Tante Ana. Aku hampir melupakan kerabatku yang satu itu. Aku sudah tidak punya kakek dan nenek karena mereka dipanggil Tuhan terlalu cepat, sama seperti ibuk dan Bapak. Aku memang pernah ingat ketika ibuk bilang dia memiliki satu adik perempuan yang bekerja dan berkuliah di Jakarta, tetapi karena aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya, aku hampir tidak mengenali Tante Ana. Ditambah, aku selalu tinggal berdua dengan ibuk, kami tidak pernah pergi ke luar kota. Ibuk bilang, dia takut membawaku jauh-jauh.
Tante Ana bahkan tidak pernah mengunjungi mendiang kakaknya ini meski saat hari raya, setidaknya, itu yang kuingat saat aku beranjak besar. Namun, sekarang dia di sini, memelukku, di rumah tempat kakaknya menghabiskan seluruh hidupnya. "Sekarang sama Tante, ya?" Aku mengangguk tanpa syarat. Sebagai anak berusia lima belas tahun, aku tidak memiliki rencana hidup setelah kehilangan satu-satunya orang yang ada di hidupku.
Andaikan aku memiliki pilihan lain, pada hari di mana ibuk kecelakaan, aku akan memintanya untuk libur dan memasak di rumah. Aku tidak akan membiarkan ibuk ke mana-mana.
Kami berdua masih di rumah. Bude Lastri dengan keras kepalanya meminta Tante Ana untuk tetap tinggal barang semalam. Tentu saja dia tidak akan membiarkan aku dibawa begitu saja dengan orang yang menyetir mobil sendirian dan seharian.
"Menginap dulu ya, perjalanan jauh, biar Bude masak untuk kalian. Jangan langsung pergi, baru semalam sejak kepergian Bu Gendis, ibunya Serayu itu, sudah kami anggap keluarga sendiri, jadi kamu juga keluargaku, to?" Kulihat Tante Ana tersenyum, kebaikan Bude Lastri memang sulit ditolak.
Sepanjang makan siang hari itu, aku lebih banyak diam ketika Bude Lastri banyak menceritakan soal ibuk layaknya penulis biografi. Aku tahu ibuk adalah orang yang sempurna, aku tidak perlu pembuktian dari orang lain, aku mengenal ibuku bahkan seumur hidupku.
"Oh ya, untuk rumah ini, kalian tidak akan menjualnya, kan?"
Pertanyaan Bude Lastri membuat Tante Ana menatapku. Apa? Aku tidak tahu di mana ibuk menyimpan sertifikat rumah. Kalau boleh meminta, aku tidak mau rumah ini dijual. Suatu saat aku akan kembali ke sini—mungkin setelah aku lulus kuliah.
"Bude, sepertinya Serayu nggak akan mau kenangan satu-satunya dengan ibuknya dijual. Meski saya tidak pernah datang kemari, saya menghormati kakak saya. Mungkin ke depannya, rumah ini akan dirawat seperti biasa. Tetapi karena masalah pekerjaan, saya tidak bisa menetap di sini. Oleh karena itu, Serayu akan saya bawa ke Jakarta. Mungkin, pada saat liburan, dia bisa mampir ke Bude kalau ke sini. Saya juga akan pulang kampung nanti," ucap Tante Ana panjang lebar.
Sebagai seorang adik, aku sama sekali tidak melihat kemiripan antara ibuk dan Tante Ana. Didengar dari suaranya saja, Tante Ana terlihat sangat tegas, berbeda dengan ibuk yang kemayu dan lemah lembut. Terlepas dari semua itu, aku bersyukur Tante Ana memahami perasaanku. Kehilangan ibuk sudah sangat berat, aku tidak bisa membayangkan jika aku harus kehilangan satu-satunya kenangan bersama ibuk ini.
Selama ini ibuk membiayaiku seorang diri, hanya berbekal gajinya dan uang pensiunan bapak. Rumah ini adalah satu-satunya yang kami miliki, meskipun tidak besar, aku nggak akan melepaskannya. Semisal—semoga saja tidak, Tante Ana tidak mau menanggung biaya hidupku nanti, aku tetap tidak akan melepaskan rumah ini. Entah apa yang akan aku lakukan di masa depan, aku tidak akan melepaskannya.
Tidak tahu siapa yang pertama kali menghubungi Tante Ana, ia masih mengenakan setelan kantor sampe dengan kami selesai makan, dan kulihat dia tidak membawa banyak barang. Hanya satu tas jinjing yang entah apa isinya. Tante Ana hanya sesekali menatapku lalu bergantian dengan ponselnya. Aku benar-benar meragukan bahwa dia adalah adiknya ibuk.
