DITEMUKANNYA laboratorium 'Sinar Nasional' ternyata sangat berdampak besar bagi Arien dari sudut pandang keluarga nya
Arien hanya bisa diam ketika Ali menceritakan kalau Arien menemukan ruangan itu, dan kemarin malam membuka laci itu
Ayah menghentikan gerakan mulutnya yang mengunyah makanan, Ibu pun menghentikan gerakan tangannya menyendok makanan ke mulutnya
Makan malam itu jadi lenggang sejenak
Ditambah Azura yang tumben-tumbennya tidak nyeletuk tiba-tiba
"Ini seperti sebuah pesan penting untukmu Arien" Ayah menelan makanan di mulut. Menghela nafas pelan
"Kakekmu.. Dulu adalah orang yang sangat membebaskan anaknya memilih untuk belajar serius atau tidak. Beliau lebih sering sibuk di lembaga itu.. " Ayah menatap kosong meja makan yang penuh dengan menu makan malam "Seandainya Ayah memilih untuk serius belajar, mungkin Ayah akan lebih dari Ayah yang ada di hadapanmu ini" Matanya menerawang jauh ke depan
"Maafkan Ayah bila sering mengabaikan urusan sekolah kalian. Hanya serius bila sedang membahas uang semesteran, maafkan Ayah ya, Ali, Arien, Azura" Pria yang hampir menginjak usia 40 tahun itu menatap satu persatu ketiga anaknya.
Lalu menatap lagi anak tengahnya yang duduk di hadapannya. Arien. Raka Dharma Utomo menghela nafas lagi begitu menatap anak gadis satu-satunya. Dia sangat mirip dengannya. Gestur tubuhnya, pola wajahnya, cara bicaranya, dan paling mencolok.. Tatapan matanya. Betul-betul mirip dengannya dan Ayahnya
Sekejap, seperti de ja vu, Raka seperti melihat kenangan masa lalu
Seperti anak tengahnya.. Dulu dia yang paling mirip dengan Ayahnya. Tatapan tajam berhias kacamata. Sikap dingin yang meyakinkan
Tapi sebenarnya dia berbeda dengan Ayahnya. Kalau ayahnya dikenal sebagai orang yang rajin, dia versi malasnya.
Untung dia masih sempat tersadar. Tersadar ketika waktu sudah terlambat
Ketika ibunya wafat. Meninggalkan suaminya, Raka beserta enam adiknya
Raka menghela nafas. Menggeleng. Mengakhiri pemutaran film klise masa lalu di otakanya
"Intinya, kamu belajar yang rajin ya Arien. Nurut sama orang tua.. Nurutin ibu.. Jangan sering keluyuran"
Arien hanya mengangguk. Tidak menyadari kalau itu menjadi pintu terjadinya kerenggangan di tempat lain
Di rumah keduanya
***
Waktu itu, Arien duduk di bangku kelas 7. Semester pertama baru selesai. Dia tidak berharap banyak—cuma ingin nilainya nggak anjlok, dan ibunya nggak marah seperti dulu-dulu saat rapor dibagikan. Dia hanya ingin kali pertama ibunya menghadiri pembagian rapor memiliki kesan yang menyenangkan hati ibunya--selama ini dia tidak pernah mengambil rapor di hari pembagiannya, tapi dihari masuk sekolah kembali. Tapi pagi itu, wali kelas memanggil namanya dengan senyum.
“Juara satu, Arien. Selamat ya.”
Semua teman bertepuk tangan. Arien berdiri kaku. Jantungnya berdetak kencang. Antara senang, bingung, dan takut salah dengar. Tangannya gemetar saat menerima sertifikat. Dan saat pulang ke rumah, ia langsung menyerahkan rapor pada ibunya.
Ibunya melihat angka-angka itu satu per satu, lama... lalu matanya melebar. “Kamu juara satu?”
Arien mengangguk pelan.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama... ibunya tertawa. “Ya ampun! Ayah kamu harus tahu ini!”
