Bab 22
Hipnosis
Hari ini Papa bertemu dengan temannya yang kebetulan konsultasi dengannya di ruang praktiknya di rumah sakit. Temannya itu ingin belajar tentang makan sehat. Setelah Papa selesai menjelaskan bagaimana caranya makan sehat, yaitu keseimbangan antara kalori, protein, dan serat, Papa bertanya, "Sekarang kamu kerja apa?"
"Aku baru saja lulus kuliah. Aku mempelajari hipnoterapi. Sekarang, aku bisa menghipnotis orang," jawab teman Papa.
"Anakku Lala sakit mental. Apakah bisa sembuh kalau dihipnotis?" tanya Papa lagi.
"Tentu saja bisa, tetapi harus teratur," jawab teman Papa.
"Berkunjunglah ke rumahku dan hipnotislah anakku," suruh Papa.
"Rumahmu masih di alamat yang dulu?" tanya teman Papa.
"Iya," sahut Papa.
"Baiklah! Nanti aku akan berkunjung. Sekarang aku harus pergi," kata teman Papa.
"Oke," sahut Papa.
Papa sudah memutuskan agar Lala dihipnotis. Papa tidak mau mendengar alasan apa pun. Hal itu karena teman Papa berhasil meyakinkan Papa bahwa teman Papa itu sudah ahli dan bisa menyembuhkan penyakit Lala. Lala pun terpaksa menurut.
Lala merasa cemas. Ia takut kalau ia dihipnotis dan dalam keadaan tidak sadar, sesuatu yang buruk akan terjadi padanya. Maka, ia berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi padaku."
Lala ingat bahwa ia pernah menonton film-film tentang orang-orang yang dihipnotis. Orang-orang itu melakukan apa pun yang disuruh oleh si penghipnotis, tidak peduli bahwa mereka tidak menyukainya. Bahkan, ada yang melakukan kejahatan karena telah dihipnotis. Lala takut keluarganya kenapa-kenapa saat ia tidak sadar. Kembali ia berdoa, "Tuhan, jauhkanlah keluargaku dari hal-hal yang buruk."
Lalu, Lala teringat kepada keluarga besarnya. Pikirnya, "Apakah aku harus mendoakan mereka juga? Bagaimana dengan orang-orang sedunia? Mereka tidak mempunyai hubungan langsung denganku."
Lala teringat kepada buku-buku yang dibacanya bahwa ia tidak boleh berpikiran jahat agar bisa bahagia. Ia juga teringat sebuah buku yang bercerita bahwa kejadian buruk yang menimpa orang lain akan mempengaruhi nasib kita juga walaupun tidak secara langsung. Oleh karena itu, kita tidak boleh bergembira karenanya dan harus membantu sebisanya. Setidaknya, kita bisa mendoakannya. Maka, Lala berdoa, "Tuhan, tolonglah semua orang di muka bumi ini."
Akhirnya, teman Papa datang ke rumah mereka. Ternyata, orangnya masih muda. Dari wajahnya, terlihat bahwa ia berumur dua puluh tahunan. Lala berpikir, "Bagaimana mungkin orang semuda dia berteman dengan Papa yang berumur empat puluh tahunan? Apakah hanya wajahnya saja yang muda?"
Lala teringat buku tentang penyihir yang pernah dibacanya. Penyihir itu tidak pernah menjadi tua walaupun usianya sudah ribuan. Lala mulai berpikir yang aneh-aneh, "Apakah ia adalah sejenis penyihir? Apakah ia mempunyai kekuatan gaib?"
Teman Papa bertanya kepada Papa yang berdiri tak jauh dari situ, “Apakah ini Lala?”
“Iya,” sahut Papa.
“Perkenalkan, saya Roy.” Teman Papa yang ternyata bernama Roy itu menyodorkan tangannya. Lala terpaksa menerima uluran tangannya demi dilihat Lala, Papa yang mendelik. Tangan itu terasa kasar seperti amplas.
"Sebenarnya, apakah yang telah dilakukannya? Kenapa tangannya sangat kasar? Apakah ia telah menjalani ritual-ritual tertentu?" tanya Lala dalam hati. Ia ingin bertanya langsung kepada Roy tetapi ia takut. Jangan-jangan, Roy tidak terima dan akan melakukan sesuatu yang buruk ketika menghipnotis Lala.
“Apakah ada kamar kosong yang bisa kita pakai?” tanya Roy. Matanya melirik ke sana kemari. Terdapat sebuah kamar untuk pasangan, yaitu kamar Mama Papa, dan kamar khusus untuk menyeterika. Kamar Lala berada di loteng.
“Di loteng,” jawab Mama. Ia menunjuk ke tangga yang menuju ke loteng.
