Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sendiri diantara kita
MENU
About Us  

SUDAH seminggu sejak Arien sadar di ranjang rumah sakit. Ia sudah pulang. Sudah kembali ke sekolah. Sudah berusaha bersikap seperti "dirinya"—meskipun apa pun itu, ia sendiri belum tahu.

Setiap langkah di lorong sekolah terasa seperti menyusuri tempat asing. Orang-orang menyapanya, melambai, menyebut namanya seperti teman lama. Tapi Arien hanya bisa membalas dengan senyum kecil, atau anggukan pelan. Ada yang kosong. Ada yang tak nyambung.

Geng yang katanya dulu paling dekat dengannya—ABAS—tidak lagi terasa seperti rumah. Hannah hanya sempat mengangguk saat berpapasan. Jasmine mengucap "halo" singkat di tangga. Dwipa yang biasanya ramai malah cuma senyum tipis dari kejauhan. Laras? Bahkan belum berani menatap matanya lama-lama.

Mereka seperti menunggu sesuatu. Mungkin menunggu Arien jadi "Arien yang dulu". Tapi Arien bahkan tak tahu siapa versi dirinya yang dulu itu.

Ia lebih banyak diam. Mengamati. Bertanya-tanya dalam hati: apa benar ia begitu dekat dengan mereka?

Tiap kali Arien melewati rak-rak buku menuju ruang baca sepulang sekolah, langkahnya jadi pelan. Di sanalah tempat yang tidak menuntut ingatan. Hening. Aman. Netral.

Siang itu, ia sempat melihat Elen di pinggir lapangan basket. Duduk sendiri di bangku kayu, menggenggam sebotol minum. Mereka sempat bertukar pandang. Tapi tak satu kata pun keluar.

Saat Arien masuk ke perpustakaan dan mengambil tempat duduk di sudut ruangan, suara langkah pelan menghampiri dari arah rak belakang.

"Arien?"

Suara itu. Lembut, agak tergetar. Tapi anehnya... hangat.

Ada sesuatu di suaranya yang terasa seperti... ingatan yang tak berhasil ditangkap.

Arien menoleh perlahan. Ivan berdiri di sana. Membawa buku. Dan mungkin, sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.

***

Di pojok dekat rak buku sejarah, Arien duduk disana. Tangannya membalik halaman buku dengan lembut, matanya yang tengah menikmati huruf yang ada dibuku berpaling ketika Ivan datang. Ivan sendiri menatap gadis didepannya lama, matanya menyapu Arien dari ujung rambut ke ujung sepatu, cepat, tapi cukup untuk melihat sesuatu yang berbeda dari gadis itu hari ini.

"Baca buku? " Ivan bertanya, Basa-basi

Arien mengangguk "entah kenapa disini terasa nyaman. Mungkin karena buku tidak menuntut ingatan kembali"

Ivan hanya tersenyum tipis, senyum yang tulus. Senang melihat Arien berkembang

“Elen bilang kamu suka buku,” Arien yang bicara kali ini. “Bener?”

Ivan mengangguk. “Kalau lagi nggak bisa tidur.”

“...Akhir-akhir ini aku juga begitu,” bisik Arien sambil memainkan ujung lengan seragamnya. “Tapi bukan karena mikirin buku.”

Ivan tidak langsung menjawab.

 “Karena mimpi?”

Arien menoleh, heran. “Kamu tahu?”

Ivan menunduk, tersenyum tipis, tapi lelah. “Kadang orang yang kehilangan bagian dari dirinya, justru lebih sering melihat potongan itu dalam mimpi.”

Arien terdiam. Pandangannya mengarah ke jendela, lalu balik lagi ke Ivan.

“Di mimpi itu… ada kamu.”

Suasana seketika terasa lebih berat.

Ivan membeku sesaat, lalu mencoba tertawa pelan, menutupinya dengan senyum. “Yah, mungkin karena kita satu sekolah?”

“Tapi kamu beda,” Arien menyipit. “Di mimpi itu kamu kayak... bukan cuma teman sekolah. Aku ngerasa... deket. Tapi nggak bisa inget kenapa.”

Ivan menatap Arien lama.

“Mungkin... karena kita pernah berbagi diam yang sama.”

Arien mengerutkan dahi. “Itu maksudnya?”

Ivan menghela napas. “Nggak semua yang dekat harus punya banyak kata. Kadang... yang paling kita simpan dalam diam, justru yang paling dalam.”

Ada jeda hening.

