Aku duduk sendirian di kafe kecil, tempat yang biasanya menjaid pelarianku ketikaa ide-ide mangalir deras dan butuh ditumpahkan segera. Sudut kota Yogyakarta yang tentu bukan destinasi pengunjung kota dengan sejuta kenangan ini menjaid pilihanku karena aku butuh ketenangan. Aku sedang tidak butuh beriteraksi dan distraksi. Kafe ini tenang, dengan musik instrumental yang mengalun lembut menenangkan hati yang sering kali penuh dengan keraguan. Di depanku, layar laptop terbuka, menampilkan naskah yang sedang kutulis. Aku sedang berkutat dengan adegan penting ketika suara pelan seseorang menarik perhatianku.
"Kalau tidak salah, itu bagian dari naskah baru Citra Angkasa, ya?"
Aku langsung menoleh, dan mataku bertemu dengan seorang pemuda yang baru saja duduk di meja sebelah. Ia terlihat rapi, dengan sikap tenang yang sedikit membingungkanku. Bagaimana mungkin dia tahu? Aku buru-buru menutup laptop, merasa seolah tertangkap basah.
"Ah, maaf, saya... saya tidak menyangka ada yang mengenali," jawabku, suaraku sedikit gemetar. "Anda suka membaca karya Citra Angkasa?" Aku mencoba terdengar biasa saja, meski jantungku berdebar kencang.
Ia tersenyum tipis, senyum yang tidak berusaha mengintimidasi, tapi membuatku merasa ia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. "Iya, saya sudah membaca semua bukunya. Gaya menulisnya unik, menggabungkan emosi yang dalam dengan konsep-konsep yang sangat logis. Saya selalu menemukan sesuatu yang baru setiap kali membacanya ulang."
Aku terdiam, menundukkan kepala. Tidak banyak yang tahu aku adalah Citra Angkasa, apalagi seseorang yang tampaknya begitu dewasa dan bijaksana seperti pemuda ini. “Bagaimana bisa…?” pikiranku melayang, berusaha menghubungkan titik-titik yang belum jelas.
Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya, "Maaf, bagaimana Anda bisa tahu kalau saya adalah... Citra Angkasa?"
Dia terlihat sedikit ragu, lalu mengangguk pelan, seolah-olah baru saja memutuskan untuk jujur. "Sebenarnya, saya mendengar seseorang di sini memanggil Anda dengan nama itu tadi," jawabnya. "Saya kebetulan baru saja keluar dari toilet yang dekat dengan ujung ruangan ini, dan meskipun ruangannya sepi, suara itu terdengar jelas."
“Oh…” Aku tidak tahu harus berkata apa. Rasanya seperti semua ketakutanku tentang identitas yang terbongkar tiba-tiba menjadi nyata. Namun, dia tidak tampak seperti seseorang yang akan memanfaatkan situasi ini. Dia tampak benar-benar tertarik pada tulisan-tulisanku, bukan pada siapa aku.
"Terima kasih..." kataku, masih canggung. "Tapi, menurut saya, tulisan-tulisan saya kadang terlalu sederhana. Saya sering ragu apakah bisa diterima oleh pembaca yang... berpikir lebih rasional," aku melanjutkan, seolah berharap dia bisa membantuku melihat hal ini dari sudut pandang yang berbeda.
Dia mengangguk, dengan pengertian yang dalam di matanya. "Rasionalitas dan emosi itu dua sisi dari koin yang sama. Karya Anda berhasil menghubungkan keduanya. Seperti naskah ini misalnya..." Dia berhenti sejenak, mungkin sadar bahwa aku mulai merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan ini. "Maaf, saya tidak bermaksud membuat Anda tidak nyaman. Tapi saya penasaran dengan ide di baliknya."
Aku menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. “Ini tentang seorang ilmuwan muda yang menemukan cara untuk mengakses ingatan orang lain,” aku menjelaskan dengan suara yang lebih tenang. "Di satu sisi, ini seperti pencapaian terbesar dalam hidupnya. Tapi di sisi lain, semakin dalam dia masuk ke ingatan orang lain, semakin dia merasa kehilangan dirinya sendiri. Saya ingin mengeksplorasi batas antara pengetahuan dan identitas, dan bagaimana teknologi bisa mengubah keduanya."
Dia mendengarkan dengan seksama, matanya penuh perhatian. "Itu ide yang sangat menarik," katanya akhirnya. "Menyelami ingatan orang lain pasti menggugah banyak pertanyaan etis. Bagaimana kalau orang itu tidak ingin ingatannya diakses? Atau kalau ingatan tersebut malah merusak hubungan antara individu?"
