Fayena mendapatkan laporan dari orang suruhannya untuk mengintip tempat tinggal Juanda. Ada beberapa foto dan satu video yang menampilkan sosok Juanda dari belakang sedang menggandeng seorang wanita masuk ke dalam kediamannya. Fayena menatap dengan saksama pria itu, dari pakaiannya memang seperti Juanda. Ia bahkan pernah melihat Juanda memakai hoodie ungu itu beserta dengan sepatu berwarna putih.
"Tapi masa Juanda gini, sih? Mukanya positif vibes banget padahal," gumam Fayena yang saat ini bersantai di ayunan belakang rumahnya.
"Ck, kayaknya gue beneran ada rasa deh sama tuh cowok. Masa iya gue kesal liat dia kayak gini. Padahal kan hak dia juga yang suka punya banyak cewek."
Fayena menaruh ponselnya di samping tubuhnya dengan tampang merengut. Ia bersedekap dengan mata tertutup rapat. Namun tak lama, kedua mata gadis itu kembali terbuka. Ia meraih ponselnya untuk menghubungi Juanda.
"Halo, Juan. Lo bisa ke rumah gue, nggak?"
"Bisa aja sih. Bukannya jadwal syuting ntar sore, Fay?"
"Nggak. Bukan soal syuting. Gue ... gue mau makan es krim nih. Tahu kan kedai es krim yang viral itu? Cuma gue males banget nyetir sendiri. Kalau lo nggak sibuk sih temenin gue."
"Bisa aja sih. Gue ke sana sekarang, ya."
"Oke gue tunggu," sahut Fayena seraya memutuskan sambungan teleponnya. Fayena lekas masuk kembali ke dalam rumahnya. Gadis itu berlari menaiki tangga menuju kamar.
Fayena mengambil baju terusan berwarna putih dengan panjang menutupi lututnya. Lalu ia lapis dengan jaket denim panjang. Untuk alas kaki Fayena memilih sepatu ketz putih. Fayena memoles wajahnya dengan make up tipis juga lipstick berwarna merah muda.
"Cantik," ucapnya sambil berputar di depan cermin.
Tak lama terdengar suara deru motor Juanda dari luar. Fayena buru-buru keluar dari kamar menuju pintu rumahnya.
"Lho, kok pakek motor, Wan?" tanya Fayena bingung.
"Iya mobil gue dipakek sama sodara. Pakek mobil lo gapapa, kan?" tanya Juanda seraya melepas helmnya.
"Bisa sih. Ntar, gue ambilin kuncinya dulu,'' ujar Fayena kembali masuk ke dalam rumah. Tak lama gadis itu keluar dari dari rumah seraya menyerahkan kunci mobil pada Juanda. "Nih, kuncinya."
"Oke. Kita berangkat!" ucap Juanda menuju garasi mobil. Fayena juga ikut menuju ke arah sana.
Mobil Fayena keluar dari halaman rumah. Satpam pun menutup pagar rumah itu dengan rapat dan menguncinya. Di perjalanan, Fayena melepas kacamata hitam yang tadinya ia pakai. Cuaca begitu cepat berganti, tadinya terang sekali kini menjadi naung. Jadi Fayena tak memerlukan kacamata itu lagi.
"Lo nggak pakek masker? Gimana kalau di sana ada fans lo, Faye?"
"Ya gapapa. Fans gue anteng kok nggak sampe ngereog kayak kebanyakan fans. Gue setiap live di akun sosial media gue, selalu ingetin kalau ketemu gue harus jaga sikap. Kalaupun mau minta tandatangan atau foto, bisa setelah gue selesai sama kegiatan gue. Jadi menurut gue sih aman, ya," tutur Fayena. Juanda pun mengangguk.
Hening tercipta, Juanda fokus pada kemudinya. Sementara Fayena sesekali melirik asistennya itu. Penampilan Juanda memang sama persis dengan yang di foto, tetapi ada perbedaan postur tubuh. Pada foto itu terlihat sedikit kurus perawakannya, sedangkan Juanda perawakannya lebih tegap dan kokoh.
"Oh ya, Juan. Rumah lo di mana? Lo ... sebelum jadi asisten gue kerja apa? Keknya lo anak orang kaya deh. Mobil lo punya, motor juga bagus. Pasti rumah lo bagus juga, kan?"
