Hujan baru saja reda saat Amalia berjalan menyusuri lorong fakultas, tangannya menggengam sketsa yang baru saja ia cetak.udara lembab bercampur bau tanah basah menambah kesan sendu sore itu. Ia tidak bermaksud ke mana-mana langkahnya lebih seperti pelarian dari ruang studio yang pengap, dari suara- suara orang yang terlalu ribut, dari tekanan deadline dan tanya tentang siapa dirinya sebenarnya.
Ia menyukai kampus di jam-jam lengang begini,. Sebab hanya di saat seperti ini, warna-warna emosi yang ia lihat dari orang lain pudar. Bahkan nyaris tak terlihat, seolah semua perasaan disimpan rapi di balik pintu yang sudah digembok. Sunyi adalah ruang aman bagi matanya. Ketika ia melewati taman kecil di sisi gedung pascasarjana , ia melihat seseorang sedang duduk di bangku batu yang jarang dipakai. Sekilas saja ia mengenali sosok itu, rambut dikuncir sederhana, mengenakan blus krem dan celana kain longgar.
Sekar. Salah satu dosen seni rupa.
Amalia hendak menunduk dan berlalu begitu saja, tapi sekar mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Amalia? Sedang apa di sini?"
"cuma...jalan-jalan , Bu."
"Menikmati sore yang tenang?"
Ia ragu-ragu sejenak, lalu mengangguk.
Sekar menepuk sisi bangku. "Mau duduk sebentar?" ia menurut , lalu mereka duduk bersebelahan, diam .
Lalu sekar berkata pelan, seolah sedang membicarakan sesuatu yang sepele, "Aku mengenal ibumu."
Amalia menoleh cepat. "Ibu Ayu?"
Sekar mengangguk , "Kami pernah satu komunitas. Dulu, waktu kami sama-sama masih mencari arah. Amalia mengernyit. Ada keraguan dalam dirinya, antara ingin tahu dan takut tahu. " Ibu tidak pernah cerita."
Sekar menatapnya, kali ini lebih lama. Mata itu tenang, tapi Amalia bisa melihat semburat warna biru tua di sana. Penyesalan.
"Mungkin karena itu bagian yang terlalu berat untuk dikenang.
"Tentang apa , Bu ?"
"Tentang kemampuan yang kamu miliki.
Tentang bagaimana ibumu dulu berjuang menyembunyikan hal itu dari dunia yang haus akan kekuatan." Sekar menghela napas. "Kau bisa melihat emosi orang lain, bukan?"
Amalia terdiam. Untuk pertama kalinya, seseorang menyebut itu dengan begitu gamblang.
"Kau tidak gila, Amalia. Dan itu bukan kutukan."
Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi Sekar lebih dulu bicara.
"Kalau kau bersedia, ada satu tempat yang ingin kutunjukkan. Tempat yang dulu pernah jadi rumah persembunyian ibumu. Rumah Sunyi. Mungkin di sana kau akan mendapat jawaban yang kau cari.
Perjalanan ke Rumah Sunyi memakan waktu hampir dua jam. Mobil tua Sekar menembus jalanan berkelok di pinggir kota, masuk ke area perbukitan kecil yang terlupakan. Di sepanjang perjalanan, Amalia mencoba mengingat sesuatu apa pun tentang masa kecilnya yang bisa menjelaskan siapa ibunya sebenarnya. Tapi semua terasa seperti potongan-potongan mimpi yang tak pernah utuh.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah kayu dengan halaman luas dan pepohonan rindang. Tidak ada pagar, hanya jalan setapak berkerikil dan suara jangkrik yang terus berdendang.
"Dulu, di sinilah ibumu tinggal setelah keluar dari komunitas itu," kata Sekar sambil membuka gerbang kecil yang sudah berkarat. "Dia menghindar dari siapa pun yang bisa mengungkit kembali masa lalunya."
Ruangan itu dingin dan lengang. Udara seperti menahan napasnya sendiri, dan cahaya senja menerobos lewat kisi jendela tua. Bu Sekar menyentuh bingkai foto di atas meja: Ayu, tersenyum malu, berdiri di bawah pohon flamboyan kampus yang dulu sering mereka lewati bersama.
Amalia duduk di lantai, memeluk lutut. Diam. Mencoba memahami serpihan masa lalu yang baru saja terbuka.
Bu Sekar menatap lurus ke dinding, tapi matanya jauh ke masa puluhan tahun silam.
"Ayu bukan sekadar teman kuliah bagiku," katanya pelan. "Kami sama-sama perantau. Sama-sama membawa luka yang tak pernah kami ceritakan, tapi saling mengerti hanya lewat tatap mata. Ia sudah punya ‘penglihatan’ sejak kami semester awal. Tapi belum bisa mengendalikannya."
