“Terima kasih atas rasa yakinnya Tuan Muda mengenai tempat ini. Kami menyadari, bahwa tempat ini memang terkesan kurang diminati. Namun kami yakin, setiap niat yang baik pasti akan membuahkan hasil yang baik pula. Tujuan kami hanya ingin membantu banyak hati yang tengah merasa gundah gulana. Satu nasehat dari saya pribadi, apabila merasa frustrasi, meminum minuman alkohol, atau bahkan berniat ingin membunuh diri, keduanya bukanlah suatu solusi. Pelajari di mana letak kesalahannya, berhenti menyalahkan diri sendiri, dan ayo ikut serta, menjadi generasi yang mampu menabur pelita untuk negri ini. Selamat datang, di Choice of Room to Welcome Muses.”
Benar-benar merasa tersentak, sungguh Alvin sama sekali tak menyangka, jika suara itu pun sampai mampu mendeteksi apa yang sempat ia rasakan, dan apa yang sempat ingin ia lakukan.
Percobaan bunuh diri, dan niatnya pada malam ini untuk bisa bersenang-senang di sebuah club malam—sebelum ia mendapatkan selembaran brosur tersebut tadinya.
“What? Dia bisa tahu soal itu?” gumam Alvin menggunakan suara lirihnya, sembari tertunduk—merasa tak percaya.
Tepat sesaat setelahnya, kombinasi warna yang sempat mengitari badannya pun lekas kembali bereaksi. Kumpulan kombinasi yang terkesan bak keajaiban itu pun tampak kembali mengudara bebas, seakan hendak menuju ke suatu arah.
Alvin melihat hal itu tentunya, tapi ia masih berdiam di tempat. Sementara di sisi lainnya, muncul pula dua warna kombinasi lainnya, yakni warna green and brown, dengan ciri khas dan tema yang sama, yakni neon.
Secara bergantian, kedua kombinasi warna itu pun saling mengitarinya, terkadang mereka memisahkan elemen perbedaan di antaranya, dan terkadang mereka dengan indahnya menyatukan sisi perbedaan itu—sama halnya dengan ketiga aplikasi kombinasi warna yang sebelumnya.
Dalam beberapa saat, suara itu pun embali terdengar, “Ikutilah. Kini, kombinasi aplikasi warna dari pilihannya Tuan yang tadi, telah sampai tepat di depan salah satu bilik yang tepat. Temukan mereka, dan satukanlah kedua kombinasi warna baru yang tengah mengitari Tuan pada saat ini, dengan mereka.”
Alvin kembali melihat ke arah atas, meskipun ia belum menemukan di mana wujud asal dari suara itu berada, tapi ia seakan menyadari, bahwa suara itu memang berasal dari bagian lantai atas dari gedung itu.
“B-baiklah” Akhirnya Alvin bergerak setelah mengatakan satu kata persetujuan ini.
Kini ia tampak melangkah—hendak menemukan dan turut menyatukan beberapa layangan warna kombinasi miliknya itu.
***
Di sisi lainnya, kericuhan terdengar kacau di salah satu club malam. Tampak tiga orang pemuda dan seorang gadis cantik tengah menikmati minuman mereka, tanpa menghiraukan kericuhan itu.
“Ya ampun, ke mana dia? Apa si pengangguran itu benar kesasar?” Seorang gadis itu tampak sempoyongan dengan segelas minuman yang masih ia pegang. Ia terlihat merasa kesal, karena seseorang yang telah sedari tadi ia nantikan, tak juga kunjung datang.
“Gue nggak tahu, tapi gue rasa itu benar. Dia dan sepatu kunonya itu memang udah melangkah ke arah yang salah, gue rasa itu benar.” Dengan penataan bahasa yang kurang spesifik, seorang pemuda bernama Jay pun menanggapinya dengan kalimat tersebut.
“Oh my God ... gimana dengan kencan pertamanya gue? Lo, lo dan lo, apa kalian nggak bisa ngelakuin apa pun? Gimana dengan janjinya kalian?” Seorang gadis cantik bernama Annie ini terdengar tengah menuntut janji, dari ketiga temannya.
Jay, Stev dan Justin, mereka adalah ketiga temannya.
“Kami nggak bakalan bohong. Kami nggak bakalan ingkari janjinya kami. Secepatnya, lo dan Alvin pasti bisa jadian. Lo tunggu aja di waktu yang tepat.” Justin.
“Tapi mau sampai kapan?” Annie.
“Gue nggak tahu, tapi gue akan berusaha. Meskipun gue nggak senang, lihat lo dekat-dekat dengan Alvin, tapi buat kebahagiaan lo, apa pun pasti bakalan gue lakuin, my queen.” Justin tampak mendekatkan jaraknya dengan Annie.
“Sebelum itu, jangan lakukan apa pun. Ini sudah malam, ayo kita hentikan pesta minum ini.” Annie menanggapinya.
Setelah mendengar hal itu darinya, Justin pun lekas melihat ke arah yang lain. Ia tampak menebar senyuman smirk-nya. ”Nggak, kita nggak bisa keluar dari sini. Lo nggak lihat di sana?” -Justin tampak mengunjuk jari telunjuknya ke arah sana- “lihatlah ke arah sana. Di sana ada keributan. Di depan pintu masuk itu, mereka tengah mengadakan adu mulut dan adu maco. Apa lo mau ikut terlibat? Lo mau ikutan terluka?” tambah Justin yang kini telah kembali menatap wajah cantiknya Annie dengan penuh hasrat.
