Bab 3
Rumah Sakit Lokipili
Entah mengapa, Lala menemukan dirinya berada di ranjang sebuah ruangan yang sepi. Sepertinya, ia sedang berada di sebuah rumah sakit karena terdapat dua ranjang lagi yang berderet di sisinya. Semuanya dilapisi seprai putih. Bantal-bantalnya tipis dan terasa keras. Lala mengetahuinya setelah menyentuhnya untuk memilih bantal yang paling enak. Ternyata, semuanya sama saja. Seketika, bau kaporit bercampur karbol menyengat hidung Lala ketika seorang petugas lewat di depan kamarnya sambil memegangi sebuah gagang pel.
Lala mengerling ke sudut bawah ranjangnya. Ia menemukan sehelai selimut bergaris-garis hitam putih yang tipis dan masih terlipat. Ia menggerutu karena tidak ada yang menyelimutinya. Padahal, ia mudah sekali kedinginan.
Lala memutuskan untuk bangun dan berjalan-jalan di lorong. Ia telah mencari-cari jaket di tas ransel yang diletakkan di sebelah kepalanya, tetapi ia tidak bisa menemukannya. Ia melihat ke bawah, ke arah pakaian yang sedang dikenakannya. Gaun hijau muda yang kaku. Entah siapa yang memasangkan gaun itu padanya.
Setelah beberapa langkah, Lala menemukan seorang wanita bertubuh subur dan seorang remaja laki-laki yang mengenakan gaun berwarna hijau muda sama seperti dirinya. Rupanya, gaun itu adalah seragam bagi pasien di rumah sakit ini.
Lala menghibur diri dengan duduk-duduk di pinggir lorong. Namun, remaja laki-laki itu menghampirinya dan duduk di sisinya. Remaja itu mulai mengeluarkan rentetan kata-kata yang tidak Lala pahami dan baru berhenti di sore hari ketika Lala memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Tidak dihiraukannya kepalanya yang sedikit pusing karena mendengar ocehan itu.
Di kamar Lala, makanan dan minuman sudah tersedia. Ia melahap nasi, ikan goreng, dan sayur asam itu. Lalu, ia meminum obat yang terletak di sebelah piring dengan segelas air putih. Petugas mengawasinya dan memastikan bahwa obat berhasil masuk ke dalam perutnya. Setelah itu, ia tertidur dengan pulasnya.
Malamnya, ia terbangun dan menemukan dirinya dikerumuni roh-roh penasaran wanita korban perkosaan. Mereka segera berhamburan menghilang di balik tembok ketika seorang perawat perempuan berseragam biru masuk ke kamarnya. Perawat itu membawa nampan putih yang di atasnya terdapat obat-obatan dan segelas air putih.
“Waktunya minum obat,” katanya, kaku.
"Tapi tadi sudah." Lala berusaha membela diri.
"Pokoknya harus minum, tidak ada tapi-tapian," tegur perawat. Lala merasa takut demi melihat wajah perawat yang sangar. Ia meminum obatnya dengan segelas air putih yang diletakkan di samping obat di atas nampan.
Besoknya, Mama Papa datang. Mama mengenakan gaun putih kesayangannya dan Papa memakai jas putih dokter. Mereka berdiri di balik gerbang berjeruji di luar. Seorang petugas membuka gembok gerbang yang memutus dunia pasien-pasien di dalamnya dengan dunia luar itu. Mama Papa masuk ke dalam rumah sakit melalui gerbang itu dan menuju kamar Lala. Petugas segera menggembok gerbang kembali karena takut ada pasien yang kabur. Rupanya, rumah sakit ini tidak peduli kalau pasien-pasien di dalamnya termasuk Lala merasa seperti tahanan.
“Halo?” sapa Mama Papa kepada Lala yang masih rebahan di ranjang. Lala bangun, duduk, dan menegakkan punggungnya di atas ranjang.
“Mama bawakan makanan untukmu,” sapa Mama, tersenyum. Senyum yang amat manis. Apakah hanya perasaan Lala saja kalau ia jarang melihat Mama tersenyum seperti itu?
“Kenapa kamu mengamuk?” tegur Papa. Lala tidak menyahut. Wajahnya dipenuhi tanda tanya. Ia tidak merasa mengamuk. Sebelum ia berada di sini, ia hanya merasakan kesedihan yang menyayat hati.