Amalia menoleh pelan. “Penglihatan itu maksudnya…”
"Seperti kamu," ujar Bu Sekar lembut. "Warna-warna, bayangan emosi. Tapi lebih liar. Kadang muncul begitu saja, kadang menelan dirinya."
Sekar menarik napas.Lalu mencoba melanjutkan ceritanya.
"Dan saat itu datanglah Bramantyo. Senior sekaligus asisten dosen filsafat. Pintar bicara, karismatik, tapi... ada sesuatu yang gelap di balik sorot matanya. Dia melihat potensi Ayu, lebih dulu dari siapa pun. Ia menawarkan ‘bimbingan’, lalu ‘kerja sama’, dan sebelum kami sadar, Ayu sudah berada dalam lingkaran kecilnya."
Amalia mengerutkan dahi. "Lingkaran apa?"
"Komunitas semi-ilmiah, katanya. Eksperimen batin, katanya. Tapi bagiku... itu sekte kecil yang menyaru sebagai kelompok pengamat emosi manusia. Ayu dijadikan ‘kompas emosi’. Dia duduk di ruang rapat saat Bramantyo bicara dengan pejabat kampus, dengan sponsor. Dia membaca kecemasan, keserakahan, atau keraguan mereka. Lalu Bramanta memanfaatkannya untuk meyakinkan, menggiring arah."
"Seperti dimanfaatkan sebagai alat?" suara Amalia nyaris gemetar.
Bu Sekar mengangguk. "Persis. Tapi Ayu terlalu baik, terlalu ingin membantu. Dia pikir dia sedang berbuat kebaikan. Sampai suatu malam... dia pingsan di tangga belakang gedung A. Wajahnya pucat. Katanya, dia melihat ‘warna hitam’ masuk ke dalam dirinya sendiri."
Amalia menelan ludah.
"Aku tarik dia keluar. Tapi Bramantyo mengancam. Katanya Ayu tidak bisa pergi begitu saja. Ia tahu terlalu banyak. Aku ingat malam kami kabur, menyusuri lorong-lorong kampus dengan napas tercekat. Kami sembunyi di rumah kosong selama seminggu. Lalu Ayu pergi. Tidak pamit. Tapi ia tinggalkan surat padaku."
Bu Sekar menarik lembaran usang dari dompet kecilnya. Surat yang sudah rapuh, dilipat berkali-kali.
"Sekar, kalau aku punya anak nanti, dan dia memiliki 'warna' seperti aku, lindungi dia. Jangan biarkan siapapun menyentuh hatinya demi kepentingan mereka. Aku pernah jadi alat. Jangan biarkan itu terjadi lagi."
Amalia membeku. Tiba-tiba semua warna yang pernah ia lihat dalam hidupnya biru getir dari teman, jingga gelisah dari ayah nya, dan semburat kelabu dari Narasoma semuanya berkumpul dan berputar. Ibu yang selama ini ia kira hanya meninggal karena sakit, ternyata menyimpan luka yang lebih dalam dari kematian.
Bu Sekar menatapnya penuh kasih. "Kau adalah jawaban dari semua penyesalannya, Amalia. Dan mungkin... harapan terakhir kami untuk menuntaskan yang belum selesai."
Hening mengendap di antara mereka. Angin senja menyentuh gorden lusuh, menggesernya sedikit, membuat cahaya bergetar di lantai.
Amalia akhirnya bersuara, pelan. “Jadi… Ayah tahu semua ini?”
Sekar menarik napas, lalu mengangguk pelan. “Pak Daru tahu sebagian. Tapi hanya permukaan. Ia tahu bahwa ibumu sempat terlibat dalam sesuatu yang membahayakan. Tapi tidak semua hal kukatakan padanya. Bukan karena tak percaya… tapi karena Ayu sendiri yang memintanya.”
Amalia menunduk. Ada rasa asing yang perlahan menyusup, seperti ada celah kecil yang baru saja terbuka dalam ingatannya tentang ayahnya. Bukan keraguan, tapi sejenis tanda tanya yang belum bisa ia beri nama.
Sekar melanjutkan, suaranya seperti ditarik dari dasar kenangan. “Ayu sempat kembali padaku, bertahun-tahun setelah kejadian itu. Ia sudah menikah dengan Pak Daru saat itu. Katanya, ingin hidup tenang. Tapi warna-warna itu masih ada di sekelilingnya. Ia tidak pernah benar-benar bisa melepaskan diri.”
“Dia pernah cerita tentang... aku?” Amalia ragu.
Sekar tersenyum, getir. “Ya. Ia sering sekali menyebut namamu. Saat kamu masih kecil, Ayu pernah bilang kamu seperti matahari kecil di tengah hidupnya yang muram. Tapi ada ketakutan yang tak pernah ia ucapkan dengan gamblang. Seolah kalau ia menyebutnya, semuanya akan runtuh.”