Aku terdiam sejenak, merenungkan pertanyaannya. Rasanya ada sesuatu yang berbeda dari pemuda ini. Dia tidak hanya sekadar pembaca; dia benar-benar memahami kompleksitas dari cerita yang kubuat.
"Itulah yang sedang saya pikirkan," jawabku, suaraku sedikit lebih tenang sekarang. "Tokoh utama dalam cerita ini merasa seperti seorang pengkhianat, karena dia tahu hal-hal yang seharusnya tidak dia ketahui. Tapi dia juga tertarik, ingin memahami lebih dalam... karena itu adalah satu-satunya cara dia bisa menghadapi traumanya sendiri."
Dia menatapku dengan tatapan yang penuh pemahaman. "Penulis seringkali memasukkan bagian dari diri mereka dalam karya mereka," katanya lembut. "Apa yang Anda tulis ini memiliki kedalaman yang nyata. Mungkin itulah mengapa tulisan Anda bisa menjangkau pembaca seperti saya, yang mencari keseimbangan antara logika dan emosi."
Aku tertegun, merasa sedikit lebih lega setelah mendengar kata-katanya. Mungkin dia benar. Mungkin aku tidak perlu terlalu khawatir tentang bagaimana orang lain akan menerimanya.
"Anda benar, mungkin ada sedikit dari saya di sana... tapi saya masih merasa khawatir, apakah ini bisa diterima oleh orang lain," kataku, masih ada sedikit keraguan yang menggelayut di hatiku.
"Jika Anda menulis dari hati, itu akan selalu bisa diterima," jawabnya dengan tegas namun lembut. "Karya Anda bukan hanya tentang jalan cerita, tapi juga tentang cara Anda mengekspresikan sesuatu yang mungkin banyak orang rasakan, tapi tidak bisa mereka ungkapkan."
Aku tersenyum samar, merasa lebih tenang sekarang. "Terima kasih. Kadang-kadang saya merasa sulit percaya pada diri sendiri. Tapi, mendengar ini dari seseorang yang logis seperti Anda, rasanya seperti saya berada di jalur yang benar."
Dia membalas dengan senyum hangat. "Setiap penulis butuh seseorang yang bisa melihat apa yang mereka coba sampaikan, dan saya pikir tulisan Anda layak dibaca oleh lebih banyak orang. Jangan ragu untuk melanjutkan."
Aku masih duduk di tempatku, mencoba mengalihkan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul setelah percakapan tadi. Radinka tampak begitu tenang, meskipun ia sudah mengetahui identitasku sebagai Citra Angkasa. Ia tidak berusaha menggali lebih dalam tentang siapa aku, tetapi malah fokus pada karya-karyaku. Aku merasa lega, tapi juga bingung dengan situasi ini.
Setelah beberapa saat, Radinka kembali membuka percakapan. "Ngomong-ngomong, saya sempat melihat banyak orang di bagian depan kafe ini, sepertinya sedang berkumpul. Kenapa Anda tidak bergabung dengan mereka? Saya yakin banyak yang ingin bertemu dengan penulisnya langsung dan memuji karya-karya Anda."
Aku menghela napas panjang, merasa pertanyaan itu adalah sesuatu yang selama ini coba kuhindari. "Saya tidak terlalu suka keramaian," jawabku, sedikit tersenyum kecut. "Lagipula, saya merasa lebih nyaman di sini, jauh dari perhatian banyak orang."
Radinka menatapku, tampak merenung sejenak. "Tapi, bukankah itu bagian dari menjadi seorang penulis? Bertemu dengan pembaca, mendengar tanggapan mereka secara langsung?"
Aku terdiam. Memang, secara logis, apa yang dikatakan Radinka benar. Tapi bagiku, selalu ada sesuatu yang menahan. "Bukan itu masalahnya...," kataku akhirnya, suaraku pelan namun mantap. "Saya hanya... tidak terbiasa dengan perhatian seperti itu. Selama ini saya menulis sebagai bentuk pelarian, bukan untuk mencari pengakuan."
Radinka mengangguk pelan, menandakan bahwa dia mendengarkan dengan saksama. "Menulis sebagai pelarian... Apakah itu berarti Anda menghadapi sesuatu yang sulit dalam kehidupan Anda?"
Aku tersenyum pahit, menyadari bahwa ia mulai menyentuh sesuatu yang lebih dalam. "Ya, bisa dibilang begitu," aku memutuskan untuk jujur, meski aku jarang berbicara tentang hal ini kepada orang lain. "Saya tumbuh dalam lingkungan keluarga yang... rumit. Banyak hal yang membuat saya meragukan diri sendiri, meragukan orang lain, dan pada akhirnya, saya memilih untuk menghindar."