Dia menelpon ayah Arien, cepat, sambil memamerkan rapor. Sorenya, rumah mereka ramai. Tante-tante, om-om dari pihak Ayah-- yang dari ibu kejauhan harus melewati satu provinsi. Rapor itu dilewatkan dari tangan ke tangan seperti piala. Arien duduk di sofa, senyum kaku, bingung harus bangga atau malu. Tapi di tengah keramaian itu, ia menemukan satu hal yang selama ini hilang—perhatian.
Sejak hari itu, hidupnya berubah.
Ibunya mulai mencarikan les tambahan, walau mereka harus mengurangi uang jajan. Setiap malam, ia harus belajar lebih lama. Kalau nilainya turun satu poin saja, ibunya langsung cemas. “Kamu kenapa? Kamu main HP, ya? Nanti nggak juara lagi loh.”
Bahkan waktu Arien cerita dia capek, ibunya cuma bilang, “Kan kamu dulu bisa. Sekarang juga pasti bisa. Jangan bikin malu, ya.”
Arien mulai percaya, mungkin benar—kalau dia gagal, senyum itu akan hilang. Rumah akan kembali sepi. Ayahnya akan kembali terlalu sibuk untuk pulang cepat. Ibunya akan sibuk ngomel tentang harga minyak, listrik, dan hidup yang susah.
Jadi Arien belajar. Lebih keras. Lebih lama. Sampai pelan-pelan, waktu bermainnya hilang. Sampai tawanya dengan teman-temannya terdengar asing. Sampai dia lupa rasanya pulang tanpa beban.
Setiap kali menerima nilai bagus, hatinya senang—tapi hanya sebentar. Karena yang ia pikirkan bukan, “Aku hebat.” Tapi: “Oke, sekarang mereka akan senang lagi. Untuk sementara.”
***
Tapi Arien juga anak SMP kelas 8. Dia lelah. Dia ingin bermain. Ingin bercanda di grup chat tanpa takut dimarahi karena buka HP. Ingin bilang, “Aku kangen kalian,” ke teman-temannya, tanpa takut nilai ulangan besok jelek.
Tapi semua itu jadi mewah.
Karena sekarang, dia hidup di antara lembar soal, mata orangtuanya, dan rasa takut: takut mengecewakan, takut kehilangan tempat di rumah yang katanya penuh cinta.
Arien pernah berpikir, “Kalau suatu hari aku nggak juara lagi, apa mereka masih akan tersenyum padaku?”
Dan dia belum berani tahu jawabannya.
***
Hari-hari Arien berubah perlahan. Ia masih duduk di bangku yang sama, lewat lorong sekolah yang sama, mendengar suara lonceng yang sama. Tapi hidupnya terasa lain. Jadwalnya penuh: bangun lebih pagi untuk belajar, pulang lebih sore karena les, malamnya lembur menghafal rumus dan rangkuman.
Teman-temannya—Laras, Hannah, Jasmine, Dwipa—masih sering nongkrong di kantin, duduk rame-rame di pojok kelas, ngobrolin hal-hal receh kayak biasa. Tapi Arien mulai jarang ikut. Kadang dia duduk di meja paling depan, pura-pura sibuk ngerjain PR yang udah selesai. Kadang dia jawab, “Nanti, aku harus nyicil latihan soal dulu.”
Awalnya, mereka maklum.
Tapi lama-lama... mulai terasa beda.
Grup chat yang dulu penuh stiker lucu dan spam curhatan sekarang sepi dari Arien. Ia jarang ikut nimbrung, seringnya cuma baca. Kalau pun bales, cuma satu-dua kalimat pendek: “Oke.” “Sori, gak bisa ikut.” Sampai akhirnya, dia berhenti bales sama sekali.
“Dia kenapa sih?” tanya Hannah suatu hari.
“Katanya les mulu,” jawab Jasmine sambil mengetik cepat di HP. “Tapi masa nggak bisa bales chat seharian?”
Laras diam saja. Ia merasa kesal, tapi juga bingung. Arien dulu paling semangat kalau ada yang ngajak ngobrol. Sekarang? Bahkan saat mereka lewat depan kelasnya dan manggil, Arien cuma ngangguk lalu kembali nunduk ke bukunya.
