Loading...
Logo TinLit
Read Story - Yang Tertinggal dari Rika
MENU
About Us  

Bab 6 - Sekelas 

---

 

Ya, baiklah. Akan kumulai lagi ceritaku—semoga kalian belum bosan dengan narasi yang terus-menerus datang dariku. Atau nanti, siapa yang tahu, bisa diganti sudut pandangnya. 

Pembagian kelas telah diumumkan. Aku masuk ke kelas X-B. Untungnya, aku sekelas dengan Sarah. Tapi sialnya, aku juga sekelas dengan Samudra—ya, si Samudra itu. 

Sejujurnya, aku memang dari dulu merasa tidak nyaman jika terlalu dekat dengan laki-laki. Bukan benci, hanya... tak aman. Terutama di zaman sekarang, saat batas-batas pergaulan semakin kabur. Rasanya aku harus terus waspada. 

Pagi ini, aku sampai di sekolah pukul 06.50 WIB. Ayah yang mengantarku sekalian berangkat kerja. Saat turun dari mobil, halaman sekolah sudah ramai. Tawa, percakapan, candaan... semuanya berseliweran begitu saja, terasa asing di telingaku. Sudah tiga minggu aku bersekolah di sini, dan temanku baru dua—Sarah, dan Samudra (itu pun karena keadaan memaksa). 

Baru-baru ini aku tahu, ternyata Samudra sudah populer bahkan sejak hari pertama. Saya juga baru tahu kalau dia blasteran Kanada-Australia. Tapi bukan berarti aku langsung jatuh hati seperti siswi-siswi lain. Tidak, sama sekali tidak. 

Justru, mungkin karena aku dan Sarah cuek pada kencannya, dia malah mau berteman dengan kami. Bagi kami, dia cuma cowok biasa—kadang menyebalkan, kadang… yah, agak masuk akal juga sih. 

Setiap hari, area sekitar meja Samudra selalu dipenuhi murid perempuan. Ada saja yang ingin menjulurkan atau sekedar menyapa. Aku? Lebih baik duduk tenang bersama Sarah. Kalau Samudra mendekati kami, biasanya itu tandanya dia sudah benar-benar jengah dengan fans -nya. 

Lambat laun, Sarah mulai melihat sisi lain dari Samudra. Dia ternyata bukan cowok tipikal yang aku dan Sarah kira di awal. Dia... cukup baik, sebenarnya. 

Oke, cukup soal itu. Sekarang aku sudah duduk di kelas. Dan lihat kan? Meja Samudra dikerumuni lagi. Aku sampai hapal wajah-wajah mereka. 

Lebih baik aku memandangi langit dari jendela. Kosong, tapi tenang. Biru tapak yang hampa—persis seperti yang kurasakan akhir-akhir ini. 

"Hai, pagi, Ri."

Tiba-tiba, Sarah sudah duduk di sampingku. Dia memang teman sebangkuku. Ia menyimpan tasnya di belakang kursi, lalu langsung membuka ponsel. 

“Pagi, Sar…” balasku, agak kikuk. Aku bingung harus bicara apa. Sarah juga tampaknya lebih tertarik dengan ponselnya hari ini.

"Aku mau minta pendapat, Ri. Menurut kamu, baju yang cocok buat aku yang mana, ya?" tanyanya, menunjukkan beberapa gambar baju di layar. Ada dua pilihan. 

Aku membayangkannya. Menurutku, yang biru bagus... karena aku suka warna itu. Tapi kalau melihat dari sisi Sarah, mungkin warna ivory lebih cocok buat dia. 

"Emm… yang ini, deh. Warna ivory," jawabku.

Sarah bertanya padaku. "Oke, dicatat. kamu suka warna dan model ini karena memang cocok buat aku, atau sebenernya karena kamu sendiri lebih suka warna lain tapi mikirnya dari pandangan warna mana yang lebih cocok denganku?" 

Aku mengerjap. Kok tiba-tiba jadi filosofis banget ya, nanya baju? 

"Iya, aku pribadi suka yang biru. Tapi kalau buat kamu, ivory lebih cocok," jawabku jujur.

Sarah tersenyum. Lalu tanpa banyak bicara, langsung buka aplikasi belanja dan klik "beli". Dua baju sekaligus.

Aku yang penasaran akhirnya bertanya, "Buat siapa sih emangnya? Kok beli dua dan sampai nanya ke aku semuanya?" 

Sarah malah tertawa pelan. "Ya buat kita lah, couple-an!"

Aku membeku. Hah? couple-an? Kita kan baru temenan tiga minggu?   Emang ada ya, tipe teman kayak Sarah? 

"Ck, udah. ​​Gak usah mikir ribet. Terima aja, aku yang bayarin," katanya santai. 

Spontan, aku menggeleng.

"gak, aku mau bayar sendiri."  Sarah mengernyit. Tapi aku tetap kukuh.

