Bab 12
Profesor Ali 2
Hari ini, Lala kelihatan termenung. Kemarin, ia bertemu dengan seorang pria kenalan Mama yang memakai kemeja putih dan terlihat parlente. Sejak saat itu, ia menjadi sering terlihat termenung. Sebentar-sebentar, ia terlihat tertawa-tawa sendiri. Mama kembali menyuruhnya mandi dan bersiap-siap.
Biasanya, Mama akan sampai membentak-bentak Lala agar Lala mau mandi. Namun, kali ini, Lala bisa disuruh mandi dengan mudahnya. Ia langsung menurut dan masuk kamar mandi sambil membawa handuk dan baju ganti. Itu karena ia mendapat akal untuk tidak menuruti Mama tanpa ketahuan.
Sesampainya di dalam kamar mandi, Lala membuka pakaiannya dan menggantungnya di gantungan kamar mandi. Kemudian, ia mulai menyirami tubuhnya sedikit demi sedikit. Ia tidak juga menggosokkan sabun ke tubuhnya. Ia tidak niat mandi. Ia cuma pura-pura mandi.
Lala melamun. Ia teringat pengalamannya dulu waktu kemah Pramuka. Ia tidak mandi selama tiga hari karena tidak ada air di area perkemahan. Saat itu, musim kemarau sehingga air menjadi langka. Kalau mau mandi, ia harus menumpang mandi di rumah penduduk dengan membayar sejumlah uang. Entah dari mana, penduduk mendapatkan air. Mungkinkah mereka menggali sumur seperti di rumahnya? Ia tidak menemukan jawabannya kecuali kalau ia bertanya kepada mereka. Namun, ia malas dan malu bertanya kepada mereka.
Teman-teman yang tidak satu kelompok dengan Lala terlihat berjalan ke rumah penduduk beramai-ramai sambil membawa handuk dan pakaian ganti di pundak mereka. Alat mandi, mereka cangking di tangan.
"Kalau memang tidak ada air, untuk apa repot-repot mandi?" celetuk salah seorang teman sekelompok Lala yang waktu itu sedang berada di kemah bersama dengan Lala.
Teman-teman yang satu kemah dengan Lala memutuskan untuk tidak mandi saja, mengikuti teman yang mengusulkan untuk tidak mandi saja itu. Lala ikut-ikutan mereka. Namun, ia tidak ikut-ikutan kegiatan mereka selanjutnya.
Mereka menggosok tubuh mereka dengan bedak dan splash cologne sehingga wanginya berhamburan ke mana-mana. Aroma vanila, mawar, melati, tuti fruti, stroberi, dan musk bercampur menjadi satu. Mereka menjadi putih dan wangi. Mereka tidak peduli kalau mereka terlihat mencolok.
Hanya Lala yang masih bau asam dan kusam. Apakah ia yang malah kelihatan mencolok? Ia memang tidak membawa satu pun dari benda-benda pengharum itu dan ia juga tidak berinisiatif untuk meminta kepada mereka. Ia terlalu malu untuk berdandan sekalipun ia adalah seorang perempuan.
Lala tersentak dan kembali ke masa kini waktu seseorang mengetuk pintu kamar mandi dan berteriak dari luar.
“Lala! Ayo, cepat!” Itu suara Mama. Terdengar tidak sabar dan terburu-buru.
Lala cepat-cepat memakai baju ganti berwarna hijau tua yang telah disiapkan Mama tadi. Mama membelikan Lala baju baru itu dari seorang tetangga pada saat arisan ibu-ibu.
Lala menggerutu dalam hati karena Mama sering memaksanya mandi. Padahal, ia hanya ingin mengenang pengalamannya tidak mandi pada saat kemah Pramuka dulu.
Lagipula, dalam kisah Pigmalion yang dijadikan sebagai materi pada waktu kuliah Literatur dahulu, seorang gadis miskin dikisahkan tidak pernah mandi sampai pada suatu saat. Akhirnya, ia mendapatkan kesempatan mandi di bathtub di rumah seorang pria kaya. Air mandinya yang putih bening sampai berubah menjadi hitam legam.
Lala juga ingin seperti itu. Ia ingin mengumpulkan daki di tubuhnya dulu. Setelah itu, barulah ia ingin membersihkan semuanya sampai puas.
