Juanda heran dengan perubahan sikap Fayena hari ini. Gadis itu tampak cuek padanya sejak ia jemput dari rumah hingga ia antar ke tempat syuting. Juanda berpikir apakah ia mempunyai kesalahan pada gadis itu atau malah hanya dirinya yang merasa dihindari oleh Fayena padahal seperti biasa juga?
Kurang lebih satu jam berlalu, waktu syuting pada sebuah perusahaan pun selesai. Fayena mendekati Juanda yang sedang duduk di sekitar tempat istirahatnya. Juanda langsung memberikan jus mangga pada Fayena yang tampak kelelahan. Gadis itu kini duduk di hadapannya.
"Gimana soal ... Alfino? Dia nggak ganggu lo lagi, kan? Maksudnya ini syuting bakal aman, kan?" tanya Juanda memulai obrolannya.
"Aman aja," sahut Fayena seadanya seraya meraih sebuah kue bolu yang disediakan oleh tim untuk konsumsi.
"Oh, syukur deh. Gue dari tadi siap siaga banget buat nahan Alfino kalau dia datang lagi," sahut Juanda tampak lega.
Tak ada tanggapan lagi dari Fayena. Gadis itu tampak sibuk dengan ponselnya, total mengabaikan Juanda yang sedari tadi meliriknya sarat akan kekhawatiran. Ingin bertanya, tetapi rasanya agak berlebihan. Memangnya asisten dan artisnya harus sedekat apa? Lagipula dirinya hanya asisten baru. Akan tetapi, Juanda berpikir lagi. Walau dirinya masih baru di kehidupan Fayena sekarang, bukankah ia cukup berjasa pada Fayena? Bahkan kedekatan mereka sudah lebih baik semenjak di desa Grawang Telu.
Ponsel Juanda tiba-tiba berdering, membuat Fayena melirik sekilas. Juanda memeriksa nomor yang tertera, ternyata panggilan yang tak penting. Ia malas untuk mengangkatnya.
"Kok nggak diangkat? Angkat aja, siapa tahu penting," ujar Fayena.
"Nggak penting kok. Cuma orang bank yang mungkin cari nasabah baru," sahut Juanda.
"Orang bank atau cewek lo?"
Juanda mengeryit heran mendengar ucapan Fayena yang terdengar seperti sebuah sindiran. Apalagi ekspresi wajah Fayena memang seserius itu. "Beneran kok orang bank. Cewek mana coba. Kan cewek gue cuma Faye. Eh, maksud gue Yena," ujar Juanda.
Fayena merotasikan matanya seraya bangkit dari duduknya. "Gue tunggu dimobil. Kita bakal pindah tempat lokasi syuting ke rumah si Ghina,'' ucap Fayena seraya menjauh. Ia tampak menyapa para pemain lain dan kru yang sedang membereskan alat syuting.
"Faye kenapa sih hari ini? Aneh banget deh," gumam Juanda. Pemuda itu pun membereskan bangku lipat dan barang-barang bawaaan Fayena ke lokasi syuting.
Hari ini mereka hanya pergi berdua, Regina sedang sibuk di agensi. Sepanjang perjalanan Fayena hanya diam sambil memainkan ponselnya. Bahkan gadis itu memilih duduk di kursi belakang. Juanda sebenarnya gatal sekali ingin bertanya, tetapi ragu untuk mengutarakannya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk bertanya, daripada resah akibat rasa penasaran yang semakin membuncah.
"Faye," panggil Juanda.
"Hmm?"
"Gue ada salah ya sama lo?"
"Kok nanya gitu? Emang kenapa?" tanya Fayena terdengar cuek.
"Y-ya entah perasaan gue aja atau gimana, lo kayak cuek banget deh sama gue hari ini. Maksudnya nggak kayak biasanya gitu. Lo juga sahutan ucapan gue seadanya banget," ujar Juanda.
"Ya terus gue harus gimana? Lo asisten gue, Juanda. Bukan pacar gue yang maunya gue kudu perhatian atau ngomong lembut. Enggak, kan? Itu doang kok dicurigain," sahut Fayena yang begitu menohok buat Juanda.
Juanda tertawa miris. "Ahaha ... iya juga, ya. Kok gue jadi bertingkah banget sih kan gue cuma asisten pribadi lo doang. Sorry, Faye. Gue kayaknya agak kejauhan deh mikirnya," tandasnya sebelum diam sepenuhnya.
