Bab 16
Kekasih Pertama
Seorang cowok menghubungi Lala. Katanya di telepon, “Halo? Namaku Ardi. Apakah ini dengan Lala sendiri?”
“Iya,” sahut Lala di seberangnya.
“Aku yang kemarin ikut ke kebun binatang bareng kamu. Aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama, tetapi aku malah dipasangkan dengan wanita lain dan kamu dengan cowok lain,” katanya lagi. Lala hanya termenung.
“Bolehkah aku main ke rumah?” pinta Ardi.
“Ya,” sahut Lala.
“Aku mendapatkan nomor ini dari panitia tetapi mereka tidak memberikan alamatmu,” terang Ardi.
“Jalan Godean no. IV,” beritahu Lala.
“Oke. Terima kasih,” ucap Ardi.
Tak berapa lama, Ardi datang ke rumah Lala. Lala agak kecewa dengan penampilannya yang kumal. Namun, kata orang tua Lala, “Sudah, jalani saja dulu daripada kamu tidak dapat jodoh.”
Lala pun jalan bersama dengan Ardi. Mereka memutuskan untuk menonton bioskop dan memilih pilihan Lala yang jatuh pada film kartun. Namun, saat membayar tiketnya, Ardi mengeluarkan uang receh yang berupa uang logam dan lembaran uang seribuan. Tentu saja, uangnya kurang. Jadi, Lala harus membayar memakai kartu debetnya. Untung, Lala masih mempunyai uang, hasil dari terjemahan, karena aplikasi penerjemahan belum marak saat itu.
Filmnya lucu. Salah satu adegannya adalah ketika seorang tokoh berbadan gemuk memasuki ruangan sempit yang banyak berisi barang. Ia mengalami kesulitan dan tetap memaksa masuk. Otomatis, barang-barang berjatuhan ketika tersenggol badannya.
Sepanjang film diputar, Ardi tertawa terbahak-bahak, tetapi Lala hanya tertawa sesekali. Apakah ia bete karena harus membayar ongkos bioskop? Entahlah, ia tidak tahu. Ia tidak bisa menebak isi hatinya sendiri.
"Ingat, kita harus saling menjaga jarak karena kita belum menikah. Kamu tidak boleh memeluk dan menciumku." Lala mewanti-wanti Ardi.
"Iya, tapi kalau pas menyeberang jalan, aku harus menggandengmu karena bahaya," bujuk Ardi.
Seusai menonton bioskop, Lala dan Ardi merasa lapar. Mereka membeli makanan di konter makanan di dekat situ. Mereka berdua memesan dua mangkok bakso. Lala memesan es teh tawar sebagai minumannya dan Ardi memesan teh manis hangat. Lagi-lagi, Lala yang membayar. Lala bertanya, “Apa pekerjaanmu sebenarnya?”
“Aku seorang pegawai tetapi aku mengalami kecelakaan kerja. Lihat mataku!” suruh Ardi. Lala melihat ke matanya yang sebelah kirinya seperti dilapisi selaput tipis. Katanya lagi, “Ada alat dari mesin pabrik yang terlontar ke mataku, tetapi bosku tidak mau bertanggung-jawab. Aku sakit hati sehingga aku memutuskan untuk berhenti bekerja saja.”
Pesanan mereka datang. Ardi memakan makanannya dengan gembira. Bibirnya seperti menyunggingkan senyum. Sementara itu, Lala terlihat manyun.
Pada saat mereka berdua hendak menyeberang jalan ke parkiran motor, Ardi hendak menggandeng Lala dan berkata, "Jangan menyeberang dulu!"
Namun, Lala tetap menyeberang dan meninggalkan Ardi di seberang jalan. Lala tidak habis pikir, mengapa ia tidak boleh menyeberang sementara jalanan sudah sepi.
Ardi menyusul Lala dengan wajah bete. Sudut-sudut mulutnya turun ke bawah. Ia sampai di seberang. Mereka berdua mencari sepeda motor Ardi. Mereka menemukannya di antara sepeda motor-sepeda motor lainnya yang berderet-deret saking banyaknya. Ardi kesulitan mengeluarkan sepeda motornya. Tukang parkir yang ternyata lebih kuat daripada Ardi membantu Ardi menarik sepeda motor itu.
Tak lama kemudian, Ardi sudah memboncengkan Lala pulang. Tak lupa, Lala menaruh tasnya di antara mereka berdua.
Saat sedang di atas boncengan sepeda motor, mendadak Lala melepaskan jaketnya dan melambai-lambaikannya. Tidak dipedulikannya angin yang berhembus dan terasa dingin menusuk tulang. Ia seperti orang stress, tetapi Ardi tidak menyadarinya. Ardi malah meminggirkan sepeda motornya dan mengajak Lala masuk supermarket. Ardi minta dibelikan minuman.