"Aku gak mau terus-terusan dibayarin, Sar. Aku juga bisa bayar sendiri." 

Sarah memandang ke dalam, lalu berkata pelan, "Bukan soal bisa atau enggak. Aku emang pengen ngaasih. Aku yang duluan niat." 

Kami saling tatap. Nggak ada yang mau ngalah. 

KRIINGGG!!

Bel berbunyi. Tanda pelajaran akan dimulai. Cewek-cewek yang tadi mengelilingi Samudra mulai bubar sambil melambai-lambaikan tangan pada idola mereka. 

Aku dan Sarah sama-sama menghela nafas. 

"Huft… yaudah, kalau kamu tetap mau bayar, nggak masalah sih. Tapi beneran nih? Mendadak banget loh," kata Sarah akhirnya. 

Aku mengangguk pelan.

"Tenang aja, bukan masalah buatku." Sarah terdiam sejenak, lalu mengangguk.

"Baiklah." Obrolan kami berhenti ketika guru IPS masuk.

 

--- 

 

Pelajaran IPS hari ini sungguh bikin pusing. Padahal biasanya aku suka mata pelajaran IPS apalagi sejarah yang dibahasnya. Tapi sejak masuk SMA… entah kenapa, perasaanku terhadap pelajaran itu mulai berubah. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dalam diriku, tapi aku belum tahu apa. 

Bel istirahat berbunyi setelah dua jam pelajaran. Semua murid berhamburan keluar kelas. Aku ingin mengajak Sarah makan bersama di kantin, tapi beberapa teman lain menemukannya. Sarah awalnya menolak, tapi aku meyakinkannya,

"Gak apa-apa. Aku bisa sendiri." Akhirnya dia pergi. 

Aku pun berdiri, hendak menyusul ke kantin, tapi belum sampai pintu... 

"Rika! Tunggu! Kamu mau ke kantin kan? Bareng, yuk!" Itu suara Samudra. Aku langsung mengerutkan kening dan sedikit menjauh. 

"Aku—" 

"Please, sekali ini aja. Aku butuh pengungsi dari fans ku. Energiku udah tinggal 10%," katanya, setengah bercanda, setengah memelas. Tapi matanya… matanya tampak lelah, sungguh-sungguh. Aku menghela napas. 

"Ya sudah, tapi jangan bikin salah paham." Aku jalan lebih dulu, Samudra menyusul dengan langkah cepatnya yang panjang-panjang itu. 

"Santai, Ri! Aku jagain kamu sampai ujung dunia juga aku mau!" Aku memutar bola mata. Dasar drama bocah. 

Di koridor, beberapa siswi menatap sinis ke arah kami. Aku merasa perutku mengancang. Rasanya seperti ada tali yang melilit dan menarik kuat-kuat. 

Tenang, Rika. Tarik napas. Semuanya aman. Ini cuma makan siang.

 

--- 

 

Di Kantin 

Kantin ramai sekali. Hampir semua meja penuh. Suara tawa dan percakapan membaur jadi satu, membuatku ingin pulang saja. 

Tidak ada meja kosong. Samudra tampak menoleh ke arah gengnya yang memanggil-manggil namanya. 

"Woi! Samudra! Sini, duduk bareng!" seru salah satu anak cowok dari kelas X-C. 

Ada sekitar enam orang di meja itu, dan hanya tersisa satu kursi. Aku menghela napas, berniat pergi agar Samudra bisa berkumpul dengan teman-temannya. 

Aku berjalan menjauh dan memutuskan membeli cemilan saja. Aku beli bakso dengan tiga sendok saus cabai, es teh, dan juga cimol empat ribu. 

“Rika, tunggu!” Aku menoleh, keningku mengernyit saat melihat Samudra malah mengikutiku.

"Kenapa? Kamu nggak kumpul sama teman-temanmu itu?" tanyaku. Dia biasa tersenyum dan menggeleng pelan. 

Di tangan sudah ada jajanan: Pop Mie dan es jeruk. 

“Nggak. Aku yang ngajak kamu bareng, masa malah aku yang tinggalin kamu pas udah nyampe sini?” katanya. Ya sudahlah. Toh, aku juga nggak peduli mau ditinggal atau enggak... 

Samudra berjalan mengikuti, kami keluar dari kantin menuju lapangan belakang sekolah. Di sana banyak pohon rindang dan suasananya lebih adem saat istirahat. Soalnya kebanyakan anak lain masih di kantin atau di lapangan lain. 

Ada sekitar empat lapangan di sekolah ini. Ya, sekolahku memang besar. Gedung SMA-nya ada tiga, masing-masing terdiri dari tiga lantai. 

Gedung utama ada di depan, dekat gerbang. Lantai satu ada basement luas, biasanya dipakai wisuda atau acara besar lainnya. Lantai dua untuk kelas 11—ada sekitar sepuluh kelas di sana. Lantai tiga terdiri dari ruang guru, ruang kepala sekolah, ruang rapat, ruang OSIS, dan sebagainya. 