“Pasti asyik sekali sensasi yang ditimbulkan jika membersihkan tubuh setelah berhari-hari tidak mandi,” pikir Lala.
Kini, Lala bisa mengelabui Mama. Mama tidak tahu bahwa sebenarnya Lala tidak mandi dan hanya mengganti bajunya saja. Mama segera mengajak Lala ke stasiun kereta dengan didrop oleh Papa. Mama berusaha mengabaikan penciumannya yang menangkap bau asam yang menguar dari tubuh Lala. Mama merasa heran karena Lala masih bau tetapi Mama belum berpikiran bahwa Lala mengelabuinya.
Kini, Mama dan Lala kembali berada di tempat praktik Profesor Ali. Nama Lala kembali dipanggil dan Mama menyuruh Lala masuk seorang diri untuk melatih kemandiriannya.
“Hello? How are you? (Halo? Apa kabarmu?)” sapa Profesor Ali dengan suara nyaring dan riang.
“Bad (Buruk),” sahut Lala, masam.
“Can you tell me? (Bisa ceritakan kepada saya?)” pinta Profesor Ali. Ia berusaha melembutkan suaranya.
Lala menceritakan semua isi hatinya dalam Bahasa Inggris yang terbata-bata, “I have fallen in love with someone, but he doesn’t love me back. I am scattered. My mother doesn’t want to help me. My parents have bad intention toward me. They plan something bad. They don’t want me to be happy. They intend to separate me from the man.”
(“Saya jatuh cinta kepada seseorang, tetapi ia tidak membalasnya. Saya hancur. Mama saya tidak mau menolong saya. Orang tua saya mempunyai maksud buruk terhadap saya. Mereka merencanakan sesuatu yang buruk. Mereka tidak ingin saya bahagia. Mereka bermaksud memisahkan saya dari laki-laki itu.”)
Profesor Ali mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak mengatakan apa pun dan hanya mencorat-coret di selembar kertas. Sekitar sedetik kemudian, ia sudah memanggil Mama untuk menyerahkan kertas itu.
Mama mengajak Lala yang masih terpaku untuk keluar ruangan. Lala masih belum percaya bahwa Profesor Ali tidak mengatakan apa pun untuk menanggapinya. Lala merasa sedikit tersinggung.
Lala mengikuti Mama dari belakang. Mama menyuruh Lala duduk dulu sebentar di ruang tunggu.
“Ingat, jangan ke mana-mana! Mama cuma sebentar,” perintah Mama. Lala hanya terbengong-bengong. Ia celingak-celinguk, melihat ke pasien-pasien di sekitarnya. Mereka semua tampak kusam. Tidak seperti Noni yang ditemuinya waktu itu. Noni kelihatan seperti anak orang kaya. Kulitnya bersih dan tubuhnya subur, kelebihan gizi.
Sekitar beberapa menit kemudian, Mama sudah kembali sambil memasukkan bungkusan plastik ke dalam tas tangan hitamnya. Ia mengajak Lala ke warung sate di dekat situ. Mama memesan dua porsi sate lontong dan dua gelas es beras kencur.
"Jangan pakai gula, Pak!" perintah Mama kepada tukang sate. Mama memang menderita diabetes sehingga ia mengurangi gula. Ia menyuruh Lala mengurangi gula juga agar Lala tidak seperti dirinya. Ternyata, Mama perhatian juga.
“Apa yang tadi kamu bilang ke Profesor Ali? Kenapa obatmu dosisnya dinaikkan jadi dosis maksimal?” cecar Mama. Lala hanya menggelengkan kepalanya. Ia merasa takut ketahuan telah menjelek-jelekkan Mama.
Setelah sate lontong dan es beras kencur habis, Mama segera mengeluarkan uang dari dompetnya untuk membayar ke tukang sate. Tukang sate memberikan kembalian.
Mama memanggil becak dan mengajak Lala naik becak. Katanya, “Stasiun, Pak!”
Tukang becak menggenjot becak dengan lambat di tengah kerumunan mobil dan sepeda motor yang berlalu-lalang. Suara bising kendaraan membuat perasaan Lala tidak nyaman. Ia memegang tangan Mama di sebelahnya.