Setelah obrolanku dengan Tante Ana di mobil waktu itu, kami belum banyak bicara lagi. Aku memikirkan banyak kemungkinan kenapa ibuk tidak pernah menceritakan apapun soal saudara tirinya ini. Apakah kakekku punya dua istri? atau kakek menikah lagi saat nenek pertama meninggal, atau kakek adalah seorang duda ketika menikahi nenek? Aaaaa ... masa bodoh dengan semua kemungkinan itu.
Aku hanya menyapa Tante Ana ketika dia berangkat dan pulang kerja, sedangkan Tante Ana akan memanggilku ketika waktunya makan malam. Kami persis belum mampu beradaptasi selayaknya seorang saudara dan keponakan, ditambah waktu Tante Ana yang terbatas karena urusan kantornya, dia cukup memastikan semua kebutuhanku di rumah lengkap dan aku tidak kekurangan apapun.
"Telfon aja kalau kamu perlu sesuatu, ya?" Begitu katanya. Setiap hari, Setiap pagi.
Seperti hari ini, hari ini adalah hari pertamaku menjadi seorang siswi menengah atas. Aku persis seperti bayanganku ketika aku mengenakan pakaian putih abu-abu. Aku dan Siti sering membayangkan diri kami menjadi seorang remaja sempurna, punya banyak teman, masuk OSIS, atau mungkin bisa naksir teman sekelas dan nongkrong di kantin sama-sama. Dan yang tersisa dari bayangan itu hanyalah aku yang mengenakan seragam putih abu-abu saja. Sisanya? urusan Tuhan saja.
"You look great!" Tante Ana memujiku ketika aku keluar kamar. Sudah hampir satu bulan aku berada di sini, dan aku sering mendengar Tante Ana berbicara menggunakan bahasa inggris. Aku? Aku bahkan belum bisa menyesuaikan logat Jawaku yang sulit hilang ini.
"Thank you, Tan." Meskipun kikuk sepertinya aku harus mulai belajar bahasa inggris juga, barangkali nanti teman-teman di sekolah melakukan hal yang sama, we can do something cool, kan? Begitu kan?
Aku tersenyum, bergabung dengan Tante Ana di meja makan. Sebelum aku menyuap nasi goreng, Tante Ana sudah keburu minta maaf. "Masakan tante mungkin nggak akan seenak masakan ibumu. Kalau tante sempat tante akan belajar masak, tapi untuk sekarang kalau kamu lapar, kamu bisa beli ya."
"Aku bisa masak kok, Tan. Hehe, sedikit sih, nanti kalau kita libur, kita belajar bareng, ya."
Sebagai workaholic sejati, aku tahu Tante Ana hanya berdedikasi dengan pekerjaannya. Aku tidak berani bertanya tentang mengapa ia tidak menikah meskipun usianya sudah di atas tiga puluh tahun. Aku sudah cukup puas Tante Ana mau menerimaku meski hubungannya dengan ibuk mungkin tidak baik.
"Aku berangkat ya, Tan."
"Udah inget jalannya?"
"Aman, kan, deket."
Ini adalah salah satu pertimbanganku ketika Tante Ana memintaku untuk mencari informasi di internet. Aku tidak ingin mengambil resiko hilang atau diculik preman tidak dikenal di kota sebesar ini. Jadi aku sengaja memilih sekolah yang dekat dengan alamat Tante Ana.
Aku cukup berjalan kaki, mungkin sekitar sepuluh menit. Aku benar-benar sudah mengingat setiap belokan dan jalan ke sekolah. Aku mengingat setiap tiang listrik, warung, cat rumah yang akan kulewati. Aku tidak akan hilang arah di hari pertamaku.
Masa orientasi, aku lagi-lagi bersyukur ketika tahu sekolah ini tidak menerapkan sistem berlebihan seperti sekolah pada umumnya. Meskipun di sisi lain aku menyayangkan hal itu, karena aku pasti tidak akan bisa membagikan cerita seru pada Siti. Rambutnya yang keriting itu pasti sedang dikepang sepuluh sekarang.
Apa yang bisa kuharapkan di sini? Teman-teman yang kukenal tidak ada, lingkungan yang awam, budaya yang berbeda. Aku sama sekali tidak membayangkan diriku akan menjadi murid pindahan sekarang.
Mengikuti informasi dari panitia, aku sampai di kelas. Semua orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Karena mencoba tersenyum kurasa terlalu kikuk, aku menunduk saja. Dengan sengaja aku duduk di bangku paling belakang. Masih ada satu tempat kosong yang belum ditempati.
Ibuk, Serayu sudah jadi murid SMA sekarang. Tante Ana juga baik walaupun kadang jutek banget. Serayu bisa kan, buk melewati ini?
Aku berusaha menegarkan diriku sendiri saat bel pertama berdering. Mulai saat ini aku persis mendapatkan kehidupan yang baru, yang berbeda, tanpa ibuk, tanpa teman-temanku.
"Halo!"
Aku hampir berteriak ketika mejaku dipukul pelan oleh sepasang ... sepasang?
"Nama gue Kinar, ini kembaran gue Bayu. Kita bukan pacaran, bukan gebetan. Jangan mikir macem-macem. So, gue duduk sama lo, ya? Karena gue bosen duduk sama dia terus!"