Matanya tetap terpaku padaku, menunjukkan rasa empati yang tulus. "Itu alasan mengapa Anda takut untuk menjalin hubungan dengan orang lain?"
Aku terkejut dengan ketepatannya dalam menebak perasaanku. "Bagaimana Anda bisa tahu?" tanyaku, sedikit takjub.
"Entah kenapa, saya merasa ada resonansi antara apa yang Anda tulis dan apa yang Anda rasakan. Tokoh-tokoh dalam cerita Anda sering kali berjuang dengan rasa takut dan ketidakpercayaan, tapi pada akhirnya mereka mencoba untuk tetap melangkah maju. Itu seperti cerminan dari seseorang yang berusaha mencari jalannya di dunia yang sulit dipahami."
Aku merasa seperti terbuka lebih dari biasanya, tetapi ada sesuatu dalam cara Radinka berbicara yang membuatku merasa aman. Mungkin, karena dia tidak berusaha memaksakan apa-apa, hanya mendengarkan dan memahami.
"Ya, mungkin Anda benar," aku mengakui, suaraku sedikit lebih lembut. "Saya selalu merasa lebih mudah untuk menulis daripada berbicara langsung. Di balik kata-kata, saya bisa mengekspresikan semua yang saya rasakan tanpa takut dihakimi."
Radinka mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lembut yang menguatkan. "Terkadang, menulis adalah cara kita berdialog dengan diri sendiri, dan dengan dunia di luar sana. Tapi saya rasa, Anda punya potensi untuk berinteraksi lebih dengan pembaca, jika Anda merasa siap."
Aku tertawa kecil, merasa sedikit lebih ringan. "Mungkin. Tapi untuk sekarang, saya masih lebih nyaman dengan layar laptop dan halaman kosong yang menunggu untuk diisi."
Kami terdiam sejenak, menikmati keheningan yang terasa begitu nyaman. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu seseorang yang bisa memahami diriku dengan cara seperti ini, apalagi hanya dari membaca karya-karyaku.
"Terima kasih, Radinka," kataku akhirnya, dengan perasaan yang lebih tenang dan terbuka. "Saya merasa, meskipun hanya sebentar, saya telah mendapatkan sesuatu yang berharga dari percakapan kita ini."
Dia tersenyum hangat, seolah mengerti sepenuhnya. "Sama-sama, Bentala. Saya senang bisa berbicara dengan Anda. Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti, Anda akan merasa siap untuk menunjukkan lebih banyak dari diri Anda kepada dunia."
Aku mengangguk, merasakan harapan kecil yang mulai tumbuh di dalam hati. Mungkin, suatu hari nanti, aku akan berani untuk melangkah keluar dari bayang-bayang ketakutanku. Tapi untuk sekarang, aku akan terus menulis, mengekspresikan diri melalui kata-kata yang kutuangkan dalam setiap cerita.
Langit di luar kafe mulai berubah warna, perlahan-lahan menampilkan gradasi oranye dan ungu yang indah. Senja mulai menyapa, menandakan waktu sore yang kian beranjak menuju malam. Aku menatap pemandangan itu dari balik jendela besar di sampingku, merasa tenang sejenak di tengah percakapan yang baru saja terjadi.
Radinka yang duduk di seberangku juga tampak menikmati momen ini. Wajahnya masih menampilkan senyum hangat, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya, seolah ia tidak ingin waktu ini segera berakhir.
"Senja di Yogyakarta selalu indah, ya?" tanyanya, memecah keheningan dengan nada suara yang lembut.
Aku mengangguk, ikut tersenyum kecil. "Iya, selalu menenangkan. Seperti ada magis yang tersembunyi di balik warna-warna itu."
Dia mengangguk pelan, seolah menyetujui. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang lain dalam dirinya, sesuatu yang belum ia sampaikan. Ketika aku hendak bertanya, dia tiba-tiba menarik napas dalam dan menatapku dengan tatapan yang agak ragu.
"Bentala, sebenarnya... Saya sangat menikmati waktu ini, berbicara dengan Anda. Tapi sayangnya, malam ini saya sudah punya janji lain," katanya dengan nada menyesal.
"Oh," jawabku, sedikit kecewa tapi berusaha tersenyum. "Tidak apa-apa, saya juga harus kembali bekerja."
Namun, sebelum aku sempat merapikan barang-barangku, Radinka mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah kartu nama, yang ia letakkan dengan hati-hati di atas meja di depanku.