Arien akhirnya bicara lagi. “Aku pengin inget semuanya.”

Ivan menggenggam bukunya kuat. Lalu berkata sangat pelan, “Kalau kamu ingat... kamu mungkin bakal sakit hati lagi.”

“Tapi setidaknya aku tahu kenapa aku sakit hati.”

Suasana kembali sunyi. Di luar, angin mulai meniup ranting-ranting. Daun-daun beterbangan menempel di kaca perpustakaan.

Ivan menarik napas panjang. Lalu, untuk pertama kalinya, dia tidak menahan diri.

“Arien… kamu bukan cuma bagian dari mimpi. Kamu... pernah jadi pusatnya.”

Arien menatapnya, kali ini lebih lama.

Tak ada jawaban. Tapi untuk pertama kalinya, mata Arien menunjukkan tanda… bahwa ia percaya pada sesuatu, walau belum tahu itu apa.

***

Langit sudah mulai berubah warna ketika Elen menghentikan langkahnya di pinggir lapangan. Ia tidak berniat mampir. Tadinya ia hanya ingin mengambil air di kantin sekolah sebelum pulang. Tapi langkahnya membeku begitu melihat satu sosok yang tidak asing berdiri di tengah lapangan basket.

Arien.

Sendirian.

Tangannya sibuk memantulkan bola. Sendirian, lalu menembakkan nya ke ring

Masuk. 

Elen menahan napas.

Ada rasa asing yang menjalar perlahan—bukan karena Arien berubah, tapi karena Arien terlihat seperti dirinya sendiri, tapi bukan dirinya yang dulu. Ada gerakan kecil yang Arien lakukan dengan kaki dan bahunya. Gerakan latihan pencak silat. Refleks. Terlatih.

Tapi itu bukan latihan. Itu... pencarian.

Elen memegang tiang ring basket di sebelahnya, tubuhnya bersandar ringan. Ia ingin menyapa. Ingin bicara. Tapi sesuatu menghentikannya.

Arien mendadak berhenti di tengah, lalu menengadah.

Langit mulai jingga.

Mata Arien menyipit seperti sedang mencoba mengingat sesuatu—atau mungkin menghapus sesuatu. Tak ada satu pun ekspresi yang keluar dari wajahnya. Tapi Elen tahu betul, Arien yang biasanya menyimpan terlalu banyak di balik diamnya, dan sekarang bahkan diam itu terasa hampa.

Elen menggigit bibirnya.

Ia mengeluarkan ponsel, mencoba menyalakan kamera, tapi ia tak jadi memotret. Rasanya... tak pantas. Seperti sedang mengabadikan seseorang yang hilang—dan belum tentu kembali.

Ia akhirnya berbalik, melangkah menjauh. Tapi suara Arien terdengar pelan, tanpa menoleh:

 “Kamu ngintipin aku, ya?”

Elen berhenti. Menoleh setengah.

“Enggak. Cuma lewat,” jawabnya cepat.

Arien mengangguk kecil, masih tak menatapnya. “Kalau kamu ketemu aku sebelum ini… aku orang yang kayak gimana?”

Elen terdiam.

Lalu menjawab pelan, nyaris berbisik.

 “Orang yang bisa bikin ruangan paling ribut pun jadi terasa hening.”

Arien menunduk, lalu berkata, “Aku rasa... itu bukan aku sekarang.”

Elen tidak menjawab. Ia hanya menatap punggung Arien beberapa detik lebih lama, lalu melanjutkan langkah. Tapi kali ini, ada air bening di sudut matanya. Tak sampai jatuh. Tapi cukup untuk menegaskan satu hal:

Ia kehilangan seseorang yang masih berdiri di hadapannya.

***

Langit siang itu nyaris tanpa angin. Panas menyengat tapi tak cukup untuk memaksa dua orang itu bergerak dari tempatnya.

Elen berdiri di bawah pohon tabebuya, sesekali menggeser kaki pada tanah berpasir yang mengering. Ketika langkah Ivan terdengar dari kejauhan, ia menoleh.

“Kamu dari perpustakaan?” tanyanya tanpa basa-basi.

Ivan berhenti beberapa langkah dari tempatnya. Pandangannya lurus, tak langsung melihat Elen. “Lewat aja,” katanya datar.

Elen menatapnya sesaat, seperti menimbang sesuatu. “Bukan karena Arien ada di sana?”

Ivan tak menjawab. Bahunya bergerak sedikit—entah karena tarikan napas atau sekadar menahan sesuatu yang ingin keluar.

