Bab 9
Dr. Andini
Sebulan kemudian, Lala dan Mama pergi ke tempat praktik dr. Andini lagi dengan diantar Papa dan Om. Papa yang menyetir. Om duduk di sebelah Papa. Mama dan Lala duduk di belakang.
Lala mengenakan kaos biru dan celana jeans biru. Pakaian favoritnya memang kaos dan celana jeans. Ia hanya memakai kemeja dan rok ketika ia akan mengajar.
Mama sering membelikan Lala atasan dan bawahan di mal. Baru-baru ini, Mama membelikannya beberapa potong kemeja dan rok bawahan yang harganya mahal. Lala merasa bahwa ini semua adalah pemborosan. Toh, pekerjaannya belum tentu langgeng. Lala juga merasa bahwa bekerja di suatu sekolah bukanlah pekerjaan impiannya. Namun, Mama tidak bisa dibantah dan tetap membelikan pakaian-pakaian itu.
Lala berpendapat bahwa seharusnya uang mereka ditabung daripada dipakai untuk membeli barang-barang yang tidak perlu. Mama sering menyumbangkan pakaian-pakaian lama Lala yang baru sebentar dipakai dan membelikan Lala pakaian-pakaian yang baru lagi. Padahal, pakaian-pakaian lama itu masih bagus-bagus dan merupakan pakaian-pakaian kesayangan Lala. Ia teringat kepada kemeja birunya yang bermotif anjing. Kemeja itu sudah tidak ada lagi di lemarinya. Mama pasti telah menyumbangkannya.
Pikiran Lala teralihkan ketika ia melihat sebuah penampakan di langit, entah nyata atau tidak. Tadinya, ia selalu yakin bahwa apa saja yang dilihatnya adalah benar. Sekarang, ia meragukannya setelah terdiagnosa skizofrenia.
Dalam keadaan tidak sadar karena saking susahnya, Lala bercerita kepada Om, “Ada tiga malaikat. Malaikat Gabriel, Malaikat Rafael, dan Malaikat Mikael. Malaikat Gabriel adalah malaikat pembawa kabar sukacita. Malaikat Rafael adalah malaikat perang. Malaikat Mikael adalah malaikat pembawa kabar dukacita.”
Om hanya mengangguk-anggukkkan kepalanya. Tentu saja, yang lain juga mendengar walaupun Lala bermaksud bercerita kepada Om. Om tidak pernah menghajar atau membentak Lala. Mungkin, itu karena Om beda rumah dengan Lala sejak Lala kecil. Namun, istri Om pernah membenturkan kepala Lala ke lantai sewaktu istrinya itu menginap di rumah Lala. Lala menuang kembali ke lantai, mainan yang telah dibereskan oleh istrinya itu sehingga istrinya itu merasa jengkel.
Selama ini, Lala tidak pernah menangis kalau dihajar, tetapi kali ini, ia tidak bisa menahan tangisnya. Mama memergoki kepalanya yang benjol sebesar bakso daging sapi, tetapi Mama tidak tahu kenapa. Mama hanya mengoleskan obat di dahi tengah Lala itu dan menitipkan Lala ke tetangga. Tetangganya menghiburnya dengan menemaninya duduk di kursi di luar rumah untuk melihat karnaval yang kebetulan lewat. Tangis Lala pun berubah menjadi isak-isak kecil.
Kembali ke cerita tentang malaikat tadi. Sebenarnya, Lala memang pernah melihat ketiga malaikat itu dengan wajah yang rupawan dan sayap yang tersembul dari punggung mereka. Salah satu dari mereka sedang menyandang pedang dan menunggang kuda. Ia terlihat sedang menusuk suatu makluk bertanduk, bersayap seperti kelelawar, dan tubuhnya berwarna hitam. Ia tidak tahu apakah itu semua kenyataan ataukah ia hanya berhalusinasi.
Malaikat lain yang Lala lihat adalah malaikat dengan banyak mata di sekujur tubuhnya. Yang satunya lagi adalah malaikat dengan empat wajah di bagian depan, belakang, kanan, dan kiri. Masing-masing terdapat wajah manusia, singa, rajawali, dan entah hewan apa, Lala tidak tahu. Mungkinkah ia sakit mental?
