Bab 24
Konspirasi
Sekali waktu, Lala merasa Dokter Hadi memasukkan cip kecil dengan sebuah alat ke tengah-tengah otak Lala ketika Lala sedang tertidur. Lalu Dokter Hadi mengumpulkan psikiater-psikiater dari berbagai negara untuk berunding. Semua psikiater yang pernah menangani Lala juga ada dalam kerumunan itu. Mereka berkumpul di suatu laboratorium untuk sebuah rapat.
Dokter Hadi menyalakan sebuah komputer abu-abu yang sangat besar. Komputer itu terhubung dengan cip yang telah ditanam di otak Lala. Itu karena cip memancarkan sinyal yang ditangkap oleh komputer besar itu. Itulah sebabnya mengapa perjalanan hidup Lala dan semua yang dipikirkannya bisa tergambar dengan jelas di layar komputer itu.
Dokter Moris pernah bertanya kepadanya, “Apakah pikiranmu sering tersiar ke mana-mana?”
Saat itu, Lala menggeleng-gelengkan kepalanya. Sekarang, ia menyesal karena ia merasa bahwa pikirannya memang tersiar ke mana-mana saat ia sedang kesakitan. Ia ingin bertemu kembali dengan Dokter Moris dan meluruskan semuanya, tetapi Mama Papa tidak mau membawa Lala menemui Dokter Moris kembali.
“Untuk apa kamu menemui Dokter Moris?” selidik Mama.
“Mungkin, ia akan bisa membantuku.” Lala memasang tampang memelas.
“Yang bisa membantumu hanya dirimu sendiri.” Mama menasehati.
“Kalau kamu memutuskan ingin sakit, maka kamu akan sakit. Kalau kamu memutuskan ingin sembuh, maka kamu akan sembuh. Sesimpel itu,” kata Papa.
Namun, Lala tidak merasa bahwa semuanya sesimpel itu. Ada kalanya, Lala merasa kesulitan mengendalikan diri sendiri. Seperti misalnya, saat berjalan di trotoar, tubuhnya seakan memaksanya untuk berlari ke tengah jalan raya. Sebuah truk mengerem mendadak dan sopirnya mengumpat-umpat.
Terdapat juga dorongan dari dalam diri Lala untuk melompat ke bawah ketika berada pada ketinggian suatu mal atau berlari ke arah kereta api yang sedang lewat. Dorongan bunuh diri semakin menjadi ketika ia mendengar suara-suara, "Bunuh diri langsung saja, La! Jangan ditunda! Nanti-nanti sudah terlambat. Kamu hanya akan menyakiti orang lain saja."
"Tapi bunuh diri kan dosa. Bagaimana kalau aku nanti masuk neraka?" tanya Lala kepada dirinya dan suara-suara.
"Lebih berdosa mana? Bunuh diri atau menyakiti orang lain?" cecar suara-suara. Suara-suara itu terdengar tinggi rendah. Kadang berirama, kadang tak beraturan.
"Aku tak tahu. Jangan menanyakan pertanyaan-pertanyaan sulit padaku." Lala memegangi kepalanya. Ia menahan tangis. Sejak kecil, ia sudah diajari untuk tidak menangis oleh Papa. Papa kerap mengancam akan menghajarnya kalau ia menangis. Namun, suara-suara itu semakin menggema-gema dalam kepalanya. Juga terdapat dentaman-dentaman seperti palu godam di otaknya.
Lala seperti merasa bahwa Dokter Hadi mengendalikan dan mengambil alih tubuh Lala dari sebuah komputer besar di laboratorium. Dokter Hadi dan teman-temannya sedang mengadakan percobaan demi kepentingan mereka sendiri agar diakui oleh dunia internasional dan mendapatkan penghargaan. Mereka tidak peduli bahwa mereka mengorbankan orang lain. Dalam hal ini, orang lain itu adalah Lala.
Memang siapa Lala? Ia hanyalah seseorang yang tidak berharga. Ia tidak bisa melakukan hal-hal besar. Ia hanya bisa bergantung dan menyusahkan orang tua. Bahkan, ia menolak ketika Papa hendak mengirimnya keluar negeri. Ia merasa ketakutan sendiri. Sementara itu, Mama menangis tersedu-sedu. Air matanya berhamburan. Tangisnya, "La! Jangan pergi! Kamu harus terus menemani Mama, bahkan setelah kamu menikah. Mama tidak sanggup kehilangan kamu."