"Ini...," katanya, suaranya terdengar sedikit bergetar, mungkin karena gugup. "Jika Anda merasa ingin melanjutkan percakapan ini, atau sekadar ingin berbagi ide, Anda bisa menghubungi saya kapan saja."
Aku memandang kartu nama itu, merasa terkejut dan tak menyangka. Tidak banyak orang yang berani menawarkan sesuatu seperti ini dengan begitu terbuka, apalagi pada pertemuan pertama. Aku melihatnya kembali, mencoba menangkap maksud di balik tindakannya.
Radinka hanya tersenyum, meski aku bisa melihat sedikit kecemasan di matanya. "Saya tahu mungkin ini terlihat nekat, tapi saya sungguh merasa ada banyak hal yang bisa kita bicarakan... jika Anda bersedia."
Aku terdiam sejenak, merasa campuran antara kebingungan dan kehangatan di hati. Akhirnya, aku mengambil kartu itu dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu menatapnya dengan penuh pengertian.
"Terima kasih, Radinka," kataku dengan suara lembut. "Saya akan mempertimbangkannya."
Dia tersenyum lega, lalu berdiri dari kursinya. "Baiklah, saya harus pergi sekarang. Tapi saya berharap kita bisa bertemu lagi."
Aku mengangguk, melihatnya melangkah menuju pintu keluar kafe dengan langkah yang tenang namun terasa berat, seolah ia sebenarnya masih ingin tinggal. Saat pintu menutup di belakangnya, aku menatap kartu nama itu lagi, merasa bahwa pertemuan ini mungkin bukan kebetulan semata.
Aku masih duduk di kursiku, menatap kartu nama di tanganku. Jari-jariku menyentuh permukaannya, merasakan tekstur halus yang kontras dengan perasaan campur aduk di dalam diriku. Namanya, Radinka Prasanda, tertulis dengan jelas, bersama dengan nomor telepon dan alamat email. Seakan-akan kartu ini adalah pintu menuju percakapan yang belum selesai.
Dari balik jendela kafe, aku bisa melihat Radinka melangkah menuju motornya yang terparkir di pinggir Jalan Gejayan. Kafe ini, yang terletak di area yang ramai namun tetap memiliki sudut-sudut tenang seperti ini, selalu menjadi tempat favoritku untuk menulis dan merenung. Di luar, deru kendaraan dan suara orang-orang yang berlalu lalang terdengar samar, seolah dunia di luar berjalan dengan ritmenya sendiri sementara aku tenggelam dalam pikiran.
Radinka menaiki motornya, menyalakan mesin, dan aku bisa melihatnya menatap kafe ini sekali lagi sebelum mengenakan helmnya. Ketika dia mulai melaju, punggungnya semakin mengecil, menyusuri jalanan yang mulai ramai dengan kendaraan yang kembali dari aktivitas sore. Deru motornya perlahan menghilang di antara deru kendaraan lain yang melewati Jalan Gejayan.
Aku mendesah pelan, mengalihkan pandanganku kembali ke kartu nama di tanganku. Ada sesuatu tentang pertemuan ini yang terasa tidak biasa, seolah-olah takdir mempertemukan kami untuk alasan yang belum aku pahami sepenuhnya. Di luar, langit senja yang tadi indah kini mulai memudar, digantikan oleh gelapnya malam yang mulai turun. Lampu-lampu jalanan mulai menyala, menerangi trotoar dan jalanan di depan kafe.
Jalan Gejayan ini memang selalu penuh dengan kehidupan, dari pagi hingga malam. Tapi di sudut kafe ini, aku selalu menemukan kedamaian, ruang untuk berpikir dan menulis tanpa gangguan. Malam ini, aku merasa sedikit berbeda. Ada perasaan tak menentu yang menggantung, antara keinginan untuk memahami pertemuan ini dan rasa takut akan hal-hal yang belum aku ketahui.
Aku menggenggam kartu nama itu lebih erat, memutuskan untuk menyimpannya dalam dompet. Mungkin ini hanya sekadar pertemuan singkat, atau mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih. Apapun itu, aku tahu bahwa momen ini akan terus terngiang di benakku, setidaknya sampai aku menemukan jawabannya.
Langit di luar semakin gelap, tapi di dalam hati, aku merasa ada secercah harapan baru yang perlahan menyala.
Pameran literasi di kafe itu akhirnya selesai. Aku merasa lega sekaligus puas melihat banyaknya buku yang terjual. Buku-bukuku ternyata cukup diminati, dan beberapa pembaca bahkan sempat bertanya tentang inspirasiku menulis. Meski lelah, ada rasa bangga yang menyelinap di antara rasa khawatir yang selalu menemani setiap kali aku harus tampil di depan umum.