Keluar dari supermarket, Lala ingin masuk lagi karena ia lupa membeli pembalut wanita. Katanya, "Aku masuk lagi ya? Ada yang kelupaan."
Namun, sahut Ardi, "Jangan! Itu memalukan. Sudah keluar kok malah mau masuk lagi. Sebaiknya, kita cari supermarket lain saja."
Sepanjang perjalanan, Lala bercerita, "Aku ini orangnya hemat. Aku hanya membeli barang-barang yang kuperlukan."
Timpal Ardi, "Kalau aku sebaliknya. Aku ini boros. Aku membutuhkan seorang istri yang bisa mengatur keuangan."
Mereka sampai di supermarket kecil. Lala menahan keinginannya untuk berbelanja barang-barang lain selain pembalut. Ia jadi kelihatan super duper hemat di mata Ardi.
Sesampainya di sepeda motor, Ardi berkata, "La, aku mau bicara padamu."
"Apa?" tanya Lala. Ia masih santai.
"Kamu kalau berkomunikasi denganku lewat whatsup, jangan mengirimkan stiker-stiker. Itu seperti anak kecil," larang Ardi.
Lala terdiam. Ia memang suka sekali stiker-stiker di whatsup karena membuatnya tidak bosan. Tawarnya, "Bagaimana kalau mengirim smiley dan gambar kecil-kecil di whatsup itu?"
"Itu juga jangan. Kamu hanya boleh mengirimkan pesan berupa tulisan ... dan jangan mengirimkan foto keluargamu di grup," larang Ardi lagi.
"Tapi kenapa?" tanya Lala.
"Itu tidak penting," sahut Ardi.
Lala merasa tidak puas dengan jawaban Ardi, tapi Lala tidak berani membantah Ardi. Pikir Lala, "Mungkin, Ardi memang benar. Mungkin, otakku yang memang eror."
Di hari lain, Ardi operasi mata di rumah sakit mata. Lala datang membesuknya. Keluh Ardi, “Dokternya kasar sekali ketika mengoperasi mataku.”
Setelah Ardi sembuh, ia mengunjungi Lala seminggu sekali termasuk ketika hari sedang hujan lebat. Lama-lama, Lala menjadi terbiasa dan mulai mencintainya.
Namun, pada suatu hari, ia mengatakan sesuatu yang mengejutkan Lala. Putusnya, “Aku mau keluar negeri untuk bekerja di sana.”
“Tapi kenapa? Kamu mau meninggalkanku? Kenapa tidak bekerja di sini saja? Memangnya bekerja di sana mau jadi apa?” tanya Lala bertubi-tubi, yang keluar dari hatinya yang gelisah. Mimik wajahnya yang semula ceria berubah menjadi sendu.
“Maafkan aku, tapi aku harus pergi. Di Indonesia, prospeknya jelek,” kata Ardi.
“Tapi kamu cuma lulusan SMA. Kuliah ekonomi saja tidak lulus,” kata Lala.
“Aku akan merawat orang-orang tua. Di sana, gajinya besar,” kata Ardi lagi. Batin Lala, “Bukankah dia ini pemalas dan pemilih dalam mencari pekerjaan? Kenapa mau bekerja seperti itu? Apakah dia hanya cari-cari alasan saja?”
Ternyata, benar. Ardi meninggalkan Lala. Sejak saat itu, Ardi tidak lagi kelihatan batang hidungnya. Lala merasa terpukul dan sering mengurung diri di kamar. Mama membujuknya. Tanpa mengetuk pintu, Mama masuk ke kamar Lala.
“Sudahlah! Ikhlaskan saja, La! Toh, dia bukan orang yang baik dan bertanggung-jawab. Dia bilang ke Mama Papa kalau Mama Papa harus memberinya sejumlah uang yang jumlahnya tidak sedikit dan membangunkan rumah untuknya. Kalau tidak, ia mengancam akan meninggalkanmu,” urai Mama. Lalu, Mama meninggalkan Lala sendirian di kamar.
Lala merasa hatinya seperti disayat sembilu. Ia meminum obatnya dan membaca pesan-pesan masuk dari Ardi. Bunyi pesan itu, "Lihat? Walaupun aku sudah memutuskanmu, aku masih mau mengirimimu pesan."
Sejenak, Lala merasa dipermainkan. Ia memblok nomor handphone Ardi. Sesudah itu, air matanya mulai menetes. Saat itu, ia tidak tahu bahwa nomor handphone yang sudah diblok bisa dibuka lagi kapan pun ia mau.