"Tidak, Ma. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku janji," janji Lala. Sejak saat itu, ia merasa ragu-ragu kalau hendak menikah. Ia takut harus meninggalkan Mama. Ia bahkan ragu-ragu untuk menceritakan semua pengalaman buruknya kepada Mama. Ia takut membebani Mama.
Walaupun terdapat semua dorongan untuk bunuh diri itu, sampai sekarang Lala belum juga mati. Tuhan masih menyelamatkan nyawanya. Padahal, ia ingin cepat-cepat ke Sorga dan tidak mengalami penderitaan lagi. Entah mengapa, Tuhan masih belum mau mengambil nyawanya.
“Keberadaanmu di dunia ini tidak ada artinya. Kamu hanya menyusahkan semua orang. Kamu adalah sumber bencana dan sumber kejahatan di seluruh dunia ini. Semua itu terjadi karena ada kamu.” Suara-suara itu kembali menggema-gema di otak Lala. Lala memegangi kepala dengan kedua tangan. Ia berteriak-teriak. Mama berlari mengambil obat apa saja yang ditemukan di laci meja belajar Lala dan meminumkannya kepada Lala.
Rasa sakit itu semakin bertambah-tambah. Lala menelungkupkan wajahnya di kasur dan meraung-raung. Papa berteriak-teriak tidak kalah kerasnya.
“Diam! Tetangga-tetangga jadi dengar semua! Kamu membuat malu Papa!” seru Papa. Mungkin, ia akan menghantam Lala dengan kursi. Entah apa yang mencegahnya berbuat begitu. Mungkin, Tuhan yang telah mencegahnya.
Beberapa jam kemudian, rasa sakit itu berangsur-angsur menghilang. Lala merasa sangat lapar. Ia mencari-cari makanan di meja makan. Ada tempe goreng, sayur asam, dan nasi putih. Ia mengambil piring dari lemari makan dan menyendokkan nasi, tempe goreng, dan sayur asam ke piringnya. Ia makan dengan lahap. Sayang, tidak ada sambal terasi. Kalau diberi sedikit sambal, ia merasa bahwa makanannya akan lebih enak. Ia memang suka makanan yang sedikit pedas.
"Sudah sembuh, La?" selidik Mama.
"Sudah," jawab Lala.
"Ambilkan piring buat Papa! Papa juga mau makan," perintah Mama. Lala menurut, tetapi ia mengambilkan piring setelah ia selesai makan. Papa pernah mengajarinya agar ia tidak meninggalkan makanan yang belum habis. Dulu, ketika kecil, ia pernah meninggalkan makanannya di meja makan karena ingin buang air. Ketika kembali ke meja makan, makanannya sudah kemasukan lalat. Ia jijik kepada makanannya, tetapi Papa memarahinya, "Pokoknya, habiskan makananmu! Orang-orang banyak yang tidak bisa makan."
Akhirnya, Lala menghabiskan makanannya setelah ia mengeluarkan lalatnya. Ia lupa apakah setelah itu, ia diare atau tidak. Yang Lala tahu, setelah besar, kalau ia diare, ia akan sembuh sendiri tanpa meminum obat. Mungkinkah ia sudah kebal?
Tentu saja, semua pengalaman itu terpampang di komputer besar Dokter Hadi dengan ditonton teman-teman psikiater Dokter Hadi lainnya. Mereka semua tampak menikmati penderitaan demi penderitaan yang Lala alami.
Masih banyak lagi pengalaman buruk yang Lala alami, tetapi ia juga mengalami hal-hal baik dalam hidupnya. Kalau hal baik terpampang di komputer Dokter Hadi itu, mereka yang menontonnya merasa iri kepada Lala. Mereka tidak ingin Lala bahagia. Mereka ingin Lala susah.
Pikiran-pikiran Lala begitu mengganggunya. Namun, pikiran-pikiran itu mereda beberapa saat setelah Lala meminum obatnya. Maka, Lala pun meminum obatnya kala ia merasa sudah tidak kuat lagi.
Kalau Lala meminum obatnya secara rutin dalam jangka waktu yang cukup lama, misalnya satu bulan, ia akan bisa berpikiran positif tentang orang-orang di sekitarnya. Namun, Lala sering membuang-buang obat setelah ia tidak merasa sakit lagi. Tilik dirinya masih rendah. Ia belum menyadari bahwa ia sakit mental dan butuh obat.