"Hah? Oh iya, boleh."
Sambil sembunyi-sembunyi dari Kinar, aku tertawa sebentar. Mereka kembar yang tidak identik, itu sebabnya Kinar berkali-kali menegaskan kalau Bayu bukan pacarnya. Lagi pula siapa yang pacaran di hari pertama masuk sekolah, kan? Membayangkannya saja aku tidak bisa.
Aku mengenalkan diriku dengan nama Sera. Mereka mengangguk. Kinar langsung meletakkan tasnya di sebelahku setelah beberapa panitia orientasi masuk ke dalam kelas.
Kegiatan hari pertama di masa orientasi. Kami diminta berdiri satu persatu dan memperkenalkan diri sendiri. Aku melakukannya dengan baik, toh hanya nama dan asal sekolah. Tidak ada yang spesial. Namun, ketika beberapa siswa menyadari asal sekolahku bukan bukan berasal dari kota Jakarta, aku hanya menjawab mereka dengan. "Oh, itu di Solo." Dan mereka mengangguk lagi.
"Gimana Jakarta, enak nggak?"
Kinar menyenggol lenganku ketika giliranku selesai. Dia perempuan dengan tinggi badan yang tidak jauh denganku. Rambutnya lurus dan berponi dahi. Aku tersenyum, "Ya, enak aja, kok. Gue coba beradaptasi."
Mendengar jawabanku, Kinar malah mengulum senyum. "Kenapa?"
"Nggak usah dipaksain pake sebutan lo-gue kalau belum terbiasa, so sorry tapi dengernya aneh. Aku kamu is okey, juga."
Mendengar jawaban Kinar, aku hanya bisa nyengir kuda. Dia menangkan keanehanku di hari pertama masuk sekolah. Apakah ini kabar baik?
"Btw, kenapa lo pindah?"
Aku terkejut ketika Kinar tiba-tiba mengubah arah pembicaraan. Dan setelah tiga puluh detik aku belum juga menjawab. Melihat itu, dia tidak menunggu jawabanku. "Nggak papa sih kalau belum mau cerita. Namanya juga baru ketemu." Dia lalu tersenyum, menepuk pundakku.
Sepertinya Jakarta tidak terlalu buruk. Kebetulan aku mendapat yang baik, tidak seperti gosip teman-temanku di Solo yang membuatku ngeri, sepertinya tidak semua anak-anak Jakarta sesuai dengan prasangka buruk mereka. Jadi, aku memutuskan untuk percaya pada Kinar. Sambil menjahili kembarannya di depan, kami mendengar panitia orientasi menjelaskan nama-nama guru. Aku menatap Kinar, "ibuku baru meninggal sebulan lalu, jadi aku diadopsi tanteku."
"Diadopsi?"
"Ya gitu kan bahasa kerennya? Daripada kubilang kalau aku dipungut, dengernya sedih banget," ucapku. Kinar memutar bola matanya jengah. "Masa sama tante sendiri aja pake segala harus diadopsi, kayak sama siapa aja," jawab Kinar.
Aku tersenyum, tidak mengungkapkan kebenaran bahwa mereka bukan saudara kandung.
Dan hari ini terlewati dengan begitu saja. Aku mampu melewati satu hari dari seluruh bagian cerita yang akan menungguku di depan. Masih ada bagian kosong dalam diriku karena bukan ini yang aku bayangkan. Aku merasa dituntut untuk tetap baik-baik saja meskipun aku tidak mau. Masih banyak hal yang belum aku lakukan untuk ibuk. Di saat aku memiliki waktu untuk melakukannya, waktu milik ibuk berhenti di sana. Ibuk tidak bilang apa-apa, tidak ada sampai jumpa atau selamat tinggal. Ibu hanya pergi.
Aku masih ingat ketika ibuk mengantarku ke Lewiyan di hari ulang tahunku. Dengan kemeja biru kesukaanya itu kami berjanji untuk bertemu lagi sebelum malam. Namun, janji itu hanya menjadi janji.
Sekarang aku di sini, berjarak ratusan kilometer dari ibuk. Berada di tengah-tengah orang yang tidak aku kenali. Tinggal bersama kerabat yang hampir tidak pernah bertemu. Kehadiran Kinar dan Bayu sedikit mengobati kekecewaanku. Meski kehadiran ibuk tidak dapat ditukar, aku sudah berjanji pada ibuk untuk tidak larut dalam kesedihan.
"Yuk, semangat!"
Kinar tiba-tiba menggandeng tanganku. Sejak tadi aku sama sekali tidak mendengarkan apa saja yang panitia orientasi katakan. Tapi Kinar buru-buru memaksaku berdiri. "Kita mau perkenalan lingkungan sekolah, kita akan liat kantin, liat perpus, liat lapangan, yuk!"
"Makasih, ya, Kin."
"Makasih apa lagi, emang gue ngasih lo duit?"
Aku nyengir kuda untuk yang kesekian kalinya, dia segera meanrik tanganku keluar kelas. "Kin, tungguin sih. Mentang-mentang dapet temen baru, gue dilupain," ucap Bayu. Aku spontan menatap Kinar, lalu tertawa. "Lo gue end!"