Suara tepuk tangan lambat terdengar setelah Alan selesai tampil. Mereka seperti butuh waktu untuk 'kembali' dan beradaptasi dengan rasa sakit yang Alan tularkan melalui lagu yang dia bawakan. Demikian pula yang dirasakan para juri. Adel yang sudah menangis sejak penampil pertama, berusaha mengontrol diri. Dia mendekatkan mikrofonnya, kemudian mulai berbicara.
"Alan, sama seperti Ren, Mami mau tau alasan kamu memilih lagu ini?"
"Waktu sesi mentoring, Bang Jalu cuma minta aku jujur saat pemilihan lagu. Tentang aku dan perasaanku. Jadi, lagu itu satu-satunya bentuk kejujuran yang bisa aku sampaikan tanpa harus membuka diri."
"Penampilan kamu baik sekali malam ini, Alan. Kamu tau caranya menjadi pusat perhatian. Kami semua di sini melihat kamu dengan jelas, dan bisa merasakan sakitnya. Padahal, nggak ada apa pun di belakang kamu, cuma siluet kamu sendiri dan grand piano itu, tapi kami bisa merasakan sakit yang luar biasa. Kamu tau nggak, kenapa?"
Dengan polos Alan menggeleng. Dia tidak merasa seperti itu. Sepanjang menyanyi dia tidak memperhatikan sekitarnya, sengaja agar tak hilang fokusnya.
"Karena kamu jujur," sahut Adel. Dia tersenyum, lantas melanjutkan ucapannya, "Alan, terima kasih, ya, sudah bertahan? Kamu hebat banget bisa bertahan sampai sejauh ini. Jangan lupa bilang itu juga sama diri kamu sendiri, ya."
Sesaat Alan terdiam. Kalimat itu terdengar sederhana, tetapi hangat di dadanya. Seperti mengatakan dengan gamblang, 'Alan terima kasih, sudah tetap hidup.'
Jalu berdeham, kemudian menatap Alan lama. Dia tak langsung bicara, memilih memperhatikan anak itu dalam-dalam. Alan tampak kosong pikirnya setelah mendengar apa yang dikatakan Adel. Melihat itu, Jalu memilih naik ke atas panggung, menemani Alan di sana. Sejak mereka bicara tempo hari, Jalu tahu ada yang tidak beres dengan anak itu.
"Alan ini hebat banget," ujar lelaki itu sembari merangkul tubuh jangkung Alan. "Di saat teman-temannya udah tau mau bawain lagu apa, Alan masih bingung. Dia bahkan nggak bisa menilai dirinya apalagi perasaannya. Sampai akhirnya saya tanya, 'kalau misal kamu bawain lagu, apa yang kamu bayangkan?' dan anak ini cuma jawab, 'kalau sedih bayangin almarhum Ayah, kalau senang bayangin mimpiku terwujud' teori yang sekilas terdengar benar, tapi kurang tepat karena nggak begitu cara menggali nyawa sebuah lagu. Tapi, malam ini ... anak ini tampil lebih baik dari yang saya pikirkan. Saya bangga. Good job, Alan. Saya masih berharap bisa ketemu kamu lagi minggu depan. Jadi, berusaha lebih keras lagi, ya."
"Makasih banyak, Bang."
Dia hanya tersenyum, kemudian mengangguk. Usai bicara demikian, Jalu langsung turun.
Kali ini Yogi yang mengambil kendali. Dia tersenyum puas, kemudian berkata, "Kamu bukan cuma perform Alan, tapi confess. Lewat lagu itu juga kamu bukan hanya jujur, tapi mencoba untuk sembuh, dan itu keren."
