Loading...
Logo TinLit
Read Story - UNTAIAN ANGAN-ANGAN
MENU
About Us  

“AWAS WOY AWAS!” 

 

Alvi yang sedang enak-enak duduk bengong di pinggir lapangan terlonjak kaget. Ia sudah berniat berdiri dan mundur, tapi terlambat. 

 

Bola basket sudah meluncur dengan kencang ke arahnya. 

 

“Ahh, pasti kena inimah!” pikirnya. 

 

Alvi mengangkat kedua tangannya yang berat untuk melindungi kepalanya dan memejamkan matanya erat-erat.

 

BUGH!

 

“Hah, kok gak sakit–” 

 

“GILA! GAK PUNYA MATA YA LO?” 

 

Alvi mendongak. Melihat seorang laki-laki berkulit kuning langsat, wajahnya rupawan, rambut coklatnya disisir rapi, fisiknya kurus berotot. Sangat ideal. Sangat…

 

“...ganteng…” pikirnya. 

 

Jadi laki-laki ini yang menghalau bola basket mengenai kepalanya. 

 

“WOY! Sadar!” laki-laki di depannya menepuk bahunya yang tegang. 

 

“Oh, iya… maaf…” Alvi menggumam. 

 

“Lo udah tau ada yang main basket, malah duduk disini. Kalo kena ntar lo nyalahin kita! Udah cepetan lo balik!” omelnya. 

 

“Ah… eh..” Alvi tergagap.

 

“Ah-eh, ah-eh, ngomong yang jelas!” 

 

“Uhh.. tapi gue juga anak basket…” 

 

“...”

 

“Ini lagi… ngeliat tim kalian main…” 

 

Alvi tidak menerima tanggapan. Jadi ia mendongak sekali lagi. Laki-laki tadi terlihat bingung sebelum bibirnya tersenyum miring dan alisnya terangkat sebelah. 

 

“Lo anak basket? Trus lo ngapain masih di sini? Itu yang cewek udah jalan ke lapangan sebelah, udah mulai latian,” 

 

Alvi melihat sekelilingnya. Benar. Anggota basket lainnya sudah berada di lapangan sebelah, sedang berlari mengelilingi lapangan. 

 

Kulit Alvi memang gelap, tapi siapapun bisa tahu kalau saat ini ia sedang merona karena malu. 

 

“HAHAHAHH!” tawa laki-laki di depannya terdengar. Mata Alvi menatapnya lekat-lekat. 

 

“..jadi gini kalo orang ganteng ketawa, enak diliat…” pikirnya. 

 

 

“Oi, Yuza! Lo ngapain sih lama banget?” seru seseorang dari kejauhan. 

 

“Bentar!” 

 

Yuza balas memandang Alvi yang masih terduduk di pinggir lapangan basket. 

 

“Jangan bengong, Ndut. Udah sana latian!” kata Yuza sambil mengulurkan tangannya kepada Alvi. 

 

Alvi mengambil tangan itu tanpa ragu dan mencoba berdiri. 

 

“Gila lo berat banget. HAHAH!” kata Alvi sembari membalikkan badannya, melanjutkan permainan basket.

 

Alvi melihat tangannya yang bersentuhan dengan cowo itu. 

 

Yuza. 

 

“Yuza…” Alvi memandang tangan itu dengan mata berbinar-binar.  

 

Alvi harus mengakui. Dengan tingginya yang cuma satu setengah meter tambah 4 senti, dan beratnya yang mencapai 130 kilogram, dia sangat gemuk. Kulitnya gelap. Dan rambutnya keriting dan kering. Selain pipinya yang chubby dan hidungnya yang mancung, wajahnya biasa saja. Tidak jelek. Tidak cantik. 

 

Ia hanya gadis biasa. 

 

“Vi, maaf lo bisa geser bangku lo ke kanan sedikit gak? Rada sempit nih gue…”

 

“Vi, lo gak pake parfum, ya? Nih, pake, lo abisin aja gapapa kok! Mau gue pakein?” 

 

“Vi, sori banget lo bisa duduk dibelakang gak, gue gak bisa liat papan tulis soalnya lo gede banget…” 

…atau setidaknya itu yang ingin ia percaya. 

 

Ia sudah biasa diperlakukan seperti ini. Tapi bukan berarti dia terbiasa dengan rasa sakit hatinya. 

 

Saat SMP, kata-kata yang dilontarkan kepadanya jauh lebih kejam. Mungkin karena mereka masih kekanakan, anak laki-laki di kelasnya selalu mengatainya dan anak perempuan selalu menjauhinya. Pernah sekali perkara bullying itu mencapai puncak sampai-sampai Alvi tidak mau melanjutkan sekolah. 

 

Sedangkan di SMA ini, sebenarnya sudah tidak ada bullying terang-terangan. Namun merasakan bahwa seluruh siswa di ruangan yang ia duduki tidak nyaman hanya karena keberadaannya tentu saja sakit. 

