Bab 39
Dokter Rori
Kembali Lala harus berganti psikiater karena jatah BPJS-nya mengharuskannya demikian. Kali ini, Lala beruntung karena jadwalnya di pagi hari di mana ia masih segar. Ia menunggu antrian dengan sabar. Sembari menunggu antrian, ia menimbang berat badannya dengan timbangan yang berada di dekat pintu masuk ruang praktik psikiater. Lalu, ia mengukur tinggi tubuhnya dengan alat yang tersedia di situ. Tingginya 160 cm, tetapi seorang pasien berteriak, “Tidak begitu cara mengukur tinggi badan. Coba diulangi!”
Lala terpekur dan masih berdiri di alat pengukur tinggi badan. Pasien itu menurunkan papan di atas kepala Lala sampai menyentuh dahi Lala. Kata pasien itu, “Ini baru benar.”
Lala membaca meteran itu yang sekarang menunjukkan angka 155 cm. Lala pun kembali duduk dan berpura-pura tidak terganggu dengan ulah pasien itu.
Untungnya, pasien itu dipanggil terlebih dahulu sehingga ia tidak mengamuk. Lalu, satu pasien lagi. Setelah itu, baru giliran Lala.
Setelah Lala masuk ruangan, ia melihat papan kayu cokelat bertuliskan ‘Dokter Rori’ di meja dokter.
“Selamat pagi!” sapa Dokter Rori.
“Selamat pagi!” sahut Lala.
“Ada keluhan?” tanya Dokter Rori.
Lala terdiam. Ia tidak bisa merangkai kata karena grogi. Ia tidak terbiasa dengan dokter ini karena ia baru bertemu untuk yang pertama kalinya. Entah mengapa, ia seperti kehilangan kata.
“Kalau tidak ada keluhan, berarti kamu sehat dan saya tidak perlu meresepkan obat apa pun untukmu,” katanya.
“Saya sakit, Dok. Boleh saya minta Clozapin. Saya biasa minum satu butir sehari kalau sedang kambuh,” jelas Lala akhirnya.
“Tidak bisa. Clozapin itu menimbulkan kantuk yang teramat sangat. Tidak boleh sebutir. Seperempat saja,” katanya lagi. Lala heran karena biasanya ia dengan mudahnya mendapatkan Clozapin dari psikiater-psikiater sebelumnya.
Ketika Lala menebus obat di apotek, ia harus menunggu lama. Setelah nomor antriannya dipanggil, ternyata obatnya digerus dan dimasukkan ke dalam kapsul-kapsul yang membuat proses penyiapannya lama.
Lala memandangi kapsul-kapsul di dalam plastik obat bening itu. Kapsulnya oranye dan kecil-kecil. Sepertinya, Dokter Rori benar-benar memberinya seperempat butir untuk sehari. Selain itu, Lala menjadi tidak bisa melihat tanggal kadaluarsanya karena obat-obatannya sudah dilepas dari blisternya.
“Pelit sekali dokter itu,” gumam Lala. Ia pulang dengan ojek online.
Benar saja, obat-obatan itu tidak manjur. Rasa sakit Lala baru berhenti setelah ia meminum empat kapsul kecil. Ia mengeluh dalam hati. Beruntung, masih ada sisa obat dari psikiater sebelumnya.