Alan terus mendengar pujian dari hampir semua juri, dan dia tidak tau harus apa selain mengucap terima kasih berkali-kali. Entah untuk pujian tersebut atau luka yang dia perlihatkan seterang-terangnya. Namun, anehnya ... ada perasaan lega? Seperti berhasil mengungkapkan semua rasa sakit dan kecewanya selama ini. Sampai tiba-tiba sepasang netranya beradu dengan milik sang bunda. Perempuan itu memegang ponsel, memberi kode akan menghubungi atau entah apa. Meski jauh di sana, tetapi berhasil membuat kesadaran Alan kembali segera. Nyaris tidak mungkin dia pulih dengan cepat jika sang bunda tetap menjadi orang yang sama.
Selesai dengan Alan, di segmen kedua ini finalis lain tampil bergantian dan menerima komentar berbeda-beda. Suara Sakha sedikit terpengaruh karena terus menangis dan menerima beberapa masukan dari para juri. Evan tampil luar biasa dengan membawakan lagu milik Tulus. Seorang Arthur memberi nuansa yang sedikit segar dengan tampil bersama dancer. Sean juga menerima masukan yang banyak soal rasa.
Pada segmen ketiga, lampu yang sebelumnya redup kini tampak lebih netral. Sang pembawa acara kembali ke tengah panggung ditemani oleh kesepuluh peserta. Wajah mereka tampak tegang, tetapi sebagai pemandu acara dia berusaha menenangkan. Ren dan Sakha masih tampak terbawa dengan nuansa tadi, sementara Alan cenderung terlihat cemas. Cemas akan hasil pemungutan suara nanti.
"Itulah penampilan kesepuluh peserta. Mereka tampil luar biasa pada challenge pertama ini. Banyak warna yang mereka persembahkan. Luka, rasa sakit, kerinduan, perjuangan, dan pencarian jati diri. Sekarang waktunya pemirsa yang menentukan siapa yang layak melaju ke babak selanjutnya atau berhenti di sini. Masih ada sisa waktu beberapa menit sebelum vote ditutup. Vote hanya dilakukan di aplikasi N-Jeen+."
Alan meremas jarinya sembari menunduk dalam. Mati-matian dia menghindari tatapan sang bunda. Seluruh tubuhnya terasa dingin, tangan dan kakinya bahkan mati rasa. Bagaimana jika dia gagal?
Sembari menunggu vote ditutup. Recap singkat penampilan mereka diputar. Momen emosional, klimaks, reaksi dan komentar singkat para juri, semua disusun sedemikian rupa. Setelahnya, kamera bergantian menyorot wajah mereka, membuat ketegangan semakin nyata. Yogi yang duduk di kursi juri memberi kode bahwa dia ingin bicara, saat diberi kesempatan, lelaki itu hanya mengucap kalimat sederhana, tetapi besar maknanya.
"Malam ini, kalian semua sama-sama hebat. Kalian tidak hanya tampil sebagai peserta, tapi sebagai manusia, dan itu adalah keberanian yang luar biasa. Jadi, apa pun yang terjadi, saya harap kalian bisa melanjutkan hidup dan jadi lebih baik dari hari ini."
Mendengar kalimat itu, raut kesepuluh peserta berubah lebih tenang. Mereka tahu sudah melakukan yang terbaik. Tidak mudah menjalani ini semua sebab dari tahap ke tahap peserta semakin mengerucut.
Tak lama, layar di belakang menampilkan angka-angka yang bergerak mundur. Dari sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, dan diakhiri angka satu.
"Pemirsa di rumah, voting sudah ditutup. Sekali lagi, voting sudah ditutup."
Bersamaan dengan itu layar di belakang menampilkan tulisan 'Voting Closed' dengan efek suara yang menambah sensasi tegang.
Alan berdiri di sudut paling kanan. Dia terus menunduk sembari memegangi perut. Sebisa mungkin dia menghindari sorot kamera, karena hanya dengan cara itu dia bisa menyembunyikan kecemasannya.
"Sepuluh peserta sudah menunjukkan penampilan terbaiknya. Tapi, malam ini ... satu orang harus berhenti di sini."