Sejujurnya Fayena merasa heran juga dengan sikapnya pada Juanda. Kalau memang Juanda suka main cewek, ya kenapa? Bukannya itu bukan masalah Fayena? Lagipula Juanda juga tahu cara bersikap dengan baik dan nggak merugikan Fayena sama sekali. Jadi berapa banyak pun Juanda memiliki cewek di sisinya, itu tak masalah harusnya. Fayena berdecak sebal dalam hati. ia memejamkan matanya sambil bersandar pada kursi mobil.
Di lokasi syuting kedua, Fayena kembali berbaur dengan kegiatan pengambilan adegan. Sejenak ia melupakan soal Juanda. Juanda sendiri pun memilih untuk tetap diam, menyibukkan diri dengan permainan game di ponselnya daripada suntuk menunggu Fayena yang sedang sibuk syuting.
Seorang gadis menghampiri Juanda sambil menawarkan kopi. "Hei, mau nggak?" ujar gadis itu menyerahkan sebuah kopi cup pada Juanda.
"Oh, thanks, ya," ucap Juanda tersenyum ramah pada gadis itu. Dia ternyata asisten pribadi salah satu pemeran pendukung pada drama itu. Orangnya ramah dan memiliki perawakan yang kurus dan berkulit hitam manis.
"Btw, kemarin gue liat lo di toko buku. Gue pikir lo itu mirip asistennya Fayena. Beneran lo bukan sih itu?'' tanya gadis itu yang kini duduk sembarang di lantai.
Juanda mengangguk antusias. "Itu emang gue. Lagi nyari buku fantasy aja."
"Oh pantes. Berarti gue nggak salah liat, ya. Gue juga suka baca buku kok, cuma yang horor atau misteri. Lebih dapat aja ketegangannya gitu," ujar gadis yang tak Juanda ketahui namanya itu.
"Oh, ya. Gue sih nggak minat genre yang terlalu dark gitu. Bukannya buat temen santai, eh tuh buku bikin gue keringetan dan jantungan," sahut Juanda. Mereka berdua pun tertawa.
Dari kejauhan, Fayena melihat kedekatan Juanda dengan asisten salah satu pemain. Fayena berdecak kesal melihat keduanya yang tampak akrab, padahal baru pertama kali mengobrol. Fayena jadi penasaran siapa yang mendekati duluan.
"Ck, jangan-jangan yang dibilang Alfino benar lagi. Kalau Juanda emang pemain cewek. Buktinya cepet banget akrab sama cewek lain. Mana obrolan mereka kek seru banget lagi," gumam Fayena.
Fayena selesai dengan pengambilan adegan ke delapan. Ia segera menghampiri Juanda dan gadis yang berbicara dengannya. Fayena duduk di kursinya dengan raut wajah dingin. Gadis itu langsung bangkit dari duduknya setelah melihat keberadan Fayena.
"Kayaknya Novi udah selesai syuting. Gue balik, ya. Eh, nama lo siapa? Juanda, ya?"
"Iya Juanda. Lo?" sahut Juanda.
"Gue Indri. Salam kenal, ya. Gue ke sana dulu," ujar gadis bernama indri itu segera berlari menuju tempat artisnya.
Fayena meraih minumannya, lalu meneguk dengan perlahan. Ia melirik Juanda yang masih memasang tampang ceria sehabis berbicara dengan Indri.
"Ternyata lo orangnya gampang akrab gitu ya sama cewek. Emang ekstrovert atau sudah lihai aja ngobrol sama cewek?" tanya Fayena yang terdengar agak menyindir Juanda.
Juanda melirik Fayena sambil tersenyum simpul. "Ya biasa aja gue. Ekstrovert enggak juga, introvert nggak juga. Di tengah-tengah lah. Tadi sih dia yang nyamperin gue duluan terus orangnya juga mudah jalin komunikasi. Makanya kami kayak nyaman banget ngobrolnya," tuturnya menjelaskan.
''Oh, kirain emang lihai ngobrol sama cewek."
"Lo kok dari tadi pembahasannya soal cewek gitu, Faye? Enggak--maksudnya kayak gimana, ya ... kayak gue punya banyak cewek aja. Gue mah nggak pernah pacaran selain sama Yena. Gue cuma suka sama dia doang," ujar Juanda.
"Nggak biasa aja kok. Mungkin perasaan lo aja kalau gue bahas soal cewek terus. Dahlah, mending lo beliin gue cokelat deh. Gue lagi badmood hari ini. Beliin yang gede, ya. Pakek duit lo dulu, ntar gue tf balik," ujar Fayena tampak tak ingin memulai obrolan lagi dengannya. Juanda pun paham, ia segera beranjak dari sana.
Fayena memandang sebal Juanda yang kini telah berjalan menjauh dari hadapannya. Entah mengapa rasa sebalnya kembali membumbung tinggi karena kehadiran Indri.