Tepat setelah ia melihat ke arah jari telunjuknya Justin, Annie pun masih melihat ke arah sana. Sementara Justin, hanya dalam beberapa saat, ia pun kembali memanfaatkan keadaan. Kini, ia telah memposisikan tubuhnya semakin dekat dengan Annie.
Menyadari ada yang semakin mendekatinya, Annie pun memilih kembali melihat ke arah lawan bicaranya yang tadi.
Deg!
Betapa terkejutnya ia pada saat itu, melihat wajah Justin yang telah berada tepat di depan wajahnya, di saat ia dengan spontannya berbalik arah—melihat ke arahnya.
“J-justin? Why? Udah gue bilang, jangan berani lakukan apa pun ke gue. Gue nggak bakalan mau ngelakuin apa pun dengan orang yang belum tentu bakalan hidup dengan gue. Gue juga nggak mau ngelakuin hal itu sebelum adanya pernikahan.” Annie.
Tak menghiraukan ucapannya Annie yang telah semakin terdengar waras, Justin yang masih terpengaruh dengan minuman pun seakan tak mempedulikan hal itu. Ia semakin mendekat dan terus mendekat, hingga pada akhirnya Annie pun terduduk paksa pada sebuah sofa yang jarak letaknya tak berada jauh dari posisi semulanya mereka.
Bugh!
“Agh.” Annie merintih kecil akibat hal ini.
“Jangan melawan, my queen. Kita udah terlanjur datang ke sini, kalau mereka yang ada di sana memilih untuk bertengkar, dan menutupi jalan keluarnya kita, apa yang bisa kita lakukan? Bukannya itu berarti ... kita memang ditakdirkan untuk bisa bersenang-senang di sini? Ayolah, skema pernikahan yang lo maksudkan itu sama sekali nggak sesuai, dengan gimana cara lo berpakaian dan bersosialisasi. Lihat baju lo, ini sangat menggoda.” Justin semakin memberanikan dirinya untuk merencanakan hal-hal yang bukan-bukan, di luar kesadarannya.
Mendengar hal itu, sungguh Annie semakin terlihat cemas. Ia memang sering bergaul dengan laki-laki, bahkan terkadang, pakaiannya pun memang suka sedikit terbuka, dan untuk saat ini, ia hanya mengenakan kaos dalaman ketat berwarna putih, dengan tutupan outfit jaket denim lengan panjang, dan hanya sebatas menutupi bagian pinggangnya, serta rok span denim yang ukuran panjangnya hanya sebatas sepaha.
“J-Jangan macam-macam! Gue nggak bakalan mau ketemu lagi sama lo, kalau aja lo sampai berbuat hal-hal yang sama sekali nggak gue inginkan!” Sebab aksi mendekatnya Justin yang sulit rasanya untuk bisa Annie halau, alhasil Annie pun dengan tak sengaja harus terbaring di atas sofa itu—sebagai bentuk aksi menghindarnya ia darinya.
“Ssst¸tenanglah ... kalau Alvin nggak datang, itu artinya dia udah nolak lo, bahkan sebelum lo mengutarakan apa yang udah lo rasakan. Si pengangguran miskin itu, dia benar-benar nggak tertarik sama lo. Jadi, untuk bisa menutupi luka sakit hati itu ... ada gue di sini, yang pastinya akan selalu menerima segala kelebihan dan juga kekurangannya lo. Gue nggak bakalan sia-siakan perempuan secantik lo, tanpa adanya kisah romantis untuk malam ini. Ayolah, sekarang bukan zamannya ... lo harus nutup diri. Selagi ada yang mau nikmatin segala keindahan yang lo punya, kenapa harus lo tutup-tutupin? Nikmati aja prosesnya, di sini biar gue yang bekerja ....” Justin mengatakan hal ini, sembari mengelus lembut pipinya Annie—turut tersenyum licik.
Ya, hingga saat ini, Justin semakin kehilangan arah, ia semakin mendesak Annie, untuk bisa memenuhi keinginannya. Sementara di sisi lainnya, keadaan di sana masih saja dalam keadaan yang tak baik-baik saja. bahkan pintu depan pun masih ditutupi oleh kerumunan mereka yang tengah bertengkar—tak membiarkan siapa pun keluar dari bar itu.
Plak!
Dengan kesan yang sangat berani, Annie pun lekas menampar pipi kirinya Justin. Pipi kirinya Justin terlihat memerah. Tak hanya mengenai pipi kirinya, sebab hanya dalam hitungan detik, wajahnya Justin pun tampak demikian merahnya—menahan emosi yang telah semakin bertumpuk.
Melihat ekspresi bentuk kemarahan itu darinya, Annie yang hingga kini masih dalam keadaan terbaring di atas sofa yang tadi pun, ia hanya mampu berharap, bahwa Justin tak akan ingin melakukan apa pun lagi terhadapnya. “G-gue harus apa?” batin Annie—semakin terlihat merasa cemas.