Saat acara mulai bubar dan pengunjung kafe satu per satu meninggalkan tempat, aku merapikan barang-barangku. Cahaya lampu di dalam kafe mulai redup, memberi tanda bahwa malam semakin larut. Aku menghampiri Bima Wiratama, pemilik kafe sekaligus teman lama yang selalu mendukung kegiatanku. Bima, dengan senyumnya yang ramah, menyapaku saat aku mendekat.
“Terima kasih sudah ikut meramaikan acara ini, Bentala,” katanya sambil menepuk bahuku. “Bukumu laris manis, lho. Selalu senang melihat karya teman sendiri diapresiasi.”
Aku hanya tersenyum sambil mengangguk, merasa nyaman dengan kehangatan yang terpancar dari perkataannya. “Terima kasih juga sudah memberikan tempat ini untuk acara pameran. Tempatmu selalu menjadi yang terbaik untuk acara seperti ini.”
Setelah berbincang sebentar, aku berpamitan. Udara malam yang sejuk menyambutku saat aku melangkah keluar dari kafe. Jalanan di sekitar Gejayan masih cukup ramai, namun malam sudah mulai menunjukkan kesunyian khasnya. Aku berjalan dengan langkah ringan menuju kostku yang tidak jauh dari sini.
Namun entah kenapa, ada dorongan dalam diriku untuk tidak langsung pulang. Sebaliknya, aku memutuskan untuk mengambil jalan memutar, melewati Jalan Malioboro. Tempat itu selalu memiliki daya tarik tersendiri, dengan kehidupan yang tetap berdenyut meski hari sudah larut.
Jalan Malioboro malam ini masih penuh dengan keramaian sisa-sisa wisatawan dan pedagang kaki lima. Lampu-lampu jalan menerangi trotoar, memberikan nuansa hangat di tengah malam. Aku berjalan pelan, menikmati hiruk-pikuk yang mulai berkurang, memandangi etalase toko-toko dan kios-kios yang mulai tutup.
Saat aku hampir sampai di ujung jalan, tiba-tiba mataku menangkap sosok yang familiar. Radinka. Dia sedang keluar dari salah satu bangunan di dekat pintu masuk Pasar Beringharjo, ditemani oleh seorang teman. Mereka tertawa sambil bercakap-cakap, tampak akrab satu sama lain. Aku ragu untuk sejenak, namun akhirnya memberanikan diri melangkah mendekat.
“Radinka?” aku memanggilnya pelan, cukup keras untuk didengar di tengah keramaian yang tersisa.
Dia menoleh, tampak sedikit terkejut melihatku, tapi kemudian senyumnya mengembang. “Bentala! Tak disangka kita bertemu lagi di sini.”
Temannya menatapku dengan penasaran, tetapi Radinka segera memperkenalkan kami. Setelah berbasa-basi sebentar, temannya berpamitan, meninggalkan kami berdua.
“Kebetulan yang menyenangkan,” Radinka berkata sambil melirikku. “Sudah mau pulang?”
Aku mengangguk. “Iya, tadi selesai acara di kafe. Kamu sendiri?”
“Baru selesai makan malam dengan teman. Sudah lama nggak jalan-jalan di Malioboro, jadi sekalian nostalgia,” jawabnya dengan senyum. “Bagaimana dengan acara pameranmu tadi?”
Aku menceritakan padanya bagaimana pameran literasi itu berjalan dengan baik, bagaimana bukuku diterima dengan baik oleh para pengunjung. Dia mendengarkan dengan perhatian yang tulus, membuatku merasa nyaman untuk berbicara lebih banyak.
“Kamu benar-benar penulis yang hebat, Bentala,” katanya dengan nada kagum. “Aku senang melihatmu sukses.”
Aku tertawa kecil, merasa tersanjung namun juga sedikit canggung. “Aku hanya menulis apa yang ada di pikiranku. Tidak ada yang istimewa.”
“Tapi justru itu yang membuatnya istimewa,” jawabnya. “Kejujuran dalam tulisan itu tidak semua orang bisa mencapainya.”Kami melanjutkan obrolan sambil berjalan menyusuri Malioboro, menikmati suasana malam yang semakin sepi namun tetap memancarkan pesonanya. Ada sesuatu yang menyenangkan dalam kebetulan ini, seolah-olah dunia sengaja mengatur agar kami bertemu kembali di tempat yang begitu ikonik ini.