Muncul tulisan kecil di depan panggung yang bisa dibaca oleh yang pemandu acara. 'Hasil voting global sudah diperoleh’, demikian yang tertulis. Sang pembawa acara spontan mengulang informasi tersebut, dan meminta seluruh peserta bergerak ke tempat masing-masing.
"Hasil voting lebih dari sepuluh negara sudah diperoleh, dan peringkat didapat berdasarkan total suara real time yang masuk melalui aplikasi N-Jeen+. Kami akan mulai mengumumkan dari peringkat tertinggi. Kepada seluruh peserta, silakan bersiap di tempat yang sudah kami sediakan.
Sepuluh pemuda itu melangkah maju beberapa langkah. Di bawah mereka kembali muncul lampu-lampu yang menyala seperti tuts piano. Jika lampu tersebut berubah merah, maka orang itulah yang harus pulang.
"Posisi pertama dengan total vote 1.789.453 jatuh kepada ...."
Musik berbunyi kian nyaring, bersamaan dengan lampu sorot yang terus bergerak di atas mereka.
"Selamat kepada ... Alano Nayaka Rasendriya. Kamu jadi peserta pertama yang lolos malam ini."
Untuk sesaat Alan mematung. Dia tidak percaya dengan perolehan suaranya. Sebesar itu dukungan mereka? Benarkah? Dia langsung digiring menuju bagian samping panggung, berdiri di sana menunggu teman-temannya yang lain.
Evan yang ada di urutan kedua, Nuka diurutan ketiga, Jean di urutan keempat, dan Sean diurutan kelima langsung berdiri membentuk barisan di sebelah Alan, sedangkan lima lainnya yang berada di posisi tidak aman-yakni Yuka, Saga, Sakha, Arthur, dan Ren-masih berdiri di tengah panggung.
"Satu dari lima peserta yang berada di posisi tidak aman, harus pulang malam ini. Dan orang tersebut mendapat perolehan suara sebanyak 874.908. Kira-kira? Siapa yang harus pulang? Kita lihat setelah pariwara berikut ini."
Sesaat setelah jeda iklan, alunan musik kembali terdengar. Mereka yang sebelumnya bisa bernapas kembali merasa sesak menunggu siapa yang harus pulang. Alan apalagi. Ren dan Sakha ada di tempat tidak aman, dan itu benar-benar menyedihkan untuknya.
Suara musik berubah seperti detak jantung mereka, menegangkan dan menekan, membuat waktu seakan melambat. Lampu studio dibuat kembali redup, kontras dengan lampu sorot yang kembali menyapu wajah mereka. Pandangan Ren kosong. Di minggu pertama dia sudah harus berdiri di sini, padahal Ren tahu betapa besar harapan bapak dan ibunya. Sakha menggigit bibir bawahnya, sibuk berpikir, jika gagal ke mana dia harus pulang? Apakah sang mami masih bersedia menerimanya? Arthur yang masuk tanpa motivasi sudah tahu hal ini mungkin terjadi. Saga benar-benar terluka, di saat mimpinya seolah tinggal selangkah, dia justru harus tertahan di sini dengan perasaan menakutkan. Sementara Yuka, dia pasrah seperti biasa karena masuk sini saja iseng semata. Jika beruntung syukur, tidak juga ya sudah.
"Dari lima peserta yang tersisa, satu orang di antara kalian akan pulang malam ini. Dengan perolehan suara sebesar 874.908, yang akan pulang adalah ...."
Musik terdengar semakin nyaring, kamera bergerak cepat menampilkan wajah-wajah cemas para peserta bergantian. Sampai kemudian ... salah satu lampu di bawah pijakan mereka berubah merah.
"Ananda Yuka Pratama, mohon maaf, langkahmu berhenti di sini."
Mereka berempat langsung menghambur memeluk anak itu. Sakha menangis paling keras sebab mereka dari satu kota yang sama, dan keduanya sudah melangkah sampai sejauh ini.