“Dia lagi main basket sendirian,” lanjut Elen. “Kayaknya pura-pura sibuk biar nggak harus mikir.”

Ivan hanya bergumam kecil, “Pasti capek juga.”

Mereka diam. Lama.

Elen lalu menatapnya. “Aku kira aku yang paling ngerti dia,” katanya pelan. “Tapi sekarang... aku ragu.”

Ivan masih tidak menoleh. “Nggak semua hal harus dimengerti. Kadang cukup tahu kapan harus diem.”

Elen mengecup bibir bawahnya, tersenyum tipis—pahit. “Kamu suka dia?”

Ivan akhirnya menoleh, tatapannya dingin, nyaris tajam. Tapi tidak marah.

“Kamu nanya kayak gitu ke semua orang?”

Elen terdiam. Ivan menarik napas, lalu menunduk sebentar sebelum akhirnya menjawab, suaranya datar tapi mengandung beban yang dalam.

“Kalau iya... terus kenapa?”

Elen tidak langsung membalas. Tapi matanya tampak berkabut, bukan karena marah—karena paham.

“Karena aku juga,” katanya akhirnya.

Mata Ivan tak berubah. Tapi ada sesuatu yang mengendur di rahangnya. Ia memalingkan wajah lagi, menatap tanah kosong di dekat lapangan.

Elen menghela napas panjang. Matanya memerah sedikit, tapi senyumnya lembut. “Bagus.”

Ivan menoleh cepat. “Bagus?”

Elen menatapnya lagi, dengan sisa senyum yang jujur meski perih. “Berarti aku nggak sendirian.”

Dan untuk sesaat, mereka hanya berdiri di sana. Dua orang yang saling tahu tapi tahu batas. Dua hati yang tertambat pada satu nama yang sama.

Beberapa detik kemudian, Elen menyeka matanya pelan. “Yuk, kita pikirin bareng. Gimana caranya biar dia bisa ingat semuanya.”

Ivan menunduk, mengangguk pelan. “Biar yang hilang bisa balik. Kalau bisa, bukan cuma ingatan.”

“Gimana caranya?” tanya Elen.

Ivan akhirnya menoleh lagi, dinginnya masih ada, tapi matanya sedikit lebih tenang. “Mulai dari yang dia lupa. Kita bantu bangun lagi, pelan-pelan. Kalau dia ingat—bagus. Kalau nggak… ya, setidaknya kita udah coba.”

Tiba-tiba, suara langkah mendekat. Ringan, tapi cepat.

“Ya ampun, aura kalian suram banget,” kata seseorang, memecah ketegangan seperti sinar matahari yang menerobos awan tebal. Laras muncul dari arah tangga, rambut panjang nya riap-riap tertiup angin

“Dari tadi gue ngintip dari bawah. Kalian berdua kayak poster film festival indie yang depresif,” lanjutnya sambil berdiri di antara mereka, tanpa diundang.

Ivan menarik napas pelan, mengalihkan pandangan. Elen hanya nyengir kecil, tak sempat menyembunyikan rona merah di pipinya.

“Ada apa?” tanya Elen akhirnya.

Laras menjawab cepat, setengah berbisik, “Gue ada ide buat bantu Arien. Tapi butuh kalian berdua.”

Tatapan mereka saling bertemu. Sekilas, tanpa kata-kata, tapi dengan semacam pengertian aneh: bahwa apapun rencananya Laras, mereka akan ikut.

Dan di antara ketegangan yang belum sepenuhnya reda, secercah tujuan pun tumbuh.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hideaway Space
169      133     0     
Fantasy
Seumur hidup, Evelyn selalu mengikuti kemauan ayah ibunya. Entah soal sekolah, atau kemampuan khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, kedua orang tuanya sangat bertentangan hingga bercerai. evelyn yang ingin kabur, sengaja memesan penginapan lebih lama dari yang dia laporkan. Tanpa mengetahui jika penginapan bernama Hideaway Space benar-benar diluar harapannya. Tempat dimana dia tidak bisa bersan...
DocDetec
802      446     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
3263      1130     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
No Life, No Love
1744      1185     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Manusia Air Mata
1560      910     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Deep End
62      58     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Sweet Like Bubble Gum
1778      1132     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Di Antara Luka dan Mimpi
1113      607     68     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...
Seharusnya Aku Yang Menyerah
178      147     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
Matahari untuk Kita
1788      716     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...