Dwipa akhirnya nyeletuk, “Kalau dia nggak butuh kita lagi, ya udah. Nggak usah maksa.”
Kalimat itu, singkat, tapi tajam. Dan perlahan, mereka pun berhenti menunggu.
Mereka tetap rame, tetap pergi bareng, tetap kirim meme dan cerita konyol di grup. Tapi Arien tak lagi mereka sebut. Tidak dengan marah. Tidak juga dengan kangen. Hanya... tidak disebut.
***
Arien merasakannya.
Dia tahu grup chat itu masih aktif. Tapi notifikasinya sunyi. Dia buka, baca tawa-tawa yang dulu ia ikuti, lalu kunci layar lagi tanpa membalas. Dia ingin mengetik: “Aku kangen kalian.” Tapi tangannya selalu ragu.
Karena di rumah, setiap waktunya dipantau. Karena di otaknya, ada suara ibunya yang bilang: “Kalau kamu nggak fokus, semua ini sia-sia.” Karena di hatinya, ada ketakutan yang tak pernah ia bilang ke siapa-siapa: kalau aku gagal, aku bukan siapa-siapa.
Jadi ia memilih diam. Bukan karena tak peduli. Tapi karena takut... ia tidak cukup.
***
Sampai suatu hari, Laras melihat Arien duduk sendiri di bangku taman sekolah. Matanya lelah. Jemarinya memegang buku tapi tak membalik halaman. Bekalnya dibiarkan terbuka. Tidak disentuh. Dan Laras merasa... ada yang hilang.
Bukan dari Arien. Tapi dari mereka semua.
Dan untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan... dia mengetik pelan:
Laras : Arien, kamu sibuk banget ya? Tapi... aku kangen. Kamu masih ingat kita, kan?
Pesan itu dikirim. Lama tak dibalas. Tapi akhirnya, satu notifikasi muncul:
Arien S.U : Ingat. Selalu. Tapi aku nggak tahu gimana cara balik.
Air mata Laras jatuh.
Karena kadang, orang yang paling kita kira pergi... cuma lagi nunggu dijemput pulang.
***
Di tengah semua itu, datang lagi satu kejutan yang menambah beban Arien: Bu Ambar, guru IPA-nya, memanggilnya ke ruang guru.
“Arien, Ibu daftarin kamu buat Olimpiade IPA bulan depan, ya. Ibu lihat potensimu besar. Kamu tipe yang teliti, dan jarang ada murid seperti kamu. Ini kesempatan bagus banget, buat sekolah... dan buat kamu.”
Arien menelan ludah. Mau bilang tidak, tapi tak enak. Bu Ambar tampak terlalu yakin. Lagipula, saat ia cerita ke rumah, ibunya langsung heboh.
“Olimpiade? Wah, ini bagus banget! Mama beliin buku-buku tambahan, ya! Kita harus maksimalin ini, Rien. Harus juara!” begitu kata, Ibunya diantara kesibukannya sebagai apoteker. Selalu itu yang dikatakan kalau mereka sedang bercengkrama
Kata “harus” itu menggantung lama di kepala Arien.
Sejak itu, waktunya makin padat. Sepulang sekolah, ia langsung ke ruang bimbingan, belajar sendiri atau dengan Bu Ratna. Di rumah, latihan soal makin banyak. Tidak ada waktu buat grup chat, buat kantin, buat duduk lama-lama bareng Laras dan yang lain.
Dan yang paling menyakitkan? Arien mulai merasa… semua ini bukan lagi pilihannya. Ia hanya jalan, seperti rel yang sudah ditentukan arahnya.
Bukan karena dia tidak suka IPA. Tapi karena bahkan cinta pada sains pun jadi beban ketika semua orang bilang, “Kamu harus juara.”
Teman-temannya tidak tahu.
Mereka hanya melihat Arien yang makin sulit diajak ngobrol. Arien yang sibuk terus, yang seperti memilih “dunia pintar” dan melupakan mereka.
Padahal, Arien tidak memilih.
Ia hanya kelelahan menjadi kebanggaan semua orang.