Alan, Evan, Nuka, Jean, dan Sean juga berjalan mendekat, kemudian memeluk anak itu. Dia merupakan peserta paling muda kedua setelah Sakha. Jadi, mereka sudah menganggapnya seperti adik sendiri.
"Makasih, ya, Kak, udah benar-benar jagain aku selama di sini," ucap Yuka sembari memeluk Sean.
"Kamu jaga diri, ya, Dek. Sehat terus. Jangan putus asa oke. Pasti ada jalan lain buat kamu," sahut Sean.
Sang pembawa acara meminta Yuka ke depan, sekadar menyampaikan sepatah atau dua patah kata untuk semua orang.
"Pertama, terima kasih untuk para juri. Terima kasih kesempatannya, terima kasih juga ilmunya. Aku bangga banget bisa ada di sini, di tengah kakak-kakak yang hebat ini," katanya sembari menoleh dan menatap peserta lain satu per satu. "Terima kasih juga buat orang tuaku yang memberikan dukungan penuh, teman-teman semua yang udah vote aku juga. Maaf kalau aku harus berhenti sampai sini, tapi aku janji nggak akan putus asa dan berusaha lebih keras suatu hari nanti. Semangat untuk kita semua."
Mereka kembali saling berpeluk lama. Para juri juga maju untuk memberi semangat.
***
Mereka sudah sama-sama lelah ketika kembali. Tekanan yang mereka dapat sejak awal juga tak main-main. Semua langsung menjatuhkan diri di sofa ruang tengah. Hasil sudah muncul yang artinya posisi kamar juga diperbarui.
"Berarti kalau misal mau bertahan harus jual kesedihan, ya?"
Mendengar pertanyaan itu, Ren mengernyit, kemudian berbalik menatap pemuda yang duduk tepat di sebelahnya. "Maksud lo apa, ya, Kak?" tanyanya pada Sean.
Sean menyeringai, kemudian tertawa. Tawa yang terdengar tajam dan mengejek. "Alan buktinya? Modal bilang jujur kalau hidupnya sehancur itu, orang-orang langsung menjadikan dia yang pertama seolah dia layak di posisi itu."
"Aa emang layak ada di posisi itu, dan elo nggak pantas bilang kayak gitu. Kalau iri bilang aja, nggak harus nyenggol luka orang."
Alan tak bersuara. Dia memilih diam, membiarkan orang sibuk dengan penilaian pun pemikirannya.
"Halah, ditinggal bokap doang emang sehancur itu, ya? Yuka lebih pantas ada di sini daripada Alan. Harusnya dia yang pulang kalau bukan cuma modal rasa kasihan orang."
Sakha melotot mendengar celetukan cowok itu. Namun, terkejut karena Alan tidak mengatakan apa pun bahkan setelah Sean menginjak habis lukanya. Dia yang bukan siapa-siapa saja merasa marah dan terluka. Mengapa Alan diam?
"Mulut lo jahat sumpah. Lo nggak akan tau gimana rasanya kecuali merasakan itu sendiri. Baik-baik, deh, lo. Berdoa semoga kedua orang tua lo sehat terus." Ren menatap Alan yang masih duduk diam bersandar pada sandaran sofa, kemudian menariknya. "Ayo, Kak. Mulut orang iri itu ngeri."
Alan patuh saja, mengikuti ke mana Ren membawanya.
Sakha ikut bangkit, tetapi sebelum benar-benar pergi, dia sempat berkata, "Kalau nggak bisa menempatkan diri buat memahami rasa sakit orang lain, minimal nggak bilang sesuatu yang bikin dia lebih sakit lagi. Bukan cuma mulut lo yang jahat, Kak. Hati lo juga busuk."
Sean tidak peduli dengan penilaian mereka. Dia bersumpah akan menunjukkan bahwa menjadi yang pertama tidak melulu karena belas kasihan.
- Bersambung -
Semangat yah buat teteh, tetap semangat nulis. Jangan nyerah walau badai terus menerjang.
Comment on chapter Chapter 1 - Alan versi lebih hidup