 

Makanya Alvi selalu berusaha untuk mengalah dan berbuat baik. Ia berharap semoga walaupun teman sekelasnya tidak begitu menyukai Alvi, mereka tidak terlalu membencinya. 

 

“Uh, Vi. Lo udah ngerjain PR minggu kemaren kan? Gue boleh liat punya lo gak?”

“Oh, boleh kok boleh! Nih!” Alvi menjawab dengan senyuman. 

“Thanks, Vi…” 

“Sama-sama! PR Fisika buat besok juga udah gue kerjain, kalo lo mau liat,” Alvi menambahkan. 

“Uhh… boleh deh Vi. Makasih ya,” 

 

Siswi itu membawa dua buku tugas Alvi dan pergi ke mejanya yang ramai. 

 

“Wih, Vi! Gue juga nyontek punya lo yak!”

“Asikk! Thanks Alpi! Lo baik banget deh!” 

“Vi jangan lupa PR Bahasa Inggris juga ya! Hahahah!”

 

Alvi tersenyum melihat mereka. 

 

“Alviiii! Kamu udah dateng!” suara yang familiar terdengar menghampirinya. 

 

Teman-teman sekelasnya mulai riuh berbisik. 

 

“Eh, itu bukannya anak kelas sebelah?”

“Ya Tuhan imut banget… putih, mungil…”

“Dia temenan sama Alpi?”

“Pas dia jalan wanginya enak banget, sialll. Apakah dia jatuh dari surga???”

 

Alvi melihat ke arah suara yang mencarinya. Fana Zafira. Cantik imut bagaikan malaikat. Alvi tersenyum kaku. 

 

“Hai, Fan?”

“Haiii! Wah kelas kamu walau pagi udah rame, ya! Beda banget sama kelas aku, belom ada yang dateng jadi aku sendirian, aku takut!” 

 

Alvi bisa melihat dan merasakan bahwa anak laki-laki di kelasnya sedang menutup wajahnya untuk menyembunyikan rona pipi. 

 

“Dia kesini karena takut sendirian di kelas? Gila imut bangett!” pikir mereka serempak. 

 

Alvi memandangi wajah Fana. Bibirnya merah muda merona sehat. 

 

“Kamu kok ngeliatin aku gitu?” Fana menegurnya dengan suara lembut. 

“Haha, lo cantik banget makanya gue salfok. Uh, btw lo pake lipstick gitu-gitu gak? Warna bibir lo bagus banget,” Alvi menyelipkan pujian. 

“Wahaha! Makasih Alvi! Aku jadi malu dipuji sampe dikira pake lipstick segala! Lagian cantikan juga bibir kamu tau! Kayak seksi-seksi latina gitu!” tanggap Fana. 

 

Alvi bisa melihat dan merasakan bahwa anak laki-laki di kelasnya sedang berbatuk-batuk karena tidak setuju. 

 

Alvi hanya tertawa ramah menanggapi pujian itu. Kemudian mereka mengobrol ramah sampai bel masuk berbunyi. 

 

 

Segera setelah bel pulang berbunyi, Alvi sudah diseret oleh seseorang. 

 

“Vi! Ayo buruan!” 

 

Seorang itu makin cepat berjalan cepat di depannya. 

 

“S-sabar Yar… g-gue capek… hufttt,”

 

“Masa cuma turun 4 lantai udah capek Vii, ayoo!” jawabnya santai dan berjalan cepat menuju arah depan. 

 

“Huft… gampang ngomongnya kalau badan lo seideal itu…” pikir Alvi. 

 

Yara punya wajah keturunan Tionghoa yang bersih putih, mata yang kecil namun tajam, tubuh yang sangat ideal untuk anak kelas satu SMA. 

 

Fana mungkin banyak disukai anak laki-laki karena ia mungil, kurus dan terlihat rapuh, pesona yang feminin dan lembut. Namun Yara dikenal karena tubuhnya yang tidak terlalu pendek, tidak terlalu tinggi, tidak terlalu kurus, tidak terlalu gemuk, ototnya ada di tempat yang pas membuat tubuhnya atletis. Belum lagi kulit putih bersih yang memeluk otot-otot itu. Wajahnya sedap dipandang, tidak terlalu feminin, tapi tidak maskulin juga. Belum lagi potongan rambutnya gaya wolf cut pendek yang menyerupai laki-laki sangat cocok dengan pesonanya. 

 

Tidak heran banyak anak perempuan yang menyukai Yara sebelum sadar bahwa gadis itu mengenakan rok. 

 

“Yar, pelan-pelan. Lo sadar kan kalo Alvi bukan atlet kaya lo?” suara yang tenang menegur Yara. 

 

Alvi menengok ke arah sebelahnya dan senyum merekah. 

 

“Nadya!” sapa Alvi, suaranya penuh semangat. 

 

“Hai!” Nadya tersenyum balik. 

 

“Sorry dehhh! Tapi serius cepetan nanti gua ketauan anak-anak lain kalo gua bolos latian hari ini!” Yara meminta maaf dengan kasual. 

