Bab 46
Dr. Sasa
Hari ini, ada jadwal pertemuan lagi di Taman Asmukata. Pembicaranya adalah dr. Sasa, Sp.Kj. Lala bersiap-siap dengan kaos pink dan celana jeans birunya. Tak lupa, ia membawa novel-novelnya.
Papa mengantar Lala ke Taman Asmukata. Perjalanan ke sana disertai dengan drama karena tidak ada satu pun yang tahu jalan ke sana. Lala sendiri lupa walaupun ia pernah ke sana sekali. Mobil Papa terpaksa berputar-putar sambil bertanya-tanya kepada orang-orang di sekitar situ.
“Kamu ini merepotkan Papa saja, La. Kalau jauh-jauh begini, lain kali tidak usah datang saja!” hardik Papa. Lala hampir menangis.
Akhirnya, setelah beberapa saat kemudian, mereka menemukan tempat yang dituju. Lala turun dari mobil dan berlari-lari masuk ke dalam. Ia sudah terlambat. Sayup-sayup, ia mendengar Mama berteriak, “Jangan lari-lari! Nanti jatuh!”
Dr. Sasa sudah berdiri di depan peserta dan berbicara sambil menunjuk-nunjuk layar yang dinyalakan dengan proyektor. Laptopnya berada di sebelah proyektor dan dalam keadaan terbuka. Laptopnya itu berisi bahan ceramahnya yang dibuat dengan power point.
Lala mengambil tempat yang masih kosong di sudut di sebuah kursi kayu cokelat. Beraneka ragam jajan pasar dan gelas-gelas teh manis hangat berjajar di sebuah meja kayu cokelat pendek di sebelahnya.
Lala mengalihkan pandangan ke arah para peserta. Mata mereka memandang ke depan ke arah pembicara. Ada yang pandangan kosong, ada yang menatap dengan nanar. Beberapa saling berkasak-kusuk tidak jelas.
Lala tidak bisa berkonsentrasi. Ia hanya menangkap beberapa patah kata walaupun dr. Sasa berbicara panjang lebar. Akhirnya, dr. Sasa berkata, yang untungnya masih bisa ditangkap oleh indera pendengaran Lala, “Jadi, Kalau tidak mau minum obat atau obatnya dibuang, kerusakan otak pada penderita penyakit mental akan semakin parah. Jadi, penderita penyakit mental harus minum obat dengan teratur.”
Lala menggelar novel-novelnya di sebuah meja kayu cokelat di belakang sendiri. Beberapa peserta membeli novel-novel itu. Tak disangka, dr. Sasa membeli satu. Sementara itu, Lala memberi satu novel kepada seorang teman. Kemarin, Lala membeli sebungkus kerupuk dari temannya itu, tetapi ia tidak mau dibayar.
Lala maju mendapati dr. Sasa yang sedang memasukkan uang sumbangan dari peserta. Lala bertanya, “Dok, saya sudah berjanji akan memberikan sepuluh persen dari penjualan novel saya.”
“Tidak jadi memberi juga tidak apa-apa, kok,” ujar dr. Sasa. Namun, Lala tetap menyerahkan sejumlah uang kepada dr. Sasa.
Seorang gadis berkerudung cokelat menawari Lala untuk bergabung ke grup skizofrenia. Lala bertanya, “Apa syaratnya?”
“Tidak ada syaratnya,” ucap gadis itu sambil tersenyum.
“Oke. Saya mau,” sahut Lala. Akhirnya, gadis itu memasukkan Lala ke sebuah grup whatsup yang terdiri dari orang-orang difabel mental dan praktisi kesehatan, yaitu psikiater dan psikolog.
Hari ini, Lala merasa mendapatkan sesuatu. Ia bertekad untuk mulai meminum obatnya dengan teratur sejak sekarang. Namun, ia sangsi. Bisiknya dalam hati, “Apakah aku akan bisa meminum obatku dengan teratur? Bagaimana kalau suara-suara itu memengaruhiku untuk tidak minum obat?”
Para peserta mulai meninggalkan Taman Asmukata satu per satu. Lala mengikuti mereka dan menuju ke luar ke arah jalan besar. Ternyata, mobil Papa sudah menunggu di pinggir jalan di depan pagar. Lala menuju ke sana dengan riang.