“Apakah kamu tidak ingat bahwa kamu telah mengamuk?” tegas papa. Lala hanya menggeleng. Ingatannya tentang kejadian sebelum di sini seakan menghilang. Ia merasa seperti orang bodoh. Apakah yang telah mereka lakukan padanya?
“Kami sampai membiarkan dokter menyetrum kepalamu karena kamu tidak sadar juga,” beritahu Papa. Lala merasa sedih kembali mendengarnya. Ia merasa bahwa mereka tidak benar-benar menyayanginya. Ia merasa bahwa mereka penuh dengan kepalsuan dan hanya mengenakan topeng. Mereka hanya berpura-pura manis di depannya.
“Bagaimana dengan kuliahku, Ma?” tanya Lala, memberanikan diri.
“Mama sudah memintakan cuti studi kepada pihak kampus,” terang Mama. Lala merasa sedikit lega. Setidaknya, ia tidak harus pusing memikirkan kuliahnya dan tidak usah mencemaskan tentang kegagalan yang mungkin terjadi karena dianggap membolos.
Namun, setelah Lala pulang dari rumah sakit dan kembali mengikuti perkuliahan, ia merasa bahwa otaknya tidak bekerja seperti semula. Ia ingat, sebelumnya, dirinya tidak sebodoh ini. Kini, ia sukar sekali mencerna perkataan dosen-dosennya.
Lala masuk ke kapel kampus hampir tiap hari. Tempat ini lengang. Tidak ada satu pun orang yang terlihat berada di dalamnya. Ia memilih tempat duduk di depan sendiri yang dekat dengan altar. Ia terus berdoa dan memohon kepada Tuhan di tempat itu. Tak jarang, air matanya menetes. Ia baru merasakan bahwa bebannya begitu berat ketika ia bermaksud mengistirahatkan dirinya.
Sebelumnya, ia pernah mencapai IPK 3,24. Kini, IPK-nya hanya 1,27. Banyak nilai D, dan terdapat satu nilai E dan satu nilai F. Nilai F hanya diberikan saat mahasiswa tidak datang sama sekali saat kuliah. Kalau nilai A termasuk angka 80-100, nilai B angka 70-79, nilai C angka 60-69, nilai D angka 1-59, maka nilai E adalah angka 0. Nilai E, mahasiswa atau mahasiswi tetap hadir, tetapi hasil belajarnya 0.
Dengan tertatih-tatih, Lala mencoba menyelesaikan kuliahnya sampai saatnya mengerjakan skripsi. Ia merasa otaknya tidak sanggup mencerna beban mata kuliah yang terlalu berat baginya itu. Ia merasa tidak sanggup. Ia merasa tidak akan pernah lulus walaupun hanya tinggal satu mata kuliah lagi.
Dengan wajah yang kusut masai dan langkah yang terseok-seok, Lala meninggalkan ruang dosen pembimbing skripsinya. Ia menuju ke kapel.
Sesampainya di sana, ia merenung. Ia tak tahu apa yang akan dikatakannya kepada Tuhan. Tiba-tiba, airmatanya menetes. Satu demi satu, bulir-bulir airmatanya berjatuhan. Sesaat kemudian, ia sudah menemukan dirinya menangis tersedu-sedu. Tak dipedulikannya bapak penjaga kapel yang melintas.
Lala mengeluarkan berlembar-lembar kertas HVS yang telah dia tulisi keluhan-keluhan dan unek-uneknya selama ini. Ia meletakkan semua itu di bawah tempat lilin yang berongga. Tempat lilin itu ada di bawah patung Tuhan Yesus.
Entah mengapa, setelah ia mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan, Tuhan seperti membukakan jalan. Dosen pembimbing skripsi mengizinkannya untuk membuat makalah sebagai pengganti skripsi tapi ia harus mengambil satu mata kuliah tambahan lagi. Ia memutuskan mengambil Laboratory Work, satu-satunya mata kuliah pilihan yang tersedia saat itu.
Saat kuliah Laboratory Work, Lala merasa bahwa dosen yang berambut hitam panjang itu adalah sejenis hantu karena rambutnya yang seperti itu dan diurai. Lala merasa ketakutan. Ia sampai menyeret masuk kakinya ke ruang kuliah. Beruntung, ia masih bisa mengikuti perkuliahan dengan konsentrasi yang dibantu obat.
Di akhir semester, tak disangka, Lala malah mendapatkan nilai A. Ini pasti pertolongan Tuhan untuknya.