Jadi, setelah makan, aku membuka lemari ibuk, menatapnya dengan sesak yang masih tersisa. "Serayu nggak akan nangisin ibuk lagi, ibu percaya, kan? Serayu akan baik-baik aja. Ibuk jangan khawatir ya." Aku mencegah air mataku mengalir, lalu mengambil daster ibuk yang masih terlihat bagus.
"Tante, aku nggak tau tante bawa baju atau enggak, tapi kalau mau pakai baju ibuk, tante bisa pakai ini," ucapku singkat ketika ia selesai menelepon seseorang.
"Terima kasih, Sera."
“Tante, apa kita harus pindah ke Jakarta?"
Setelah dia berganti pakaian, kami duduk bersama di depan rumah. Bude Lastri sudah pulang, tapi tenda duka di depan rumah belum dibongkar, kata Bude Lastri barangkali masih ada yang ingin melayat. Jadi, aku duduk di depan rumah menatap pemandangan paling mengerikan yang pernah kulihat.
"Maaf untuk yang ini, Tante nggak bisa menuruti kamu, Sera. Tante punya pekerjaan, dan kamu harus belajar mandiri."
"Sera bisa kok, Tan di sini sendirian, lagi pula ada Bude Lastri."
"Sera, selama masih ada Tante, kamu nggak perlu ikut sama orang lain. Mengerti ya?" Ucapan Tante Ana lebih mirip seperti sebuah peringatan daripada pengertian. Aku memilih untuk mengangguk lagi.
Dan di sinilah aku berada. Di saat-saat terakhir liburan kelulusanku selesai, aku berada di rumah Tante Ana. Di Jakarta. Siti, karibku semasa menengah pertama, menangis sore itu saat mengetahui kabarku akan pindah. Kami berdua berjanji untuk masuk ke sekolah yang sama di SMA nanti, tapi kesempatan itu tidak pernah bisa datang lagi.
"Aku nanti masuk sekolah mana, Tante?"
"Kamu bisa mulai cari di internet, pilih saja yang kamu suka, besok kita daftar." Mana mungkin rasa suka bisa datang secepat itu. Aku bahkan tidak mengenal siapa pun di sini. Apa yang bisa kusukai?
Berbekal informasi dari internet, kami berada di SMA 98. Tante Ana mengurus semua dokumen kepindahanku, aku sama sekali tidak bertanya apakah ia kesulitan, atau apa yang bisa kubantu. Selama dia bekerja, aku akan menghabiskan waktu di rumah, menonton TV, menghabiskan makanan di lemari es, atau tidur. Kalau aku mengeluh jika aku hampir mati bosan, apakah Tante Ana akan mengusirku? Tidak mungkin, kan?
Jadi, seperti ini rasanya hidup sendiri. Apakah ibuk juga merasakan hal yang sama saat bapak pergi? Ibuk bilang waktu itu umurku baru sebulan, dan ibuk bisa melewati semua itu. Lalu, apakah benar kalau kesedihan benar-benar bisa dilewati begitu saja? Aku mencoba tegar berulang kali.
Aku berusaha untuk tidak menjadi beban bagi orang lain. Meskipun itu adalah Tante Ana. Jika memungkinkan, aku akan merengek dalam satu minggu, mogok makan, dan mengunci diri di kamar karena kepergian ibuk. Aku akan bersedih selama yang aku bisa. Tapi, apa benar-benar bisa begitu?
Hari ini Tante Ana mengajakku untuk melihat-lihat sekolah baru. Dia sibuk bolak-balik ruang guru sedangkan aku diminta duduk menunggu di sofa sendirian. Dari dalam sini, aku bisa melihat lapangan dan dua bangunan kelas yang bertingkat. Aku menatap gedungnya bergantian dengan Tante Ana sebelum kami masuk ke dalam mobil.
"Akhirnya selesai juga."
"Tante, terima kasih ya."
Tante Ana hanya tersenyum. Semua pendaftaranku selesai, dan dalam kurun waktu satu minggu, aku akan resmi menjadi siswi SMA. Jakarta berbeda sekali dengan di Solo. Bangunannya, orang-orangnya, pakaiannya, yang pasti makanannya, aku jamin tidak akan ada yang seenak ibuk. Aku berkali-kali melihat keluar jendela sambil merasakan anginnya, angin yang berbeda.
"Jangan dibuka terlalu banyak jendelanya," ucap Tante Ana. Mendengar itu aku menutupnya sedikit dengan menyisakan bagian atas jendela mobil tetap terbuka. Dulu, aku bisa merasakan angin di seluruh wajahku, ibuk sering mengajakku ke pasar dengan motor bebeknya, katanya, hitung-hitung sambil menghirup udara pagi.
"Tante, kenapa tante nggak pernah jenguk ibuk?" Pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar. Aku masih melihat ke luar jendela.
"Tante dan ibumu beda ibu. Kami saudara tiri."