuk kelas karena asik tenggelam dalam dunianya sendiri. Saking terburunya, Alanin sampai tak melihat orang yang berjalan di belakangnya sehingga tak sengaja terseggol. Alanin tak mencoba untuk memastikan orang itu siapa, ia hanya segera meminta maaf dan bergegas pergi mengejar keterlambatannya.
Alanin berlari tergesa, nafasnya memburu. Niat untuk menenangkan diri malah tak jadi, kini ia hanya berdoa semoga dosennya tidak memarahinya karena terlambat. Tepat saat ia membuka pintu dan masuk kelas, tibalah pada gilirannya. Alanin berjalan tergesa dan meminta maaf karena keterlambatannya. Nafasnya yang masih belum teratur membuat dirinya merasa lemas, kini bahkan ujung-ujung jarinya juga tiba-tiba merasakan dingin, bibirnya pun pucat dengan mata yang sedikit mengabur. Mulutnya mulai mengeluarkan suara, memaparkan hasil diskusi kelompoknya. Namun di pertengahan, ia merasakan perutnya seperti tertusuk karena efek berlari setelah makan tadi. Namun ternyata sakitnya itu kini disusul rasa panas dan sesak di dadanya, kalimatnya kini mulai kacau dan rancu. Hingga ketika suara dari teman-temannya berteriak khawatir tak lagi terdengar dari telinga Alanin.
❤️❤️❤️
Gelap, sepi, dan menyiksa. Kini ia mengerjap untuk menjemput cahaya supaya menyiram retina matanya. Ia bertanya-tanya keberadaan dirinya di mana, tetapi kepalanya masih terasa pusing, sehingga ia lebih memilih untuk diam entah untuk menunggu siapa. Derapan langkah dari jauh terdengar, perlahan memperlihatkan sosok dosen yang tadi mengampunya, bu Aida. Alanin berusaha bangkit merasa tak enak hati.
"Apa sudah reda sakitnya?" Kalimat pertanyaan dari bu Aida disahut gelengan dan jawaban pelan dari mulut Alanin. "Lain kali mulai atur jadwalnya dan jaga kesehatan ya, saya dengar dari teman-teman kamu katanya kamu mengerjakan tiga laporan sekaligus dan juga mengerjakan tugas presentasi, udah gitu belum ada asupan gizi yang sehat kamu malah minum kopi," ujar bu Aida menasehati Alanin.
"Iya, Bu, terima kasih atas nasihatnya," balas Alanin masih dengan suara yang pelan.
"Kalau begitu saya pamit pergi dulu ya, kelas masih belum selesai. Kamu di sini sendirian bisa, kan?" tanya bu Aida memasttikan karena tak enak hati meninggalkan orang sakit.
"Iya, Bu," jawab Alanin singkat yang kemudian membuat bu Aida bisa pergi untuk melanjutkan kelasnya.
Kini Alanin sendiri lagi, hanya dentuman jarum jam analog yang berada di ujung terdengar di telinganya. Sepi dan sunyi seperti yang selalu Alanin rasakan. Meski begitu pikirannya kian ramai, tentang teman sekelompoknya yang apakah akan memarahinya lagi? atau nilainya yang akan berkurang karena keteledoran dirinya. Di balik ketenangannya tak membuat isi kepala Alanin berhenti. Tetesan infus yang tersambung pada dirinya membuatnya nampak sangat menyedihkan. Alanin sungguh tak bisa untuk tak kecewa pada dirinya sendiri.
❤️❤️❤️
Di tempat lain, tepatnya di perpustakaan universitas, sebuah grup diskusi masih asyik mengobrol. Apalagi setelah mereka tadi melihat kedatangan salah seorang yang mereka tunggu kehadirannya malah bertabrakan dengan perempuan, sehingga tak lagi pada jalurnya. Mereka malah membahas mengenai masalah percintaan mereka. Dan di sinilah kita mengenal Argon, cowo dari jurusan Kimia yang tak pernah merasakan rasanya mencintai dan dicintai.
Salah satu dari temannya di grup diskusi tadi yang juga ikut andil dalam proyek mengakhiri pecakapan pembullyan pada Argon. Sedangkan sejak tadi Argon sama sekali tidak peduli dan juga tidak memiliki pendapat mengenai materi, ia hanya ikut andil dalam proses penyusunan acara saja. Karena jujur, Argon sama sekali tidak tertarik pada pembahasan mengenai percintaan. Baginya percintaan hanyalah sebuah reaksi ionik untuk unsur yang membutuhkan atau kelebihan elektron, sedangkan dirinya itu bagai gas mulia yang stabil dan tak mau terlibat dalam reaksi apapun.
Karena pemikirannya itu membuat ia menjadi bahan ledekan, menurut teman-temannya Argon ini memiliki pemikiran yang terlalu ilmiah. Meski tak heran karena Argon tumbuh dari lingkungan yang sangat ilmiah sehingga juga berpengaruh pada perkembangan otak dan persepsinya terhadap dunia. Bahkan karena fakta itupun ledekan untuk dirinya semakin bertambah, tentang Argon yang sudah seperti robot rancangan untuk mewarisi orang tuanya kelak. Bahkan namanya Argon pun juga diambil dari salah satu unsur kimia dari golongan gas mulia, yang artinya orang tua berharap agar Argon ini selalu stabil sesuai harapan orang tuanya.
Argon mencoba untuk mengembalikan fokus teman-temannya kembali pada bahasan mengenai proyek yang akan diselenggarakan, karena ia pun sudah jenuh hanya membahas ini terus-terusan tanpa progres. Hingga sudah sore hari, mereka menutup pembahasan mereka dan memasukkan laptop masing-masing.
Argon keluar lebih dulu karena ia sudah harus menjenguk ibunya yang berada di rumah sakit. Ibunya itu meski selalu tidak puas dengan dirinya, bagaimanapun tetap seorang ibu bagi Argon yang sudah berjasa untuk kehidupannya. Tumbuh dari lingkungan yang selalu menuntutnya untuk menjadi yang terbaik membuat Argon menjadi dirinya yang sekarang, berusaha menyingkirkan apapun kemauannya untuk memenuhi tuntutan orang tuanya. Karena bagi orang tuanya, selain karir dan pendidikan, semuanya hanyalah kegiatan yang hanya membuang-buang waktu saja.
Argon memasuki rumah sakit. Derap langkahnya mengarah ke ruangan yang ingin ia tuju, tapi sebuah tubuh yang kini tersungkur karena bertabrakan dengannya membuatnya menoleh dan hendak membantu berdiri. Tetapi sebelum itu terjadi, dahinya memunculkan kernyitan tanda kebingungan.