Sebenarnya, Lala tidak merasa bahwa ia sakit mental. Ia merasa bahwa orang tuanya hanya mengada-ada. Mereka hanya kurang berkomunikasi dengannya sehingga mereka salah paham dengannya. Sejak kecil, mereka berkomunikasi dengannya memakai kekerasan. Mereka sering menghajarnya saat ia kecil dan setelah ia besar, mereka sering menggunakan bentakan-bentakan untuk berkomunikasi.
Sampailah mereka di tempat praktik dr. Andini. Ia mengenakan atasan dan bawahan berwarna hijau tua. Lala kerap melihatnya memakai pakaian berwarna hijau tua. Mungkin, itu memang warna kesukaannya.
Mama menyerahkan sebungkus sate dan lontong yang telah dibelinya di jalan tadi. Tak lupa, ia tadi menyisihkan sebungkus di mobil untuk dimakan keluarganya.
Kata dr. Andini demi melihat bungkusan yang terbuat dari daun pisang itu, “Wow! Apa itu? Terima kasih!” Wajahnya terlihat sumringah. Sudut-sudut bibirnya naik ke atas, menyunggingkan senyum, memperlihatkan gigi-giginya yang kecil-kecil dan rapi seperti biji mentimun.
Kembali, dr. Andini menyuruh Lala menyampaikan keluhannya. Keluh Lala, “Baru-baru ini saya mendapatkan pekerjaan sebagai guru SMA di sekolah yang cukup elit. Namun, baru empat bulan bekerja, mereka memecat saya.”
“Kenapa mereka memecatmu?” tanya dr. Andini.
“Mereka menemukan bahwa saya sangat aneh di tempat kerja. Ada murid yang melapor ke orang tuanya. Lalu, orang tuanya melapor ke kepala sekolah. Saya dikenal sebagai guru yang stress,” gerutu Lala.
“Menurutmu, mengapa kamu terlihat aneh?” tanya dr. Andini.
“Karena saya melongok ke bawah meja dan kursi saya berkali-kali karena takut ada yang tertinggal. Saya juga gagal menertibkan murid-murid yang ramai dan terus saja bermain sepanjang pelajaran. Ada yang membawa majalah ke sekolah. Ada yang terus-menerus bermain handphone sepanjang pelajaran,” keluh Lala. Selama ini, ia selalu menyimpan semuanya di dalam hati. Ia tidak percaya siapa pun dan ia takut dengan tanggapan mereka kalau sampai mereka mendengarkan ceritanya.
Kali ini, Lala tidak tahan lagi. Tambahnya kepada Dokter Andini, “Guru lain mengeluh bahwa saya tidak becus mengajar karena terlalu lambat dan terlalu sedikit memberikan materi. Hampir setiap hari, ia mengeluarkan kata-kata yang membuat saya stress. Saya juga harus mengajar dari Senin sampai Jumat, kadang sampai sore. Saya mengajar ekstrakurikuler juga,” keluh Lala.
“Tidak bisakah kamu bernegosiasi dengan kepala sekolah agar jam mengajarmu dikurangi?” tanya dr. Andini.
“Tidak terpikirkan oleh saya,” sahut Lala.
“Lain kali, kalau ada masalah seperti ini, kamu harus mendiskusikannya dengan Mama. Ini masalah yang cukup besar. Namun, tidak semuanya harus kamu diskusikan dengan Mama. Contohnya, kamu tidak perlu bertanya kepada Mama tentang tukang becak yang pakai sarung atau yang pakai celana yang becaknya boleh kamu naiki,” ujar dr. Andini.
“Namun, sekarang, semuanya telah menjadi bubur. Meskipun demikian, kamu tidak boleh putus asa. Ada suatu cerita. Pekerja-pekerja sedang membangun jalan tetapi tersapu oleh hujan deras yang tiba-tiba turun. Mereka tidak putus asa dan tetap melanjutkan bekerja ketika hujan reda. Suatu saat, matahari bersinar dengan cerahnya dan menyinari jalan yang telah berhasil mereka bangun. Jalan itu menjadi kokoh dan keras,” lanjut dr. Andini.
“Saran saya, kamu mengikuti tes kepribadian di rumah sakit ini.” Dr. Andini mengulurkan sebuah kartu nama.
“Baik, Dok! Terima kasih!” ucap Lala sambil menerima kartu itu.
“Sini, Lala, biar Mama simpan!” Mama memasukkan kartu itu di tasnya.
Mama mengucapkan terima kasih dan mengajak Lala keluar ruangan. Tak lupa, Mama memasukkan uang ke dalam peti.