Juanda menyeberang jalanan besar untuk membelikan Fayena cokelat di sebuah minimarket. Saat telah sampai di seberang, tiba-tiba dari arah belakang ada pengendara motor yang melawan arah hingga menyerempet punggung Juanda.
BRUK!
"Arrgh!" Juanda meringis memandangi tangannya yang terluka. Pengendara motor itu malah sudah menyeberang tanpa tanggung jawab sama sekali.
"Ck, bener-bener tuh bapak-bapak. Udah jelas nabrak orang malah nggak nolongin sama sekali," gerutu Juanda. Langkah kakinya kembali menuju minimarket.
Hanya mengambil sebatang cokelat, Juanda menuju kasir untuk membayarnya.
Di sisi lain, Fayena masih bersantai di kursinya menunggu kehadiran Juanda. Sejujurnya ia tak begitu menginginkan cokelat itu. Hanya karena sebal dengan Juanda, ia menyuruh pemuda itu pergi membelikannya cokelat.
Fayena bernapas lega melihat Juanda datang menghampirinya. Ia menyambut cokelat yang diberikan oleh Juanda padanya. Tak sengaja ia melihat luka di telapak tangan pemuda itu.
"Eh, tangan lo kenapa?"
"Keserempet motor tadi. Gapapa, cuma kesegesek doang ini," ucap Juanda.
"Ck, tetap aja luka. Gue mau minta obat luka dulu sama tim. Lo tunggu di sini," ujar Fayena beranjak dari duduknya.
"Nggak usah, Fay. Udah nggak terlalu sakit kok. Sakit dikit doang," tolak Juanda. Namun, Fayena tetap menjauh dari sana.
Fayena datang membawa kota obat. Ia menarik tangan Juanda, lalu meletakkan di atas lututnya. Juanda diam saja ketika Fayena mengurus luka di telapak tangannya. Melihat wajah khawatir Fayena mengobatinya, mengingatkan momen ketika ia bersama Fayena di desa.
Flashback
Juanda turun ke ladang untuk membantu Fayena bekerja. Fayena sudah menghindari pria itu, tetapi Juanda terus saja mendekatinya. Hingga Juanda berteriak heboh dari arah belakang, membuat Fayena menoleh. Ternyata di celana Juanda ada seekor ulat yang menempel entah dari mana dan kapan menempelnya. Sontak saja membuat Juanda terjatuh saking kagetnya.
"ARGH! FAYE! FAYENA!"
"Fayena ulat! Ulat, Faye!"
Fayena langsung mengambil ranting, lalu menyingkirkan ulat dari celana Juanda dengan santai. Juanda meringis melihat tangannya yang terluka.
"Tuh, kan. Kamu sih ngeyel mau ikutan. Luka, kan?"
Juanda cemberut menatap Fayena. "Bukannya diobatin malah ngomel," gerutunya.
"Sini ikut aku," ujar Fayena berjalan menuju saung. Juanda pun mengikutinya.
Fayena membasuh luka Juanda dengan air bersih, lalu mengipas-ngipas luka Juanda dengan tangannya tanpa melakukan pengobatan apapun lagi.
"Kok nggak dikasih obat?"
"Emangnya aku punya?" sahut Fayena membuat Juanda terdiam. Benar juga, mereka berada di ladang. Untuk apa Fayena membawa obat.
"Bisa sembuh kayak gini, Faye?"
"Bisa. Asal setelah ini kamu pulang terus minta obat ke Ibu kamu. Jangan lupa cuci kaki dulu dan sendal kamu. Nanti ketahuan gangguin aku di ladang," ujar Fayena kembali memasang raut wajah datarnya.
Tiba-tiba Juanda terpikir sesuatu. Ia sudah memikirkan ini sejak tadi malam dan berencana untuk mengatakannya pada Fayena.
"Faye."
"Hmm?"
"Faye cinta sama aku, kan?"
Fayena mengangguk seadanya.
"Mau kawin lari?"
Fayena langsung menoyor kepapa Juanda tanpa ragu. "Akal kok bentaran doang warasnya," cercanya sebelum beranjak meninggalkan Juanda.
Mengingat momen itu membuat Juanda tertawa kecil, membuat Fayena yang sedang menempelkan plester luka di tangan Juanda, menoleh heran pada pria itu.
"Kenapa lo ketawa sendiri?"
"Gue ingat elo yang dulu, Faye. Sama-sama gemesin," ujar Juanda mencubit pipi Fayena.
Astaga, Fayena merasakan pipinya menghantarkan hawa panas. Cubitan gemas dari Juanda membuatnya meleleh dalam sekejap mata.
"Ya ampun. Gue beneran suka Juanda?"