Bab 19
Mas Penjual Handphone
Lala kembali jatuh cinta. Hal itu terjadi saat Papa memutuskan untuk membeli handphone baru.
Mas penjual handphone berwajah tampan dan bertubuh atletis. Rambutnya cepak dan matanya seakan-akan bersinar saking cerianya. Ia mengenakan kemeja biru dan celana jeans biru. Bau wangi akuatik menguar dari tubuhnya.
Mas itu menerangkan dengan sabar, handphone-handphone yang dijualnya kepada Papa yang terus saja bertanya. Mas itu memilih handphone-handphone berbagai tipe dengan warna-warna yang netral dan cocok bagi laki-laki seperti hitam, biru, dan putih, untuk diterangkan kepada Papa.
"Kalau ini tipe apa? Apakah RAMnya besar? Berapa harganya?" cecar Papa.
"Yang ini buatan Cina, yang ini buatan Eropa. Yang ini memorinya 32 GB, yang ini 64 GB. Harganya bervariasi mulai dari Rp 500.000, 00," terang masnya.
"Kalau yang ini harga berapa?" tanya Papa, menunjuk sebuah handphone hitam yang kelihatan keren mengkilap.
"Yang itu dua juta," sahut masnya.
"Kok mahal?" selidik Papa.
"Karena itu layar sentuh," jelas masnya.
"Kalau yang Rp 500.000, 00?" tanya Papa.
"Itu handphone yang ada tombol-tombolnya jadi bukan layar sentuh, masih model lama, tidak bisa dipakai buat internetan juga," rayu masnya agar Papa membeli handphone yang mahal.
"Ya sudah, Mas, saya ambil yang ini," putus Papa sambil memegang handphone hitam seharga dua juta itu.
"Baik. Saya bungkus dulu. Apakah mau sekalian membeli casing?" bujuk masnya.
"Boleh. Yang warna hitam," kata Papa.
Sementara masnya membungkus handphone dan mengambilkan casing di antara barang dagangannya, Papa berkata, "Kalau beli di sini, saya tidak mungkin ditipu kan? Handphone-nya akan terbukti kalau kualitasnya bagus setelah saya pakai kan?"
Lala pikir, "Kenapa Papa ngomong begitu? Kali ini, masnya tentu tersinggung."
Namun, di luar dugaan, masnya tidak tersinggung dan membalas dengan santai, "Iya, dong, Pak! Kami jujur. Reputasi toko kami taruhannya. Lagipula, kami menggantungkan hidup kami dari toko ini. Sekalinya menipu, kami akan kehilangan pelanggan dan tidak akan bisa makan lagi."
Papa menarik nafas lega. Sementara itu, Lala berpikir bahwa suara masnya begitu lembut dan mendayu-dayu. Lala tidak bisa menahan rasa di hatinya. Kemudian, suara masnya menyentakkan Lala dari angan-angannya, "Semuanya Rp 2.100.000, 00, Pak."
"Bisa dibayar pakai kartu?" tanya Papa.
"Boleh, Pak!" jawab masnya.
Papa mengangsurkan kartu kredit. Lala berpikir, "Papa kaya sekali. Kartunya banyak. Ada kartu warna emas juga yang menandakan saldo pernah berjumlah Rp 50.000.000, 00.
Setelah menggesek kartu kredit, mas itu memberikan nomor handphone-nya kepada Papa untuk berjaga-jaga seandainya handphone Papa bermasalah. Kata masnya, "Bapak boleh menelepon atau mengirim pesan kepada saya kalau ingin bertanya hal-hal yang berhubungan dengan handphone baru Bapak.
Papa pun mengajak Lala pulang setelah mendapatkan apa yang diinginkannya. Kini, Papa dan Lala sudah berada di rumah mereka kembali. Namun, entah mengapa, perasaan Lala terasa hampa. Ia menjadi rindu kepada mas itu dan ingin bertemu dengannya Kembali.
Lala teringat bahwa sebelum Papa dan dirinya pergi meninggalkan konter handphone itu, mas itu sempat memberikan nomor handphone-nya kepada Papa. Papa boleh menghubunginya kapan saja handphone-nya bermasalah. Lala memutuskan untuk menyalin nomor handphone itu ke handphone-nya sendiri.
Hari demi hari, Lala menghubungi mas itu. Lala membujuk mas itu agar mas itu mencintainya. Lala berkata, “Aku adalah seorang penulis. Aku mendapatkan royalti secara berkala."
Mas itu membalasnya ogah-ogahan, "Ya."