“Ayo, Lala!” Roy mengajak Lala ke loteng. Lala mengekornya karena takut kepada Papa. Mama, dan Papa mengikutinya dari belakang. Roy menoleh dan berkata, “Maaf, hanya boleh ada saya dan Lala saja di dalam kamar.”
Mama Papa jadi turun kembali. Kecamuk hati Lala, "Astaga! Sekarang apa yang akan dilakukannya?"
Di dalam kamar, ternyata pikiran-pikiran buruk Lala tidak terjadi. Roy tidak macam-macam. Ia hanya mengeluarkan kata-kata untuk menghipnotis Lala. Lala berpikir, “Kenapa ia tidak mengeluarkan semacam bandul?”
“Tatap mata saya! Kamu merasa tanganmu sangat kaku sehingga tidak bisa digerakkan. Semakin lama semakin kaku seperti sebatang besi.” Roy berusaha memengaruhi pikiran Lala. Katanya lagi, “Coba sekarang gerakkan tanganmu!”
Lala menggerakkan tangannya dan ternyata ia berhasil. Tangannya masih bisa digerakkan seperti yang dikehendakinya. Berkali-kali Roy mencoba dan mengulang-ulang perkataannya, tetapi ia gagal. Akhirnya, ia berkata, “Angkat tanganmu ke atas! Semakin lama semakin tinggi.”
Lala menurut. Ia mengangkat tangannya ke atas. Ia berharap untuk sembuh kalau Roy memang tidak macam-macam dengannya. Namun, Lala yakin kalau ia menolak perintah Roy sekalipun, Lala akan berhasil seperti yang sudah-sudah. Kalau ia mau, ia bisa saja dengan mudahnya tidak mengangkat tangan.
“Apakah pengalaman menyenangkan yang pernah kamu alami?” tanya Roy. Lala menurunkan tangannya kembali karena pegal.
“Sewaktu mendapat hadiah cokelat dari dosen karena saya mendapat nilai tertinggi di mata kuliah tersebut,” beritahu Lala. Waktu itu, teman-temannya sedang mengelu-elukan seorang bunga kampus yang cerdas, tetapi dosen malah memanggil Lala sebagai peraih nilai tertinggi. Hal itu merupakan sebuah kejutan bagi Lala.
“Ada yang lain?” tanya Roy lagi. Matanya menatap wajah Lala lekat-lekat untuk menyelidikinya. Lala merasa agak kurang nyaman, seperti seseorang yang menyembunyikan sesuatu dan sedang diinterogasi.
“Sewaktu buku-buku saya diterbitkan padahal rasa-rasanya tidak mungkin,” jawab Lala, akhirnya, setelah terdiam sejenak.
“Posisi tangan seperti apa yang kamu sukai?” Roy kembali bertanya. Lala heran, mengapa posisi tangan bisa ada hubungannya dengan kesembuhannya. Lagi-lagi, hatinya bertanya-tanya.
“Mengatup,” jawab Lala lagi, akhirnya, setelah berpikir sejenak.
“Seperti berdoa?” Roy terus bertanya.
“Iya.” Lala tetap menjawab dengan sabar.
“Sekarang, dengarkan sugesti saya! Setiap kali kamu mengatupkan tanganmu, kamu akan mengingat saat ketika kamu mendapat hadiah cokelat atau saat ketika bukumu terbit. Dengan demikian, kamu akan optimis menjalani kehidupan,” sugesti Roy. Lalu, ia mengajak Lala keluar kamar dan turun ke bawah.
“Bagaimana?” tanya Papa.
“Apakah berhasil?” tanya Mama.
“Berhasil,” jawab Roy.
“Kenapa aku masih bisa menggerakkan tangan sewaktu Roy berkata bahwa aku tidak akan bisa menggerakkan tangan?” tanya Lala. Roy berusaha menutupi bahwa ia tersipu dan takut dianggap gagal. Ia berkata, “Itu karena Lala tidak santai.”
Roy pamit dan menyalami Mama, Papa, dan Lala. Ditentengnya tas hitam yang diletakkannya di ruang tamu. Ia masuk ke mobil Avanza cokelatnya dan menstarter mobilnya pergi.
Sejak saat itu, Lala memang selalu teringat akan kejadian-kejadian baik di mana ia mendapat hadiah cokelat dari dosen atau ketika buku-bukunya terbit sewaktu ia mengatupkan tangannya. Namun, penyakit mentalnya tetap belum sembuh. Terkadang ada suara-suara berulang yang berkata, “Kamu berdosa karena telah mengikuti hipnosis itu. Itu tanda bahwa kamu tidak percaya kepada Tuhan.
Dalam keadaan di mana suara-suara muncul, Lala kerap mengalami depresi. Ia hanya bisa minta tolong kepada Tuhan sambil meminum obatnya.