Gedung kedua dipakai kelas 10 dan 12. Lantai satu diisi 12 kelas untuk anak kelas 10. Lantai dua untuk kelas 12, ada sekitar sembilan kelas. Lantai tiga adalah perpustakaan khusus. 

Gedung ketiga letaknya paling jauh dari gerbang tapi dekat dengan gedung kedua. Lantai selain kantin, lantai dua ruang-ruang laboratorium (komputer dan IPA), dan lantai tiga ada dua gudang serta UKS yang lumayan besar. 

Begitulah kira-kira tata letak sekolahku. 

Setelah sekitar sepuluh menit jalan, kami sampai di lapangan belakang. Letaknya paling jauh dari gedung ketiga yang tadi kusebut. Biasanya tempat ini dipakai kalau ketiga lapangan lainnya sedang digunakan untuk acara tertentu. 

Aku duduk di dekat pohon yang tinggi dan rindang. Udara di sini terasa jauh lebih sejuk dibandingkan lapangan depan. 

Samudra duduk di sampingku. Aku sedikit bergeser, menjaga jarak. Lagi. 

“Wah... di sini ternyata lebih enak, udaranya sejuk, tenang, damai,” celetuk Samudra memecah kenyamanan. Aku hanya mengangguk pelan. 

Kami mulai makan bersama. Tak banyak yang kami bicarakan. Selain karena aku memang tidak tahu harus membicarakan apa, Samudra juga tampak sangat menikmati Pop Mie-nya. Sepertinya dia tidak ingin diganggu saat makan. 

Yasudah. Aku juga akan menghabiskan makananku. 

 

 

Makanan kami sudah habis. Samudra tampak iseng mengelilingi lapangan lalu kembali duduk di sampingku. Dasar gabut. Nggak jelas, gumamku dalam hati. Dia entah tidak mendengar, atau memang tidak peduli. 

“Kenapa sih kamu diam banget, Rika?” tanya Samudra sambil melirik ke arahku. Aku tidak melihat ke belakang. 

"Memang kenapa? Itu masalah ya?" sahutku. Samudra terhenti sejenak, lalu menggeleng cepat. 

“Nggak, sih... Justru karena kamu diam, aku jadi lebih merasa hidup... dan nyaman?” jawabnya. 

Aku bingung, tapi tetap menatap ke arah lapangan kosong di depan kami. 

"Oh," jawabku singkat. 

Samudra tampak tersenyum kecil mendengar responku. Aku bisa melihatnya dari sudut mataku. 

"Hmm... lima menit lagi bel. Gedung kelas kita jauh dari sini, kan? Yuk, balik. Nanti terlambat lagi," ajaknya sambil berdiri. Aku mengangguk dan ikut berdiri, berjalan di belakangnya, tetap menjaga jarak. 

"Rika, senang bisa ngabisin waktu sama kamu. Walau cuma tiga puluh menit istirahat. Biasanya kamu sama Sarah terus, sih," ucap Samudra. 

"Kamu juga. Sama fans kamu terus," jawabku datar. 

Samudra tertawa pelan mendengarnya. Aku menahan pandangan. Tidak lagi menatap punggung Samudra yang lebar dan tampak kokoh itu yang mulai perlahan jalan lebih dulu. Huh. Sudahlah. Aku tidak peduli. Sarah lebih asik daripada dia. 

[Bersambung]

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ikhlas Berbuah Cinta
1605      982     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
Perahu Jumpa
376      302     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
Pasal 17: Tentang Kita
150      68     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
Sweet Like Bubble Gum
1774      1132     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Deep End
62      58     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Me vs Skripsi
2664      1148     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Atraksi Manusia
630      441     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Is it Your Diary?
228      182     0     
Romance
Kehidupan terus berjalan meski perpisahan datang yang entah untuk saling menemukan atau justru saling menghilang. Selalu ada alasan mengapa dua insan dipertemukan. Begitulah Khandra pikir, ia selalu jalan ke depan tanpa melihat betapa luas masa lalu nya yang belum selesai. Sampai akhirnya, Khandra balik ke sekolah lamanya sebagai mahasiswa PPL. Seketika ingatan lama itu mampir di kepala. Tanpa s...
Segitiga Sama Kaki
1107      610     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
Nuraga Kika
39      36     0     
Inspirational
Seorang idola sekolah menembak fangirlnya. Tazkia awalnya tidak ingin melibatkan diri dengan kasus semacam itu. Namun, karena fangirl kali ini adalah Trika—sahabatnya, dan si idola adalah Harsa—orang dari masa lalunya, Tazkia merasa harus menyelamatkan Trika. Dalam usaha penyelamatan itu, Tazkia menemukan fakta tentang luka-luka yang ditelan Harsa, yang salah satunya adalah karena dia. Taz...