Juanda tersenyum sambil menoleh sekilas pada Fayena. "Kan gue dulunya fotografer, Faye. Lo lupa, ya?"
"Oh iya, ya. Ya ampun lupa gue," sahut Fayena cepat merutuki dirinya.
"Terus ... orang tua gue juga lumayan berduit, ya. Cuma tetap aja gue nggak mau di rumah aja. Gue juga males ngelanjutin kuliah."
"Jadi yang bikin lo mau jadi asisten gue karena Yena, ya? Lo ngira gue Fayena elo gitu. Si Yena."
Juanda mengangguk. "Awalnya gue yakin lo Fayena gue di desa Grawang Telu. Jadi gue mau deket sama lo. Tapi ya ... gue putusin buat nggak maksa elo dan nggak nganggap elo Fayena yang dulu. Gimana pun juga gue nggak tau caranya kembali ke kehidupan gue yang dulu itu gimana caranya. Gue beneran nggak tau. Jadi untuk saat ini, jalani aja dulu," tandas Juanda.
"Kalo gue jadi Fayena yang dulu, gue nggak jadi artis lagi dong, ya?" Fayena kembali melemparkan pertanyaan dengan tatapan penuh pada Juanda di sampingnya.
Juanda mengangguki perkataan Fayena tersebut. " Bener. Lo bakal jadi Fayena yang pendiem, pemalu, dan selalu berpikir negatif terhadap pandangan orang. Lo bakal tinggal sendirian di rumah kecil yang kemarin lo datangi. Cuma nenek lo dan gue yang selalu ada buat lo," sahut Juanda.
Fayena bergidik. "Gue nggak bisa sih hidup kayak gitu. Pantes aja Fayena elo milih takdir lain kalau takdirnya seburuk itu."
"Terus lo suka sama takdir lo yang sekarang? Apa lo ngerasa tenang dan nyaman dengan takdir lo sekarang?" tanya Juanda yang sukses membuat Fayena menunduk. Benar, takdirnya juga tak begitu baik. Bahkan ia berpikir kalau sudah tak sanggup lagi dengan masalah yang ia hadapi. Tidak hanya sekali, bahkan berkali-kali Fayena merasakan kesepian dan batinnya yang tertekan.
Juanda membelokkan mobilnya memasuki halaman kedai es krim. Usai memarkir mobil, Juanda dan Fayena langsung berjalan menuju pintu utama kedai. Fayena memasang kembali kacamata hitamnya, sebab matanya tengah berkaca-kaca karena obrolannya dengan Juanda tadi.
Mereka memilih duduk di meja yang berada di ruang khusus, yang diberi sekat kaca tembus pandang. Tempat itu digunakan untuk pelanggan yang memerlukan privasi tetapintetap ingin berada di ruangan yang sama dengan pelanggan lainnya. Beberapa orang di kedai itu menoleh pada Fayena dan berbisik pada temannya. Sesekali mereka memotret dan merekam video. Juanda meliirk risih apa yang mereka lakukan, ingin rasanya Juanda menutupi wajahnya agar tidak ikut direkam. Sementara Fayena memesan es krim untuk mereka berdua pada waiter yang baru saja menghampiri mereka.
"Udahlah biasa aja. Muka lo juga ganteng kok, ngapain malu," ujar Fayena.
"Bisa ngamuk Alfino liatnya ntar," sahut Juanda.
"Gue udah putus sama dia," sahut Fayena.
Juanda melebarkan matanya. "Beneran udah putus? Kapan?"
"Kemarin malam dia datang ke rumah gue. Protes soal gue yang nggak nanggepin panggilan dan pesan dia terus ternyata dia tahu gue ganti nomor hp. Gila sih, dia tampar gue malam itu," ucap Fayena menunduk.
"Apa? Faye, serius dia sampai nampar lo?'' tanya Juanda menatap penuh gadis itu. Fayena pun mengangguk. Juanda tanpa sadar memukulkan kepalan tangannya pada meja dengan raut wajah kesal.
"Juanda, kenapa lo?"