Lala tidak berani berkata bahwa ia adalah orang kaya untuk memikat masnya. Lala tidak merasa kaya dan tidak ingin menipu. Karena chat-chatnya kebanyakan tidak dibalas, akhirnya ia berkata, "Aku ingin membeli tablet.”
"Yang tipe apa?" Balasan dari masnya.
Mas itu tertarik dan berusaha untuk memberi penjelasan kepada Lala. Namun, itu hanya sebentar. Setelah itu, mas itu mengabaikan Lala berikut semua chat Lala. Antara lain, Lala bertanya, "Apakah Mas sudah punya pacar?
Mas itu bergeming. Rupanya, ia kelembutannya hanya untuk mencari uang, bukan murni karena peduli pada seseorang.
“Mas, kata papa saya, Mas tertarik dengan mbak yang bekerja sebagai sekretaris papa. Saya bisa mengenalkan Mas dengan mbak itu,” bujuk Lala, tetapi tidak ada jawaban. Lala memang mengetahui dari papa kalau mas itu sempat ke kantornya dan meminta dikenalkan ke sekretarisnya. Sekretaris cantik berkulit putih yang juga dikenal oleh Lala itu pun mengabaikan mas itu.
Lala berpikir betapa beruntungnya mbak sekretaris itu. Kalau Lala jadi dia, Lala sudah menerima mas itu.
Lala mencoba membujuk Mama Papa untuk membeli tablet dari mas itu. Mama Papa menolak. Papa menggeleng. Mama berkata, “Tablet kan mahal, Sayang. Lagipula, handphone-mu kan masih baru.”
Lala pun tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa meratapi nasibnya yang mengalami cinta yang bertepuk sebelah tangan untuk yang kesekian kalinya.
Hari demi hari, Lala seperti hilang ingatan. Mama mengajaknya jalan-jalan tetapi wajah Lala tetap muram. Sudut-sudut mulutnya turun ke bawah dan matanya tampak sendu. Ia juga menjadi susah makan. Ia tidak selera sewaktu Mama membelikannya daging steak yang mahal dan lezat. Ia hanya makan sedikit. Akhirnya, Mama memanggil pelayan dan berkata, "Mbak, tolong dibungkus!"
Mama juga berusaha mengajak Lala ke gereja untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mama mengajak Lala memasang lilin di depan patung Bunda Maria. Tak disangka-sangka oleh Mama, tangis Lala meledak di bawah patung Bunda Maria. Lala bersimpuh sembari kepalanya menengadah. Teriaknya, "Aku mau ke sorga! Bawa aku ke sorga! Hidup di dunia fana ini begitu menyakitkan. Tidak ada kesenangan di dalamnya."
Untung, saat itu, gereja sedang sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat mampir untuk berdoa. Seorang ibu menyapa Mama, "Ada apa, Bu? Ada masalah apa?"
"Tidak apa-apa, Bu. Anak saya hanya sedang tidak stabil," jawab Mama. Katanya sembari menunduk ke arah Lala yang masih berada di lantai, "Ayo, La! Kita pulang! Minum obatmu."
Sejenak, Lala merasa sakit hati kepada Mama. Lala merasa bahwa Mama mengabaikan dan menyepelekan perasaannya yang sakit bagaikan ditusuk duri-duri mawar beracun.
"Apakah Mama tidak sayang padaku. Apakah yang telah Mama lakukan dan katakan kepada orang-orang sehingga aku tidak dapat jodoh? Apakah Mama telah menjelek-jelekkanku?" Sejenak, hati Lala dipenuhi prasangka kepada Mama. Hal itu biasa terjadi pada penderita skizofrenia karena mereka lebih sensitif daripada orang kebanyakan. Bahkan, kalau ada orang yang saling berbicara di dekat mereka dan tanpa sengaja, mereka mendengar namanya disebut, tanpa mengetahui duduk persoalannya, mereka bisa saja merasa sedang dibicarakan keburukan-keburukannya.
Keluar dari gereja, tangisan Lala berubah menjadi rintihan-rintihan kecil. Mama berusaha memesankan mobil online dengan minta tolong ibu yang tadi bertemu di dalam gereja dan menyapa Mama. Kebetulan, ia sudah berada di dekat mereka.
Sembari menunggu jemputan, Mama dan Lala berdiri di sebuah pohon rindang di depan pagar yang melingkari gereja. Beberapa orang berjalan melewati mereka. Mereka tampak tidak begitu memedulikan Lala dan Mama, serta tidak menyadari keanehan yang terlihat. Namun, entah mengapa, kalau yang lewat adalah laki-laki muda, Lala merasa bahwa laki-laki itu mirip masnya.