Amalia menatap lantai. Cahaya senja menipis, membias dalam bentuk segitiga di dinding. “Ketakutan… tentang apa?”
“Bahwa kebenaran akan sampai padamu. Dan kamu akan membencinya karenanya,” jawab Sekar lirih.
Amalia memejamkan mata sejenak. Hatinya terasa riuh. Setiap kata Sekar seperti membuka laci-laci memori yang selama ini ia biarkan terkunci. “Tapi aku ingin tahu. Aku harus tahu. Apapun itu.”
Sekar menatapnya lama. Lalu ia berdiri, berjalan perlahan menuju lemari kecil di sudut ruangan, mengeluarkan sebuah kotak kayu yang tampak tua. Ia membukanya dengan hati-hati, lalu menyerahkan sebuah amplop kepada Amalia. Di atasnya, tertulis dengan huruf tangan rapi: Untuk Amalia, saat waktunya tiba.
Amalia menatap amplop itu seakan memegang serpihan jiwanya sendiri.
“Itu surat dari ibumu,” ujar Sekar. “Dia menitipkannya padaku sebelum benar-benar menghilang dari semuanya. Ia bilang… hanya kau yang boleh membacanya, dan hanya jika kau sudah cukup kuat untuk menerima semuanya.”
Tangan Amalia gemetar saat membuka amplop itu. Kertas di dalamnya menguning, sedikit rapuh, tapi aroma samar lavender masih tertinggal di lipatannya. Tulisan tangan ibunya melengkung lembut, namun terlihat tergesa, seperti ditulis dalam gelisah yang terpendam terlalu lama.
*Amalia sayang,
Jika kau membaca ini, berarti Sekar sudah percaya bahwa kau siap.
Ada banyak hal yang kusimpan darimu, bukan karena aku ingin berbohong, tetapi karena aku ingin kau memiliki hidup yang utuh tanpa bayangan gelap yang pernah mengejarku. Namun mungkin, aku salah. Mungkin, kau harus tahu tentang kebenaran yang kupikul, tentang siapa dirimu sebenarnya.
Amalia, Pak Daru adalah pria yang sangat baik. Ia mencintaiku, dan ia mencintaimu seperti darah dagingnya sendiri. Tapi darahmu… berasal dari seseorang lain. Namanya Bramantyo.
Aku mencintainya, dulu. Tapi cinta itu tak pernah bebas. Kami terikat dalam sesuatu yang lebih besar dari kami sebuah proyek rahasia yang menyentuh hal-hal yang tak seharusnya disentuh manusia biasa. Aku bisa melihat hal-hal yang tak terlihat. Seperti bisa kau lihat sekarang.
Ketika aku tahu aku mengandungmu, aku pergi. Aku ingin melindungimu dari dunia itu, dari siapa pun yang tahu tentang kemampuan mu.
Amalia berhenti membaca. Seluruh tubuhnya terasa mati rasa. Nama itu Bramantyo asing namun menggema jauh dalam dirinya. Ia mencoba mengingat, menggali, mencari petunjuk dalam memorinya yang berserakan.
Sekar duduk kembali, menatap Amalia yang kini pucat pasi.
“Jadi… Ayah… bukan ayah kandungku?”
Sekar mengangguk pelan, seolah setiap anggukan adalah beban yang sudah terlalu lama ia pikul. “Pak Daru tahu kau bukan darahnya. Tapi ia mencintaimu tanpa syarat, sejak hari pertama. Ayu tak pernah memberitahumu karena ia takut kau akan merasa kehilangan tempat berpijak.”
Amalia memejamkan mata. Dunia di sekelilingnya seperti menyempit, dan warna-warna yang biasa ia lihat berubah sekarang ada merah kehitaman yang menekan dadanya, warna dari luka yang baru saja terbuka.
“Lalu… siapa Bramantyo sebenarnya?” suaranya bergetar.
Sekar menatap lurus ke jendela, ke langit yang mulai kelam.
“Itu... cerita yang panjang, dan berbahaya. Tapi satu hal yang pasti: darahnya mengalir dalam dirimu.
Amalia menggenggam surat itu erat-erat. Angin malam mulai masuk lewat sela-sela jendela, dingin dan membawa bisikan masa lalu. Dunia Amalia tak lagi sama. Tapi satu hal yang ia tahu pasti:
Ia harus menemukan kebenaran itu tentang ibunya, tentang Bramantyo, dan tentang dirinya sendiri. Sebelum semuanya terlambat.
Amalia melangkah masuk. Udara di tempat itu berbeda lebih berat, lebih pekat, seolah membawa beban kenangan.