"Gue bakal balas ke dia. Fay, kalau cowok udah main tangan, itu bisa kebiasaan. Itu juga salah satu bentuk penganiayaan. Bisa-bisanya dia bebas dari kasus nampar Gabriel. Entah apa yang dibicarakan papah sama mamah waktu itu dia bisa bebas," gerutu Juanda.
Fayena menangkap sesuatu yang agak ganjil dari ucapan Juanda barusan. Juanda yang baru menyadari bahwa ia keceplosan, langsung melirik Fayena yang menatapnya penuh tanda tanya.
"Mamah papah? Mamah papah lo atau mamah papah Alfino? A-atau jangan-jangan mamah papah kalian berdua?"
Juanda memejamkan matanya sejenak sebelum mengembuskan napas pelan. Sepertinya tak ada yang perlu ia sembunyikan lagi. Lambat laun Fayena juga akan tahu kebenarannya.
"Sorry gue nggak jujur dari awal soal ini. Sebenernya Alfino itu saudara tiri gue, Faye," ujar Juanda yang sontak membuat Fayena terkejut bukan main.
"Apa lo bilang?"
"Gue sengaja nggak bilang karena ... gue juga nggak akrab sama dia. Kita emang saudara tiri, tapi sikapnya ke gue buruk banget. Udah puluhan kali dia ngusir gue dari rumah. Jadi menurut gue ... wajar kalau gue nggak nganggep dia saudara. Mana ada saudara kayak gitu," pungkas Juanda.
"Ya kan lo bisa cerita harusnya, Juan," ujar Fayena mengeluh.
Juanda ingin meraih tangan Fayena, tetapi urung ketika tatapan fans Fayena ke arah mereka berdua. "Gue ngerasa nggak penting aja, Fay. Gue juga nggak mau ngaku punya saudara kayak dia. Apalagi dia udah nyakitin elo, Faye. Gue takut lo ikut jauhin gue karena gue sodara Alfino."
Fayena memegangi kepalanya yang terasa pusing. Beruntung pesanan es krim mereka datang. Fayena langsung menenangkan dirinya dengan rasa manis dan segar es krim itu. Sesekali ia menatap tajam Juanda yang juga meliriknya.
"Kok lo kayak marah gitu sama gue, Fay? Tenang, gue nggak kayak dia kok. Gue nggak mungkin nyakitin elo, Fay. Gue beda sama Alfino," cetus Juanda.
"Berarti apa yang dikatakan Alfino bener dong, kalau lo suka main cewek dan ajak cewek ke rumah? Secara dia saudara tiri lo dan tahu apa yang lo lakuin," ungkit Fayena dengan nada dingin.
"Astaga--dia bilang gitu?" Juanda memegangi kepalanya saking tak menyangkanya dengan ucapan Alfino pada Fayena. Ternyata saudara tirinya itu sedang memutarbalikkan fakta. Kini Juanda sadar, pantas saja Fayena dari kemarin bahas tentang cewek lain terus.
"Iya. Dia bilang gitu," sahut Fayena jutek.
"Dia yang kagak gitu! Dia yang selama ini nyamar jadi gue. Ambil baju gue nggak bilang, hoodie, sepatu, jam tangan, sampai gaya rambut gue pun dia ikutin kalau mau baca cewek ke rumah. Gue udah bilang ke dia jangan main cewek terus karena papah udah larang. Takutnya karir dia rusak, tapi dia santai aja karena pakek identitas gue. Faye, gue udah mau bilang ini dari lama, tapi takut lo marah. Setahu gue dari Mbak Regina, lo sayang banget sama dia. Jadi nggak terima segala kritikan dari orang tentang Alfino. Makanya gue pilih tahan diri, walau gue tahu dia selingkuh di belakang lo," tutur Juanda panjang lebar.
Buru-buru Fayena memakai kacamata hitamnya lagi untuk menutupi air mata yang mulai memupuk di sudut matanya. Juanda yang paham keadaan, langsung menarik pelindung kaca di sampingnya agar mereka tak terlihat oleh orang-orang. Tangan Juanda meraih tangan Fayena yang ada di atas meja, lalu menggenggamnya.
"Gue bersyukur lo udah putus dari dia, Faye. Walau lo di sini bukan takdir gue, tapi gue nggak rela kalau lo sampai bertakdir dengan cowok brengsek kayak Alfino," ujarnya dengan lembut.