 

“Makanya lo kenapa bolos?” Nadya bertanya dengan suaranya yang tenang sekali lagi. 

 

“Lu gak tau seberapa capeknya latian silat, Nad! Dateng-dateng lu disuruh lari lapangan sepuluh kali, sit up, push up, jurus, peregangan. Trus pas udah malah cuma mukulin samsak… padahal gua mau langsung adu jotos aja, tapi gak boleh!” keluh Yara. 

 

Alvi tertawa. 

 

“Ya gak boleh lah! Lagian latian itu yang bikin lo kuat, kan? Teknik kan juga penting, toh nanti kepake pas lo sparring!” Nadya menanggapi. 

 

“Bener, Yar. Kan karena itu lo–” Alvi tidak melanjutkan. 

 

“Gua kenapa, Vi?”

 

“...karena itu lo bisa dapet badan sebagus itu,” lanjut Alvi dalam pikirannya. 

 

“...lo bisa dapet banyak piala dan medali, haha!” Alvi berusaha menyelipkan tawa dalam kata-katanya. 

 

Yara hanya tersenyum bangga. 

 

“Ya dehhh, tapi hari ini pokoknya gua bolos! Karena gua mau balik bareng kaliannn!” seru Yara, memeluk bahu kedua temannya yang berbadan jumbo itu. 

 

Alvi meringis. 

 

Bukan karena cengkraman Yara yang cukup kuat. Tapi karena ia menyadari bahwa tubuh Yara yang ramping itu ukurannya hanya setengah dari tubuhnya. 

 

Nadya tertawa ramah. Kemudian menatap Alvi. 

 

“Vi, tebak, menurut lo angkot keberapa yang bakal lega hari ini?” tanya Nadya. 

 

Alvi berpikir sejenak. “Hmm… ketiga?” 

 

— 

 

Salah. 

 

Angkot lega yang mereka idam-idamkan datang setelah 5 kali mereka ditolak. 

 

“Huftt, akhirnya sepi juga!” seru Alvi menaiki angkot. 

 

“Mau minum, Vi?” tanya Nadya setelah duduk nyaman di dalam angkot. 

 

Alvi tersenyum sambil mengangguk. Ia menerima air minum dari Nadya. 

 

“Makasih Nad!” ucapnya bersemangat. 

 

Nadya tersenyum sambil mengacungkan jempol. 

 

Nadya. Dari seluruh penghuni SMA-nya, mungkin hanya Nadya yang bisa membuat Alvi merasa dimengerti. Alasannya karena Nadya-lah yang punya fisik mirip dengan Alvi. Berat Nadya 130 kilo, tingginya 168 senti. 

 

Wajahnya juga biasa saja. Tidak begitu cantik, tapi tidak jelek juga. Belum lagi suaranya yang selalu bervolume kecil dan sangat menenangkan. Menurut Alvi, hanya Nadya-lah yang benar-benar mengerti perasaannya. 

 

Alvi bersimpati dengan Nadya. Diam-diam ia berpikir bahwa mungkin Nadya merasakan perasaan yang sama seperti dirinya. Melalui pengalaman yang mirip dengannya. Dan akhirnya harus bertahan dengan menawarkan jasa kebaikan hati bagi sekitarnya. 

 

“Kalo lo udah tau lo jelek, setidaknya lo jadi baik. Kalo lo mau semena-mena, ya lo harus cantik lah!”

 

Tiba-tiba Alvi teringat kata-kata itu. 

 

bersambung

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Segitiga Sama Kaki
588      415     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
Epic Battle
484      377     23     
Inspirational
Navya tak terima Garin mengkambing hitamkan sepupunya--Sean hingga dikeluarkan dari sekolah. Sebagai balasannya, dia sengaja memviralkan aksi bullying yang dilakukan pacar Garin--Nanda hingga gadis itu pun dikeluarkan. Permusuhan pun dimulai! Dan parahnya saat naik ke kelas 11, mereka satu kelas. Masing-masing bertekad untuk mengeliminasi satu sama lain. Kelas bukan lagi tempat belajar tapi be...
ADITYA DAN RA
18851      3122     4     
Fan Fiction
jika semua orang dapat hidup setara, mungkin dinamika yang mengatasnamakan perselisihan tidak akan mungkin pernah terjadi. Dira, Adit, Marvin, Dita Mulailah lihat sahabatmu. Apakah kalian sama? Apakah tingkat kecerdasan kalian sama? Apakah dunia kalian sama? Apakah kebutuhan kalian sama? Apakah waktu lenggang kalian sama? Atau krisis ekonomi kalian sama? Tentu tidak...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
197      138     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Tanpo Arang
38      32     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Sweet Seventeen
984      709     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
Kembali ke diri kakak yang dulu
858      636     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
Langkah yang Tak Diizinkan
167      139     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Lost Daddy
5215      1181     8     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
Langkah Pulang
376      275     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...