Bab 27
Kekasih Kedua
Semenjak pemakaman itu, Soso sering sekali mengirim chat dan menelepon Lala. Lala yang malas menanggapinya, akhirnya menanggapinya juga. Apalagi, Mama selalu memberi semangat.
Pada suatu hari, Soso mengajak Lala jalan-jalan. Malam sebelum hari H, Mama menyiapkan pakaian Lala, sebuah terusan kuning. Protes Lala, “Apa-apaan ini, Ma? Mama tahu kan Lala tidak suka memakai gaun?”
“Sudah! Pakai saja! Kamu kelihatan cantik kalau memakai ini,” desak Mama.
Akhirnya, Lala terpaksa memakai pakaian itu setelah mandi pagi keesokan harinya. Soso sudah menunggu di teras. Ia memuji Lala setelah Lala keluar rumah, “Duh, cantiknya! Tapi mestinya kamu pakai celana karena aku bawa motor.”
“Kamu tidak bawa mobil?” sangsi Lala.
“Biar hemat,” sahut Soso.
“Sebentar, aku ganti baju dulu,” kata Lala.
Lala hendak berbalik masuk ke dalam rumah, tetapi Soso berkata, “Tidak usah! Nanti kelamaan. Kamu duduknya miring saja.”
“Aku tidak biasa duduk miring kalau dibonceng pakai motor. Biar kuangkat sedikit saja gaunku,” bujuk Lala.
“Ya sudah! Terserah,” kata Soso.
Soso begitu manis kepada Lala. Soso mengajak Lala masuk ke restoran mewah. Terdapat kolam air mancur dengan patung wanita yang membawa kendi di depan restoran. Air mancurnya terjun dari kendi yang dibawa wanita itu. Wanita dan kendinya bercat putih seluruhnya.
Lala hendak duduk di pinggir kolam itu. Ia ingin bermain air sambil memasukkan kaki-kakinya ke dalam air. Namun, hardik Soso ketika Lala terlihat hendak melakukannya, “Jangan! Jorok!”
Lala cemberut. Ia mengikuti Soso masuk ke dalam restoran yang banyak kaca dan cerminnya itu. Soso mengajak duduk di kursi-kursi yang mengelilingi meja di tengah-tengah restoran. Padahal, Lala lebih suka di pojok sambil mengamat-amati keadaan, bukan ia atau mereka yang diamati. Namun, Soso lebih suka menjadi pusat perhatian rupanya.
“Mau pesan apa, Sayang?” tanya Soso, berusaha mesra.
“Aku ikut saja,” sahut Lala.
“Mas, gurami asam manis dan dua porsi nasi. Minumnya dua gelas es teh manis,” kata Soso kepada mas pelayan berseragam batik yang sedari tadi berdiri di dekatnya.
“Saya ulang lagi pesanan …,” kata mas itu.
“Sudah, Mas! Saya yakin sudah benar. Kelamaan.” Soso mengibaskan tangannya agar mas itu segera pergi.
“Baik, Mas!” pamit mas itu yang segera pergi, masuk ke dapur.
“Ngomong-ngomong, sebenarnya, warisanmu itu jumlahnya berapa?” bisik Lala, kepo alias ingin tahu.
“Satu milyar, Sayang!” kata Soso, bangga.
Lala berdecak kagum. Ia bertanya lagi, “Apa pekerjaanmu?”
“Mmm … nganggur?” sahut Soso.
“Apa?!” Lala terkejut. Ia saja yang sakit mental masih bekerja sebagai pekerja lepas.
“Aku kan anak orang kaya, tidak usah bekerja,” terang Soso.
Sesaat kemudian, mas yang tadi membawa pesanan mereka. Setelah melihat semua hidangan itu, Lala merasa heran. Restoran ini mewah, tetapi Soso memesan menu yang biasa saja. Menu ini biasa Lala makan bersama dengan Mama Papa di restoran kecil. Lala pikir, Soso akan memesan menu masakan yang mewah dan mahal seperti yang di film-film tentang orang kaya itu.
“Ah, ia tidak bekerja. Pasti ia hendak mengirit uangnya,” pikir Lala.
Menjadi kekasih Soso ternyata tidak semembahagiakan perkiraan Lala. Ternyata, Soso pemarah. Ia sering memarahi Lala kalau Lala sedang relaps.
“Kamu merepotkanku saja,” gerutu Soso.
Pada suatu hari, Lala relaps dan merasa kesakitan. Soso mengarahkan sepeda motornya ke sebuah kedai untuk beristirahat. Ia memesan makanan untuk dirinya sendiri dan tidak memedulikan Lala.
Seorang pelayan wanita membawakan seporsi kebab dan segelas air mineral ke meja Soso dan Lala. Sambil mengunyah kebab, Soso bercerita, “Aku mau menceritakan rahasiaku. Sebenarnya, aku ini pemarah. Aku pernah marah kepada seorang pria. Lalu, aku menyewa dan menyuruh seseorang untuk membunuh pria itu. Sayang, pria itu berhasil lolos.”
Soso seakan-akan tidak peduli kepada Lala yang bergidik ngeri. Lala yang menahan sakit, ingin cepat-cepat pulang dan tiduran di ranjangnya.
Akhirnya, Soso menyelesaikan makannya. Ia membayar di kasir dan mengajak Lala pulang. Soso mengantarkan Lala dulu ke rumahnya, barulah Soso pulang.
Lala segera berlari menuju kamarnya. Airmatanya merebak. Ia tidak memedulikan Mama yang memanggil-manggilnya, bahkan kalau sampai Mama marah sekalipun. Lala segera menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Ia menggapai-gapai nakas, meraih obat, dan menelannya begitu saja tanpa air. Beberapa jam kemudian, ia baru bisa tertidur.